Apakah Ibnu Taimiyyah Membolehkan Pemimpin Non Muslim?
"Ibnu Taimiyyah sama sekali tidak sedang membicarakan pemimpin Islam atau kafir, melainkan sedang membicarakan masalah keadilan"
Setiap kali ada even pemilihan kepala daerah atau presiden di Indonesia, salah satu wacana yang sering dimunculkan adalah mengenai kepemimpinan non-Muslim di negeri yang mayoritas Muslim ini. Tahun 2017 mendatang akan diselenggarakan Pilkada di DKI Jakarta, ibu kota Republik Indonesia.
Even Pilakada DKI kali ini mendapatkan perhatian lebih bukan hanya kerena posisi strategis ibu kota negara, tetapi juga disebabkan calon incumbent yang non-Muslim Ahok akan maju kembali dalam Pilkada kali ini. Seperti biasa segera muncul pro-kontra tentang kepemimpinan non-Muslim di tengah-tengah penduduk yang mayoritas Muslim.
Salah satu yang selalu diulang-ulang adalah selalu muncul dari kalangan Muslim yang membela kepemimpinan non-Muslim ini. Argumen yang diusung selalu sama, yaitu menolak ayat-ayat yang dijadikan dalil haramnya umat Islam memilih pemimpin kafir dengan menganggapnya bukan larangan tegas untuk itu. Selain itu, argumen lain yang selalu diulang-ulang adalah pendapat Ibnu Taimiyyah dalam bukunya Al-Hisbah fî Al-Islâm aw Wazhîfah Al-Hukûmah Al-Islâmiyyah (hal. 7 dalam cet. Dar El-Kutub El-Imiyyah Libanon). Biasanya yang dikutip dari buku itu adalah penggalan kalimat: “Allah akan menolong negara yang adil sekalipun kafir, dan akan membinasakan Negara yang zalim sekalipun beriman.”
Mengenai argumen bahwa tidak ada ayat-ayat atau hadis yang tegas yang melarang kepemimpinan non-Muslim jelas ini merupakan pendapat yang syâdz (nyleneh, menyimpang) dalam tradisi pemikiran politik Islam. Sebab dalam masalah ini telah terjadi ijmâ’ (kesepakatan) di antara para ulama. Tidak ada satu pun ulama di masa lalu, maupun di masa sekarang yang membolehkan secara mutlak kepemimpinan non-Muslim atas kaum Muslim. Shalah Al-Shawi dalam Al-Wajîz fî Al-Fiqh Al-Khilâfah (Dar Al-I’lam Al-Dauly [tt.], hal. 22-23) menyebutkan bahwa syarat “Islam” bagi calon pemimpin kaum Muslim merupakan sesuatu yang dapat dimengerti dari hukum Islam secara sangat mudah (‘ulima min ahkâm al-imâmah bi al-dharûrah). Tugas kepemimpinan di dalam Islam salah satunya adalah menegakkan agama Islam (iqâmah al-dîn al-islâmy). Bagaimana mungkin orang yang tidak mengimani (kâfir) terhadap ajaran Islam dapat menegakkan Islam?
Oleh sebab masalahnya sesederhana itu, juga ditopang oleh dalil yang sangat banyak di dalam Al-Quran (bukan hanya satu atau dua ayat), maka tidak mengherankan apabila para ulama bersepakat atas wajibnya syarat “Islam” bagi pemimpin kaum Muslim.
Al-Qahi Iyadh berkata;
“Para ulama bersepakat bahwa kepemimpinan (Islam) tidak sah diberikan kepada orang kafir; dan bahkan bila pemimpin (Muslim) kemudian keluar dari Islam (kafir), maka dia harus turun.” (Shahih Muslim bi Syarh Al-Nawâwi Jld. 12 hal. 229). Ibnu Mundzir juga mengatakan, “Seluruh ahli ilmu bersepakat bahwa orang kafir sama sekali tidak boleh menjadi pemimpin bagi kaum Muslim dalam keadaan apapun.” (Ahkâm Ahl Al-Dzimmah li Ibn Qayyim Al-Jauziyyah, Jld. II hal. 414).
Dalam sistem hukum Islam, ijmâ’ merupakan salah satu sumber hukum yang paling kuat setelah Al-Quran dan Sunnah Nabi SHalallallahu ‘Alaihi Wassallam.
Seandainya benar terdapat ijmâ’ di kalangan ulama mengenai kewajiban syarat “Islam” bagi pemimpin kaum Muslim, lalu timbul pertanyaan apakah benar bahwa Ibnu Taimiyyah berbeda pendapat mengenai masalah ini? Salah satu buktinya adalah kutipan di atas. Kalau memang benar, berarti klaim ijmâ’ gugur dengan sendirinya. Inilah yang akan dibahas secara lebih mendalam pada tulisan ini. Untuk membahas masalah ini, ada dua hal yang harus didudukkan, yaitu: bagaimana pandangan Ibnu Taimiyyah sendiri terhadap syarat seorang pemimpin kaum Muslim dan dalam konteks apa ia mengatakan perkataannya di atas.
Syarat Pemimpin Menurut Ibnu Taimiyyah
Hal yang cukup menyulitkan untuk memastikan apa yang dipersyaratkan bagi seorang pemimpin kaum Muslim menurut Ibnu Taimiyyah adalah gaya Ibnu Taimiyyah dalam membahas masalah ini. Dalam kitab-kitab fikih siyasah yang umum seperti tulisan Al-Mawardi Al-Ahkâm Al-Sulthâniyyah, biasanya dibahas secara gamblang dan khusus mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi seorang pemimpin sehingga para pembaca segera dapat mengetahui pendapatnya mengenai masalah ini. Sementara Ibnu Taimiyyah di dalam buku-bukunya yang khusus berkenaan dengan siyasah, yaitu Al-Siyâsah Al-Syar’iyyah, Al-Hisbah fî Al-Islâm, dan Al-Khilâfah wa Al-Mulk tidak menyebutkannya secara khusus. Oleh sebab itu, para pembaca harus memmbacanya secara mendalam dan hati-hati untuk mengetahui bagaimana pandangan Ibnu Taimiyyah mengenai masalah ini.
Dalam disertasinya di Universitas Kairo yang kemudian diterbitkan Dar Al-Akhilla’ Dammam KSA (1994: hal. 95-97) berjudul Al-Nazhariyyah Al-Siyâsah ‘inda Ibn Al-Taimiyyah, Hasan Konakata menyatakan bahwa dari berbagai tulisannya dapat disimpulkan bahwa Ibnu Taimiyyah menetapkan dua syarat umum bagi seorang pemimpin Muslim, yaitu al-quwwah wa al-amânah (kekuatan dan amanah). Kesimpulan ini diambil dari pernyataan Ibnu Taimiyyah sendiri di dalam Al-Siyâsah Al-Syar’iyyah (Dar Al-Afaq Al-Jadidah Beirut, 1998: 15):
فإن الولاية لها ركنان : القوة والأمانة . كما قال تعالى : { إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ } (سورة القصص : من الآية 26) . وقال صاحب مصر ليوسف عليه السلام : { إِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِينٌ أَمِينٌ } (سورة يوسف : من الآية 54) . وقال تعالى في صفة جبريل : { إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ }{ ذِي قُوَّةٍ عِنْدَ ذِي الْعَرْشِ مَكِينٍ }{ مُطَاعٍ ثَمَّ أَمِينٍ } (سورة التكوير : الآيات 19-21) .
Sesungguhnya kepemimpinan itu memliki dua rukun: kekuatan dan amanah, sebagaimana firman Allah Swt., “Sesaungguhnya sebaik-baiknya orang yang kau upah adalah yang kuat lagi amanah. (QS Al-Qashash: 26). Berkata pemimpin Mesir kepada Yusuf, “Sesungguhnya engkau sekarang ini memiliki posisi yang kuat dan terpercaya di sisi kami.” (QS Yusuf: 54); Allah Swt. berfirman tentang sifat Jibrir, “Sesungguhnya itu merupakan ucapan utusan yang mulia; yang memiliki kekuatan dan kedudukan yang kuat di sisi Sang Pemilik Arsy; yang taat lagi dapat dipercaya.” (QS Al-Takwir: 19-21).
Yang dimaksud dengan “kekuatan” oleh Ibnu Taimiyyah adalah kemampuan yang harus dimiliki seorang pemimpin di lapangan yang dipimpinnya. Ia mencontohkan seorang panglima perang harus memiliki keberanian dan pengetahuan strategi perang. Tanpa kedua hal itu, dia tidak akan mampu melaksanakan tugasnya sebagai pemimpin pasukan tempur. Sementara orang yang akan memangku amanah memimpin manusia harus mengetahui ilmu tentang keadilan yang diajarkan di dalam Al-Quran dan Al-Sunnah; juga harus memiliki kemampuan untuk menerapkannya di tengah-tengah manusia.
Adapun yang dimaksud dengan “amanah” adalah sikap takut hanya pada Allah, tidak memperjualbelikan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit, dan tidak takut pada manusia. Definisi ini ia dasarkan pada firman Allah Swt., “Janganlah kalian takut pada manusia, takutlah pada-Ku; dan janganlah kalian memperjualbelikan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Siapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang kafir. (QS Al-Ma’idah: 44). Kalau merujuk pada syarat “amanah” ini agak sulit dimengerti kalau Ibnu Taimiyyah tidak mempersyaratkan pemimpin harus seorang “Muslim”. Kalau bukan Muslim, bagaimana mungkin dia bisa takut pada Allah dan memperjual-belikan ayat-ayat Allah? Bahkan syarat yang ditetapkan Ibn Taimiyyah ini lebih dari sekedar harus “Muslim.” Dia harus memiliki sifat-sifat yang utama sekelas sifat seoang ulama, yaitu “takut pada Allah Swt.”
Penjelasan mengenai syarat-syarat menjadi pemimpin kaum Muslim semacam ini memang agak berbeda dengan penulis-penulis lain. Akan tetapi maksud yang ingin disampaikan Ibnu Taimiyyah sama dengan ulama-ulama yang lain. Bila dibandingkan dengan penjelasan Al-Mawardi, misalnya, maka kita akan segera bisa menyimpulkan bahwa kriteria Ibnu Taimiyyah telah merangkum syarat-syarat yang ditetapkan Al-Mawardi.
Dalam Al-Ahkam Al-Sulthâniyyah (Dar Ibn Qutaibah Kuwait, 1989: 3-5), Al-Mawardi menyebutkan bahwa kepemimpinan politik dalam Islam bertujuan untuk meneruskan misi kenabian dalam menegakkan agama dan mengatur urusan dunia. Untuk itu, orang yang akan memangku amanah ini harus memiliki syarat antara lain: adil (dengan berbagai syaratnya, termasuk di dalamnya beragama Islam), memiliki ilmu yang dapat mengantarkannya melakukan ijtihad, sehat panca indra, sehat anggota tubuh, memiliki kecerdasan, dan memiliki keberanian untuk menerapkan berbagai aturan. Dari keenam syarat yang ditetapkan Al-Mawardi ini esensinya hanya dua seperti yang disebut Ibnu Taimiyyah, yaitu: memiliki kekuatan (al-quwwah) dan amanah. “Islam” pasti merupakan salah satu syarat mutlak di dalamnya karena tujuan dari kepemimpinan itu sendiri adalah untuk menegakkan agama sebagaimana tugas oara Nabi.
Kalau kita telaah lagi semua tulisan Ibnu Taimiyyah tentang masalah politik ini akan semakin jelas bahwa sama sekali ia tidak pernah memberikan ruang bagi dibolehkannya pemimpin kafir. Salah satu yang semakin menguatkan kesimpulan ini dapat dilihat dalam Al-Khilâfah wa Al-Mulk (Maktabah Al-Manar Yordan, 1994: 43).
Ia menulis satu bab “Al-Amîr Yatawallâ Imâmah Al-Shalâh wa Al-Jihâd” (Seorang Amir Harus Memimpin Sholat dan Jihad). Seandainya Ibnu Taimiyyah membolehkan diangkatnya pemimpin non-Muslim, mengapa ia begitu yakin menulis kewajiban pemimpin semacam ini yang tidak mungkin dikerjakan kecuali oleh seorang Muslim?
Konteks Ucapan Ibnu Taimiyyah tentang “Daulah Kafir yang Adil”
Hal berikutnya yang harus diklarifikasi adalah tentang pernyataan Ibnu Taimiyyah di atas. Amat disayangkan bahwa pernyataan Ibnu Taimiyyah ini, hanya dikutip dan dipahami sepotong-sepotong. Seandainya dilihat secara utuh, baik dalam konteks keseluruhan pemikiran Ibnu Taimiyyah maupun dalam konteks di mana kalimat yang dikutip tersebut, maka para pembaca yang jujur akan segera mengerti bahwa Ibnu Taimiyyah sama sekali tidak memaksudkan ucapannya sebagai kebolehan orang kafir dijadikan pemimpin kaum Muslim. Apalagi kalau kutipan ini dipandang secara lebih kritis, bisa jadi ungkapan ini akan tertolak dengan sendirinya. Akan kita urai mengenai masalah ini sebagai berikut.
Pertama, dilihat dari cara Ibnu Taimiyyah mengungkapkan kalimat ini ia hanya menyebutkan dengan kata yurwâ (diriwayatkan), tapi sama sekali tidak menyebut diriwayatkan dari siapa; apakah dari Rasulullah, sahabat, tabi’in, atau tokoh ulama lainnya? Ibnu Taimiyyah adalah orang yang sangat kritis terhadap riwayat-riwayat yang digunakannya untuk menyusun argumentasi. Ia terkategori ahl al-hadîts yang sama sekali tidak menoleransi riwayat-riwayat yang lemah dan tidak jelas; apalagi riwayat palsu. Amat sangat disayangkan, kali ini Ibnu Taimiyyah agak ceroboh. Ia sama sekali tidak menyebutkan ini riwayat semacam apa. Kalau menggunakan metode kritik Ibnu Taimiyyah terhadap riwayat-riwayat, kutipan yang tidak jelas sumbernya semacam ini seharusnya sudah tertolak sejak awal.
Bisa jadi juga bahwa Ibnu Taimiyyah mengikuti tradisi para muhadditsîn dalam menggunakan kata “yurwâ” ini untuk menunjukkan suatu riwayat yang lemah yang tidak bisa digunakan sebagai dasar dalil karena ketidakjelasan riwayat itu sendiri. Hanya saja, ia menyampaikannya karena pernah mendengar riwayat itu sehingga kalaupun ia menyampaikannya kepada pembaca bukan untuk dijadikan sebagai landasan dalil yang kuat, melainkan hanya untuk memperkuat pendapatnya tentang tema yang tengah dibicarakan, yaitu tentang pentingnya keadilan
Kedua, bila kemungkinan kedua di atas yang kita gunakan, maka kita berhusnuzhan bahwa kutipan ini bukan sungguh-sungguh untuk dijadikan sebagai landasan dalil mandiri tentang sesuatu, melainkan untuk menguatkan konteks pembicaraan yang tengah ia wacanakan. Ungkapan tersebut secara utuh disimpan dalam pembahasannya tentang tujuan dari kekuasaan dalam Islam. pada awal wacana Ibnu Taimiyyah menulis, “Ini adalah kaidah-kaidah tentang hisbah. Tujuanya adalah untuk memberikan pengetahuan bahwa segala bentuk kekuasaan dalam Islam tujuannya adalah agar seluruh pelaksanaan agama hanyalah dipersembahkan untuk Allah Swt. dan agar kalimat Allah menjadi kalimat tertinggi…” (Al-Hisbah fî Al-Islâm, tt: 6). Lalu pembahasan dilanjutkan dengan penjelasan bahwa hal itu harus dilakukan dengan ketaatan sepenuhnya pada Allah Swt., baik dalam perkara agama maupun dunia. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya ada orang yang benar, ada juga yang salah sehingga perlu ada yang memenang peranan dalam amar ma‘rûf dan nahyi munkar. Inilah yang dimaksud hisbah di dalam Islam.
Selanjutnya, Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa orang yang berbeda-beda agama dan keyakinan memiliki pandangan yang berbeda-beda pula terhadap masalah agama dan dunia. Akan tetapi, dalam masalah keadilan dan kezhaliman di dunia semua orang memiliki pandangan sama, yaitu bahwa kezhaliman akan berakibat buruk bagi kehidupan manusia di dunia ini, sedangkan keadilan akan berakibat sebaliknya. Setelah itu, baru ia katakan bahwa ada riwayat yang menyatakan seperti ungkapannya di atas. Kutipan di atas secara agak panjang isinya sebagai berikut:
فإِنَّ النَّاسَ لَمْ يَتَنَازَعُوا فِي أَنَّ عَاقِبَةَ الظُّلْمِ وَخِيمَةٌ وَعَاقِبَةُ الْعَدْلِ كَرِيمَةٌ وَلِهَذَا يُرْوَى : ” اللَّهُ يَنْصُرُ الدَّوْلَةَ الْعَادِلَةَ وَإِنْ كَانَتْ كَافِرَةً وَلَا يَنْصُرُ الدَّوْلَةَ الظَّالِمَةَ وَإِنْ كَانَتْ مُؤْمِنَة
“Manusia tidak berselisih bahwa balasan dari perbuatan zalim adalah kebinasaan sementara balasan dari sikap adil adalah kemuliaan. Oleh karena itu diriwayatkan bahwa “Allah akan menolong negara yang adil sekalipun kafir, dan akan membinasakan Negara yang zalim sekalipun beriman.”
Kalau memperhatikan konteksnya, Ibnu Taimiyyah sama sekali tidak sedang membicarakan pemimpin Islam atau kafir, melainkan sedang membicarakan masalah keadilan. Dalam hal-hal duniawi ada dimensi-dimensi keadilan yang rumusnya disepakati bersama oleh orang-orang yang berbeda-beda keyakinan sekalipun. Dalam hal demikian, bila keadilan ditegakkan sekalipun penegaknya itu adalah “negara yang kafir”, maka akan ada pertolongan Allah Swt., dalam arti akan berbuah hal-hal yang baik. Sementara bila tidak ditegakkan, walaupun di “negara yang Muslim”, pasti akan berakibat keburukan. Boleh dikatakan bahwa maksud Ibnu Taimiyyah adalah ingin memberi tekanan kepada keadilan, bukan membicarakan mengenai boleh atau tidaknya pemimpin yang kafir.
Kalau yang dibicarakan adalah keadilan, maka dalam dimensi yang lebih luas, keadilan itu juga termasuk di dalamnya menegakkan agama. Menegakkan agama berarti menegakkan hak-hak Allah Swt. Menegakkan hak Allah Swt. adalah salah satu bentuk keadilan dalam hidup ini, karena “ibadah” merupakan salah satu tujuan dari kehidupan manusia di dunia. Ibadah adalah wujud sikap yang adil terhadap Allah Swt. Bagaimana mungkin keadilan ini dapat ditegakkan oleh orang yang secara keyakinan menentang Allah Swt. alias “kafir”. Kalau membaca keseluruhan tulisan Ibnu Taimiyyah dalam berbagai risalahnya di atas, Ibnu Taimiyyah pasti juga berkesimpulan seperti itu. Namun patut disayangkan ia menyebutkan riwayat yang tidak jelas sumbernya bagi para oembaca untuk menguatkan argumentasinya sehingga membuka celah bagi orang-orang yang berpikiran picik untuk memelintir ucapannya. Padahal, dengan mencantumkan riwayat itu, sama sekali tidak terpikirkan oleh Ibnu Taimiyyah untuk menjadi dalil tentang bolehnya pemimpin kafir bagi kaum Muslim. Wallâhu A’lam.*
Setiap kali ada even pemilihan kepala daerah atau presiden di Indonesia, salah satu wacana yang sering dimunculkan adalah mengenai kepemimpinan non-Muslim di negeri yang mayoritas Muslim ini. Tahun 2017 mendatang akan diselenggarakan Pilkada di DKI Jakarta, ibu kota Republik Indonesia.
Even Pilakada DKI kali ini mendapatkan perhatian lebih bukan hanya kerena posisi strategis ibu kota negara, tetapi juga disebabkan calon incumbent yang non-Muslim Ahok akan maju kembali dalam Pilkada kali ini. Seperti biasa segera muncul pro-kontra tentang kepemimpinan non-Muslim di tengah-tengah penduduk yang mayoritas Muslim.
Salah satu yang selalu diulang-ulang adalah selalu muncul dari kalangan Muslim yang membela kepemimpinan non-Muslim ini. Argumen yang diusung selalu sama, yaitu menolak ayat-ayat yang dijadikan dalil haramnya umat Islam memilih pemimpin kafir dengan menganggapnya bukan larangan tegas untuk itu. Selain itu, argumen lain yang selalu diulang-ulang adalah pendapat Ibnu Taimiyyah dalam bukunya Al-Hisbah fî Al-Islâm aw Wazhîfah Al-Hukûmah Al-Islâmiyyah (hal. 7 dalam cet. Dar El-Kutub El-Imiyyah Libanon). Biasanya yang dikutip dari buku itu adalah penggalan kalimat: “Allah akan menolong negara yang adil sekalipun kafir, dan akan membinasakan Negara yang zalim sekalipun beriman.”
Mengenai argumen bahwa tidak ada ayat-ayat atau hadis yang tegas yang melarang kepemimpinan non-Muslim jelas ini merupakan pendapat yang syâdz (nyleneh, menyimpang) dalam tradisi pemikiran politik Islam. Sebab dalam masalah ini telah terjadi ijmâ’ (kesepakatan) di antara para ulama. Tidak ada satu pun ulama di masa lalu, maupun di masa sekarang yang membolehkan secara mutlak kepemimpinan non-Muslim atas kaum Muslim. Shalah Al-Shawi dalam Al-Wajîz fî Al-Fiqh Al-Khilâfah (Dar Al-I’lam Al-Dauly [tt.], hal. 22-23) menyebutkan bahwa syarat “Islam” bagi calon pemimpin kaum Muslim merupakan sesuatu yang dapat dimengerti dari hukum Islam secara sangat mudah (‘ulima min ahkâm al-imâmah bi al-dharûrah). Tugas kepemimpinan di dalam Islam salah satunya adalah menegakkan agama Islam (iqâmah al-dîn al-islâmy). Bagaimana mungkin orang yang tidak mengimani (kâfir) terhadap ajaran Islam dapat menegakkan Islam?
Oleh sebab masalahnya sesederhana itu, juga ditopang oleh dalil yang sangat banyak di dalam Al-Quran (bukan hanya satu atau dua ayat), maka tidak mengherankan apabila para ulama bersepakat atas wajibnya syarat “Islam” bagi pemimpin kaum Muslim.
Al-Qahi Iyadh berkata;
“Para ulama bersepakat bahwa kepemimpinan (Islam) tidak sah diberikan kepada orang kafir; dan bahkan bila pemimpin (Muslim) kemudian keluar dari Islam (kafir), maka dia harus turun.” (Shahih Muslim bi Syarh Al-Nawâwi Jld. 12 hal. 229). Ibnu Mundzir juga mengatakan, “Seluruh ahli ilmu bersepakat bahwa orang kafir sama sekali tidak boleh menjadi pemimpin bagi kaum Muslim dalam keadaan apapun.” (Ahkâm Ahl Al-Dzimmah li Ibn Qayyim Al-Jauziyyah, Jld. II hal. 414).
Dalam sistem hukum Islam, ijmâ’ merupakan salah satu sumber hukum yang paling kuat setelah Al-Quran dan Sunnah Nabi SHalallallahu ‘Alaihi Wassallam.
Seandainya benar terdapat ijmâ’ di kalangan ulama mengenai kewajiban syarat “Islam” bagi pemimpin kaum Muslim, lalu timbul pertanyaan apakah benar bahwa Ibnu Taimiyyah berbeda pendapat mengenai masalah ini? Salah satu buktinya adalah kutipan di atas. Kalau memang benar, berarti klaim ijmâ’ gugur dengan sendirinya. Inilah yang akan dibahas secara lebih mendalam pada tulisan ini. Untuk membahas masalah ini, ada dua hal yang harus didudukkan, yaitu: bagaimana pandangan Ibnu Taimiyyah sendiri terhadap syarat seorang pemimpin kaum Muslim dan dalam konteks apa ia mengatakan perkataannya di atas.
Syarat Pemimpin Menurut Ibnu Taimiyyah
Hal yang cukup menyulitkan untuk memastikan apa yang dipersyaratkan bagi seorang pemimpin kaum Muslim menurut Ibnu Taimiyyah adalah gaya Ibnu Taimiyyah dalam membahas masalah ini. Dalam kitab-kitab fikih siyasah yang umum seperti tulisan Al-Mawardi Al-Ahkâm Al-Sulthâniyyah, biasanya dibahas secara gamblang dan khusus mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi seorang pemimpin sehingga para pembaca segera dapat mengetahui pendapatnya mengenai masalah ini. Sementara Ibnu Taimiyyah di dalam buku-bukunya yang khusus berkenaan dengan siyasah, yaitu Al-Siyâsah Al-Syar’iyyah, Al-Hisbah fî Al-Islâm, dan Al-Khilâfah wa Al-Mulk tidak menyebutkannya secara khusus. Oleh sebab itu, para pembaca harus memmbacanya secara mendalam dan hati-hati untuk mengetahui bagaimana pandangan Ibnu Taimiyyah mengenai masalah ini.
Dalam disertasinya di Universitas Kairo yang kemudian diterbitkan Dar Al-Akhilla’ Dammam KSA (1994: hal. 95-97) berjudul Al-Nazhariyyah Al-Siyâsah ‘inda Ibn Al-Taimiyyah, Hasan Konakata menyatakan bahwa dari berbagai tulisannya dapat disimpulkan bahwa Ibnu Taimiyyah menetapkan dua syarat umum bagi seorang pemimpin Muslim, yaitu al-quwwah wa al-amânah (kekuatan dan amanah). Kesimpulan ini diambil dari pernyataan Ibnu Taimiyyah sendiri di dalam Al-Siyâsah Al-Syar’iyyah (Dar Al-Afaq Al-Jadidah Beirut, 1998: 15):
فإن الولاية لها ركنان : القوة والأمانة . كما قال تعالى : { إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ } (سورة القصص : من الآية 26) . وقال صاحب مصر ليوسف عليه السلام : { إِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِينٌ أَمِينٌ } (سورة يوسف : من الآية 54) . وقال تعالى في صفة جبريل : { إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ }{ ذِي قُوَّةٍ عِنْدَ ذِي الْعَرْشِ مَكِينٍ }{ مُطَاعٍ ثَمَّ أَمِينٍ } (سورة التكوير : الآيات 19-21) .
Sesungguhnya kepemimpinan itu memliki dua rukun: kekuatan dan amanah, sebagaimana firman Allah Swt., “Sesaungguhnya sebaik-baiknya orang yang kau upah adalah yang kuat lagi amanah. (QS Al-Qashash: 26). Berkata pemimpin Mesir kepada Yusuf, “Sesungguhnya engkau sekarang ini memiliki posisi yang kuat dan terpercaya di sisi kami.” (QS Yusuf: 54); Allah Swt. berfirman tentang sifat Jibrir, “Sesungguhnya itu merupakan ucapan utusan yang mulia; yang memiliki kekuatan dan kedudukan yang kuat di sisi Sang Pemilik Arsy; yang taat lagi dapat dipercaya.” (QS Al-Takwir: 19-21).
Yang dimaksud dengan “kekuatan” oleh Ibnu Taimiyyah adalah kemampuan yang harus dimiliki seorang pemimpin di lapangan yang dipimpinnya. Ia mencontohkan seorang panglima perang harus memiliki keberanian dan pengetahuan strategi perang. Tanpa kedua hal itu, dia tidak akan mampu melaksanakan tugasnya sebagai pemimpin pasukan tempur. Sementara orang yang akan memangku amanah memimpin manusia harus mengetahui ilmu tentang keadilan yang diajarkan di dalam Al-Quran dan Al-Sunnah; juga harus memiliki kemampuan untuk menerapkannya di tengah-tengah manusia.
Adapun yang dimaksud dengan “amanah” adalah sikap takut hanya pada Allah, tidak memperjualbelikan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit, dan tidak takut pada manusia. Definisi ini ia dasarkan pada firman Allah Swt., “Janganlah kalian takut pada manusia, takutlah pada-Ku; dan janganlah kalian memperjualbelikan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Siapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang kafir. (QS Al-Ma’idah: 44). Kalau merujuk pada syarat “amanah” ini agak sulit dimengerti kalau Ibnu Taimiyyah tidak mempersyaratkan pemimpin harus seorang “Muslim”. Kalau bukan Muslim, bagaimana mungkin dia bisa takut pada Allah dan memperjual-belikan ayat-ayat Allah? Bahkan syarat yang ditetapkan Ibn Taimiyyah ini lebih dari sekedar harus “Muslim.” Dia harus memiliki sifat-sifat yang utama sekelas sifat seoang ulama, yaitu “takut pada Allah Swt.”
Penjelasan mengenai syarat-syarat menjadi pemimpin kaum Muslim semacam ini memang agak berbeda dengan penulis-penulis lain. Akan tetapi maksud yang ingin disampaikan Ibnu Taimiyyah sama dengan ulama-ulama yang lain. Bila dibandingkan dengan penjelasan Al-Mawardi, misalnya, maka kita akan segera bisa menyimpulkan bahwa kriteria Ibnu Taimiyyah telah merangkum syarat-syarat yang ditetapkan Al-Mawardi.
Dalam Al-Ahkam Al-Sulthâniyyah (Dar Ibn Qutaibah Kuwait, 1989: 3-5), Al-Mawardi menyebutkan bahwa kepemimpinan politik dalam Islam bertujuan untuk meneruskan misi kenabian dalam menegakkan agama dan mengatur urusan dunia. Untuk itu, orang yang akan memangku amanah ini harus memiliki syarat antara lain: adil (dengan berbagai syaratnya, termasuk di dalamnya beragama Islam), memiliki ilmu yang dapat mengantarkannya melakukan ijtihad, sehat panca indra, sehat anggota tubuh, memiliki kecerdasan, dan memiliki keberanian untuk menerapkan berbagai aturan. Dari keenam syarat yang ditetapkan Al-Mawardi ini esensinya hanya dua seperti yang disebut Ibnu Taimiyyah, yaitu: memiliki kekuatan (al-quwwah) dan amanah. “Islam” pasti merupakan salah satu syarat mutlak di dalamnya karena tujuan dari kepemimpinan itu sendiri adalah untuk menegakkan agama sebagaimana tugas oara Nabi.
Kalau kita telaah lagi semua tulisan Ibnu Taimiyyah tentang masalah politik ini akan semakin jelas bahwa sama sekali ia tidak pernah memberikan ruang bagi dibolehkannya pemimpin kafir. Salah satu yang semakin menguatkan kesimpulan ini dapat dilihat dalam Al-Khilâfah wa Al-Mulk (Maktabah Al-Manar Yordan, 1994: 43).
Ia menulis satu bab “Al-Amîr Yatawallâ Imâmah Al-Shalâh wa Al-Jihâd” (Seorang Amir Harus Memimpin Sholat dan Jihad). Seandainya Ibnu Taimiyyah membolehkan diangkatnya pemimpin non-Muslim, mengapa ia begitu yakin menulis kewajiban pemimpin semacam ini yang tidak mungkin dikerjakan kecuali oleh seorang Muslim?
Konteks Ucapan Ibnu Taimiyyah tentang “Daulah Kafir yang Adil”
Hal berikutnya yang harus diklarifikasi adalah tentang pernyataan Ibnu Taimiyyah di atas. Amat disayangkan bahwa pernyataan Ibnu Taimiyyah ini, hanya dikutip dan dipahami sepotong-sepotong. Seandainya dilihat secara utuh, baik dalam konteks keseluruhan pemikiran Ibnu Taimiyyah maupun dalam konteks di mana kalimat yang dikutip tersebut, maka para pembaca yang jujur akan segera mengerti bahwa Ibnu Taimiyyah sama sekali tidak memaksudkan ucapannya sebagai kebolehan orang kafir dijadikan pemimpin kaum Muslim. Apalagi kalau kutipan ini dipandang secara lebih kritis, bisa jadi ungkapan ini akan tertolak dengan sendirinya. Akan kita urai mengenai masalah ini sebagai berikut.
Pertama, dilihat dari cara Ibnu Taimiyyah mengungkapkan kalimat ini ia hanya menyebutkan dengan kata yurwâ (diriwayatkan), tapi sama sekali tidak menyebut diriwayatkan dari siapa; apakah dari Rasulullah, sahabat, tabi’in, atau tokoh ulama lainnya? Ibnu Taimiyyah adalah orang yang sangat kritis terhadap riwayat-riwayat yang digunakannya untuk menyusun argumentasi. Ia terkategori ahl al-hadîts yang sama sekali tidak menoleransi riwayat-riwayat yang lemah dan tidak jelas; apalagi riwayat palsu. Amat sangat disayangkan, kali ini Ibnu Taimiyyah agak ceroboh. Ia sama sekali tidak menyebutkan ini riwayat semacam apa. Kalau menggunakan metode kritik Ibnu Taimiyyah terhadap riwayat-riwayat, kutipan yang tidak jelas sumbernya semacam ini seharusnya sudah tertolak sejak awal.
Bisa jadi juga bahwa Ibnu Taimiyyah mengikuti tradisi para muhadditsîn dalam menggunakan kata “yurwâ” ini untuk menunjukkan suatu riwayat yang lemah yang tidak bisa digunakan sebagai dasar dalil karena ketidakjelasan riwayat itu sendiri. Hanya saja, ia menyampaikannya karena pernah mendengar riwayat itu sehingga kalaupun ia menyampaikannya kepada pembaca bukan untuk dijadikan sebagai landasan dalil yang kuat, melainkan hanya untuk memperkuat pendapatnya tentang tema yang tengah dibicarakan, yaitu tentang pentingnya keadilan
Kedua, bila kemungkinan kedua di atas yang kita gunakan, maka kita berhusnuzhan bahwa kutipan ini bukan sungguh-sungguh untuk dijadikan sebagai landasan dalil mandiri tentang sesuatu, melainkan untuk menguatkan konteks pembicaraan yang tengah ia wacanakan. Ungkapan tersebut secara utuh disimpan dalam pembahasannya tentang tujuan dari kekuasaan dalam Islam. pada awal wacana Ibnu Taimiyyah menulis, “Ini adalah kaidah-kaidah tentang hisbah. Tujuanya adalah untuk memberikan pengetahuan bahwa segala bentuk kekuasaan dalam Islam tujuannya adalah agar seluruh pelaksanaan agama hanyalah dipersembahkan untuk Allah Swt. dan agar kalimat Allah menjadi kalimat tertinggi…” (Al-Hisbah fî Al-Islâm, tt: 6). Lalu pembahasan dilanjutkan dengan penjelasan bahwa hal itu harus dilakukan dengan ketaatan sepenuhnya pada Allah Swt., baik dalam perkara agama maupun dunia. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya ada orang yang benar, ada juga yang salah sehingga perlu ada yang memenang peranan dalam amar ma‘rûf dan nahyi munkar. Inilah yang dimaksud hisbah di dalam Islam.
Selanjutnya, Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa orang yang berbeda-beda agama dan keyakinan memiliki pandangan yang berbeda-beda pula terhadap masalah agama dan dunia. Akan tetapi, dalam masalah keadilan dan kezhaliman di dunia semua orang memiliki pandangan sama, yaitu bahwa kezhaliman akan berakibat buruk bagi kehidupan manusia di dunia ini, sedangkan keadilan akan berakibat sebaliknya. Setelah itu, baru ia katakan bahwa ada riwayat yang menyatakan seperti ungkapannya di atas. Kutipan di atas secara agak panjang isinya sebagai berikut:
فإِنَّ النَّاسَ لَمْ يَتَنَازَعُوا فِي أَنَّ عَاقِبَةَ الظُّلْمِ وَخِيمَةٌ وَعَاقِبَةُ الْعَدْلِ كَرِيمَةٌ وَلِهَذَا يُرْوَى : ” اللَّهُ يَنْصُرُ الدَّوْلَةَ الْعَادِلَةَ وَإِنْ كَانَتْ كَافِرَةً وَلَا يَنْصُرُ الدَّوْلَةَ الظَّالِمَةَ وَإِنْ كَانَتْ مُؤْمِنَة
“Manusia tidak berselisih bahwa balasan dari perbuatan zalim adalah kebinasaan sementara balasan dari sikap adil adalah kemuliaan. Oleh karena itu diriwayatkan bahwa “Allah akan menolong negara yang adil sekalipun kafir, dan akan membinasakan Negara yang zalim sekalipun beriman.”
Kalau memperhatikan konteksnya, Ibnu Taimiyyah sama sekali tidak sedang membicarakan pemimpin Islam atau kafir, melainkan sedang membicarakan masalah keadilan. Dalam hal-hal duniawi ada dimensi-dimensi keadilan yang rumusnya disepakati bersama oleh orang-orang yang berbeda-beda keyakinan sekalipun. Dalam hal demikian, bila keadilan ditegakkan sekalipun penegaknya itu adalah “negara yang kafir”, maka akan ada pertolongan Allah Swt., dalam arti akan berbuah hal-hal yang baik. Sementara bila tidak ditegakkan, walaupun di “negara yang Muslim”, pasti akan berakibat keburukan. Boleh dikatakan bahwa maksud Ibnu Taimiyyah adalah ingin memberi tekanan kepada keadilan, bukan membicarakan mengenai boleh atau tidaknya pemimpin yang kafir.
Kalau yang dibicarakan adalah keadilan, maka dalam dimensi yang lebih luas, keadilan itu juga termasuk di dalamnya menegakkan agama. Menegakkan agama berarti menegakkan hak-hak Allah Swt. Menegakkan hak Allah Swt. adalah salah satu bentuk keadilan dalam hidup ini, karena “ibadah” merupakan salah satu tujuan dari kehidupan manusia di dunia. Ibadah adalah wujud sikap yang adil terhadap Allah Swt. Bagaimana mungkin keadilan ini dapat ditegakkan oleh orang yang secara keyakinan menentang Allah Swt. alias “kafir”. Kalau membaca keseluruhan tulisan Ibnu Taimiyyah dalam berbagai risalahnya di atas, Ibnu Taimiyyah pasti juga berkesimpulan seperti itu. Namun patut disayangkan ia menyebutkan riwayat yang tidak jelas sumbernya bagi para oembaca untuk menguatkan argumentasinya sehingga membuka celah bagi orang-orang yang berpikiran picik untuk memelintir ucapannya. Padahal, dengan mencantumkan riwayat itu, sama sekali tidak terpikirkan oleh Ibnu Taimiyyah untuk menjadi dalil tentang bolehnya pemimpin kafir bagi kaum Muslim. Wallâhu A’lam.*