TURKI DAN PEMBAHARUAN DALAM ISLAM
SEJARAH
KAWASAN TIMUR TENGAH
“TURKI
DAN PEMBAHARUAN DALAM ISLAM”
Oleh:
MUHAMMAD
KHOIRUL HUDA
NPM:
1606861441
Dosen
Pengampu:
Prof.
DR. Amany Burhanuddin Lubis, M.A
DR.
Hendra Kurniawan, Lc, M.Si
Program
Studi Kajian Timur Tengah dan Islam
Pasca
Sarjana Universitas Indonesia (PSKTTI UI)
2016
2016
Daftar Isi:
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Setelah
Bahgdad, wilayah Islam di kawasan Timur jatuh ke tangan bangsa Mongol dan dunia
Islam di Barat jatuh ke tangan umat Kristen Eropa. Kelemahan sistem peradaban Islam
mulai tampak. Oleh sebab itu, muncul ide untuk mengadakan pembaharuan dalam
beberapa segi.
Pendudukan Mesir atas Napoleon tahun
1798 M merupakan peristiwa sejarah yang menjadi pangkal kesadaran umat Islam
akan kelemahan sistem peradabannya dan akan pentingnya pembaharuan dalam segala
aspek kehidupan masyarakat islam. Invasi terhadap Mesir diikuti dengan dominasi
Inggris atas India dan kehancuran turki sebagai akibat peperangan besar antara
Tsar Rusia dan Persia yang mengakibatkan jatuhnya beberapa wilayah Islam ke
tangan Barat.[1]
Kedatangan Napoleon di Mesir pada
1798 merupakan momentum penting dari perkembangan Islam. Kedatangan “penakluk
dari Prancis” ini tidak hanya membuka mata kaum muslim akan apa yang dicapai
oleh peradaban Barat di bidang sains dan teknologi, tetapi juga menandai awal
kolonialisme Barat atas wilayah-wilayah Islam. Di antaranya akibat kontak itu
di lingkuangan elit muslim para penguasa dan kalangan cendikiawan gerakan pembaharuan
Islam kembali memperoleh gairah. Kaum muslim semakin intensif dan bersemangat
mengkaji kembali doktrin-doktrin dasar Islam khususnya dihadapkan pada kemajuan
Barat. Kritik-kritik terhadap kondisi umum masyarakat Islam bermunculan, seruan
berjihad semakin nyaring terdengar, pandangan lama yang menganggap pintu ijtihad
telah tertutup tidak hanya digugat, tetapi bahkan dianggap sebagai cermin dari
keterbelakangan intelektual. Tidak heran jika taqlid mendapat kritik pedas
dari kalangan pembaharu.[2]
Pada abad pertengahan Dunia Barat
telah maju, ditandai dengan beberapa kemajuan dan penemuan teknologi modern
seperti kaca lensa (1250), alat percetakan (1450), dan lain-lain. Perkembangan
IPTEK ini disamping menimbulkan hal-hal yang positif adapula yang negatif,
sedangkan umat Islam dibelahan bagian timur sedang bersimpuh dibawah penindasan
dan juga terlena dibawah sisa kemegahan kurturnya di masa silam yang telah
sirna, namun dibelahan barat (Asia Barat) kurang lebih tahun 1300 telah berdiri
pula Kerajaan Turki, namun mereka kurang berbudaya. Mereka hanya mengandalkan
kemajuan militer, keberanian dan fisik mereka yang kuat, namun mereka ini
merupakan ancaman bagi Eropa. Bangsa Turki adalah bangsa yang pemberani dan
disiplinnya sangat tinggi, bangsa campuran dari bangsa Mongol dan bangsa
lainnya di Asia Tengah ini. Sebelum mereka masuk Islam, mereka memeluk agama
Majusi, Budha atau agama besar lainnya.
Jika di Mesir ide Pembaharuan muncul
setelah kedatangan Napoleon dan pergerakan-pergerakan yang dilakukan oleh kaum
intelektualnya seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan
murid-murid Abduh, maka di Turki muncul dari dalam kerajaan Usmani yang
berkuasa pada waktu itu. Ide pembaharuan mengemuka di Kerajaan Usmani pada abad
ke tujuh belas. Kerajaan ini mulai mengalami kekalahan dalam peperangan melawan
tentara Eropa. Fakta ini mendorong para pemuka kerajaan untuk mengevaluasi
penyebab kekalahan mereka dan rahasia kemenangan lawan. Mereka mulai
memperhatikan kemajuan Eropa, terutama Perancis sebagai kawasan yang maju.
Orang-orang Eropa ang kerap kali dipandang “kafir” dan rendah mulai dihargai.
Duta-duta dikirim ke Eropa untuk mempelajari suasana dan kemajuannya.[3] Akhirnya
mereka mengetahui bahwa rahasia kemajuan bangsa Eropa terletak pada penerapan
sains dan teknologi tinggi di dalam militer.[4]
Pada permulaan abad ke tujuh belas,
Turki Usmani mulai memperdebatkan cara terbaik bagi program restorasi
intergritas politik dan efektivitas kekuatan militer yang dimiliki kerajaan.
Para pembaharu pada awalnya berlandaskan pada aturan yang digariskan Sultan
Sulaiman yang menentang kemungkinan pengaruh kekuatan Kristen Eropa atas kaum
Muslim. Para modernis menganngap perlunya kerajaan Turki untuk mengadopsi
metode yang dimiliki bangsa Eropa dalam pendidikan militer, organisasi dan
administrasi untuk menciptakan suatu perubahan dibidang pendidikan, ekonomi,
dan sosial yang mendukung terbentuknya Negara modern. Pada abad ke delapan
belas, kelompok muncul dengan terang-terangan dan akhirnya menjadi pemenang.[5]
Semenjak abad ke delapan belas,
penasehat militer Eropa telah mulai dipekerjakan untuk memberikan latihan
kemiliteran bagi pejabat militer kerjaan. Percetakan juga mulai didirikan untuk
menerbitkan beberapa terjemahan karya Eropa di bidang teknik, militer dan
geografi. Sultan Salim II (1789-1807) memperkenalkan program pembaharuan
pertama, dikenal dengan Nizam-I jedid. Rencana pembaharuan itu meliputi
pembentukan korp militer baru, perluasan sistem perpajakan dan pelatiahan untuk
mendidik para kader bagi rezim baru. Rencana yang dikemukakan Sultan Salim
ternyata tidak mendapat dukungan dari para ulama dan kelompok militer
Janissari, yang akhirnya ia sendiri menjadi kurban rencana pembaharuan
tersebut. Ia kemudian digulingkan pada tahun 1807. Meskipun demikian, program
pembaharuan tersebut dilaksanakan pada periode Sultan Mahmud II.[6]
Pembaharun inilah yang membuat Turki berhasil.
Puncak kemajuan Turki pada zaman
Sultan Mahmud II, antara lain pada tahun 1453 dapat menaklukkan Byzantium
Romawi. dari Istanbul, mereka menguasai daerah sekitar laut tengah dan
berabad-abad lamanya Turki sebagai suatu negara yang perlu diperhatikan dan
diperhitungkan oleh ahli-ahli politik dari Eropa.[7]
Berdasarkan penjelasan latar
belakang di Atas, penulis akan mengemukakan dalam makalah ini gerakan
pembaharuan di Turki yang terkhusus pada pokok pemikiran Sultan Mahmud II dan
gerakan Tanzimat beliau.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang masalah di atas, penulis menarik rumusan masalah yang
akan dijadikan titik fokus pembahasan dalam makalah ini. Rumusan masalah yang
dimaksud yaitu sebagai berikut:
1.
Bagaimana pokok pemikiran Sultan Mahmud II dalam gerakan
Pembaharuan di Turki?
2.
Apa yang dimaksud dengan Tanzimat dalam gerakan pembaharuan
di Turki?
3.
Apa yang dimaksud dengan pergerakan Usmani Muda dan apa ide
pembaharuan mereka?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sultan
Mahmud II dan Ide Pembaharuannya
Sebagaiman di
Mesir, pelopor pembaharuan pemikiran Islam di Kerajaan Usmani adalah raja. Bila
di Mesir dipelopori oleh Muhammad Ali Pasya, maka di Turki Sultan Mahmud II
menjadi pioneer pembaharuan.
Sultan Mahmud II dilahirkan di Saray
pada Juli 1785. Ia adalah putra Sultan Abd. Hamid dan memperoleh pendidikan
istana di bidang bahasa-bahasa Islam klasik, agama, hukum, sastra, dan sejarah.
Dia tidak memiliki pengethuan barat secara langsung dan tidak mengetahui bahasa
Eropa satu pun.[8]
Ia diangkat menjadi sebagai sultan pada tahun 1807.[9]
Turki adalah bekas jantung tempat
salah satu kekhalifahan terbesar Islam, yakni Turki Usmani. Oleh karena itu
keterikatan bangsa Turki dengan Islam
berlangsung sangat kuat sebab mereka
bangsa terkemuka di dunia Islam selama beratus-ratus tahun lamanya. Ini
merupakan suatu indikasi tentang betapa pentingnya Islam dalam kehidupan
nasional rakyat Turki. Secara politis setiap orang yang bertempat tingal di
Turki, tetapi secara kebudayaan orang Turki adalah hanya orang Islam.
Kerajaan Turki pada awal abad
kesembilan belas dalam kondisi yang berantakan dan terpecah-pecah, mengingat
minimnya kontrol politik pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Di Mesir,
wakil pemerintahan Turki pada saat itu Muhammad Ali justru meletakkan dasar
bagi kekuatan politik yang mandiri. Para pasya di Iraq bahkan hanya tunduk pada
pemerinah Turki secara nominal. Di Siria telah muncul gubernur-gubernur lokal
yang menyatakan kemerdekaannya. Di Anatolia, ternyata hanya dua provinsi yang
menyatakan tunduk pada pemerintah pusat. Lemahnya kosolidasi politik internal
diperburuk dengan ikutnya kekuatan militer Turki dalam berbagai Negara asing.
Sultan Salim III terpaksa harus meminta bantuan kepada Perancis untuk mencegah
sebagian wilayahnya yang teraknisasi oleh kekuatan Rusia. Begitu juga
keterlibatan kerajaan Turki dengan Inggris yang berusaha menaklukan darnadela
pada tahun 1807. Napoleon yang terlibat dengan Turki dalam perjanjian Tilsit 7
juli 1807 dan Eufrat 12 Oktober 1808, tidak hanya mencegah kekuatan oposisi
terhadap Rusia, tetapi juga membiarkan Rusia menaklukan beberapa daerah
taklukan Turki.[10]
Ketika ia naik tahta dan menjadi
raja di Kerajaan Turki, Sultam Mahmud II memusatkan perhatiannya pada berbagai
perubahan internal. Perbaikan internal tersebut dipusatkan pada rekonstruksi
kekuatan angkatan bersenjata kerajaan sehingga menjadi kekuatan yang tangguh
dalam menghadapi berbagai tantangan. Selain itu perbaikan tersebut dimaksudkan
untu mengkonsolidasi seluruh potensi lokal. Kebijaksanaan ini menjadikan
dirinya sebagai musuh bagi kelompok militer lama yang dikenal dengan Janissari.
Pada tahun 1826, ia merombak Janissari menjadi kekuatan militer Eropa.
Kebijksanaan ini akhirnya diprotes oleh Janissari yang sudah berdiri
pada abad keempat belas oleh Sultan Orkhan, pada tanggal 16 Juni 1826. Akhirnya
pemberontakan tersebut dikenal dengan The Auspicious Incident dalam
sejarah Turki.
Sebagai seorang ahli strategi, ia
berusaha ntuk melebihi apa yang dilakukan Salim III. Ia mencari dukungan dari
para ulama yang akhirnya dia memperolehnya. Janissari yang pada tahun
1807 memperoleh dukungan penuh dari penduduk Istanbul, maka dengan reformasi
yang ia programkan kekuaan militer lama ini hanya memperoleh sebagian dukungan
dari masyarakat pada tahun 1826. Meskipun demeikian ia juga membentuk sebuah
kelompok perantara antara kelompok janissari dengan pemerintahannya, karena
yang ia kerjakan adalah untuk restorasi kekuatan militer demi kajayaan Turki di
masa mandatang. Sehingga mereka yang merasa tersingkirkan masih dapat
diharapkan kesetiaannya kepada pemerintah. Begitu pula dengan sentralisasi
kekuasaan yang menjadi program utama Sultan Mahmud II berangsur-angsur
dilaksanakan. Kekuatan militer baru tersebut menjadi semakin loyal terhadap
sultan dan menjadi alat proses sentralisasi politik serta pendorong proses
medornisasi.[11]
Pada tahun 1827, ia mendirikan
sekolah kedokteran di kota Istanbul yang mendidik dokter militer baru. Pada
antara tahun 1831-1834, dua lembaga pendidikan untuk tujuan militer juga
didirikan. Pertama adalah Muzika-I Humayun Mektabi yang merupakan
sekolah musik kerajaan; kedua adalah Mektab-I Ulam-I Harbiye yang
merupakan akademi militer kerajaan, yang keduanya diresmikan pada tahun 1834.
Untuk masyarakat umum ia mendirikan pendidikan tingkat menengah dengan nama
sekolah Rusydiye. Sekolah tersebut dibangun untuk mempersiapkan
kader-kader yang akan menjadi pegawai sipil. Selain itu ia mendirikan ilmu
pengetahuan umum Mekteb-I Ma’arif dan Mekteb-I Ulum-I Edebiye yang
merupakan sekolah sastra. Terhadap sistem pendidikan tradisional, madrasah, ia
berusaha memasukkan pengetahuan umum dalam kurikulum pendidikannya.[12]
Pada tahun 1826, untuk mengurangi
pengaruh ulama dan beberapa tokoh organisasi keagamaan, terutama tokoh tarekat
Bektasyiyah, ia mendirikan lembaga Evkaf, sebuah lembaga yang
menghimpun dan mengurus harta milik kerajaan. Lembaga Evkaf dipimpin
oleh seorang menteri Evkaf yang tujuannya untuk mensentralisasi
administrasi dan pencatatan harta milik kerajaan. Sebelumnya harta kerajaan
berada di bawah tanggung jawab para penguasa lokal, yang saat itu berada
ditangan ulama. Tetapi upaya di bidang ini tidak sepenuhnya berhasil dan
dilanjutkan oleh penggantinya, sehingga sebagian besar harta milik kerajaan
saat itu dapat dicatat dan diselamatkan. Selain itu, administrasi pusat juga
mulai dibenahi. Sistem model kementrian model Eropa diperkenalkan dan seluruh
menteri bertanggung jawab pada seorang perdana menteri. Pada tahun 1838, Untuk
membantu meletakkan dasar strategi perencanaan jangka panjang ia mendirikan
sebuah lembaga legislatif dan dikenal dengan nama Meclis-I Ahkam-I Adliye.
Pada tahun 1833, dibuka lembaga penerjemahan. Kedutaan besar kerajaan Turki di
berbagai Negara asing dibuka kembali sehingga memungkinkan bagi mereka
melancarkan ide tandingan terhadap apa yang dilontarkan sarjana Eropa.[13]
Pada tahun 1831, untuk
menyebarluaskan berbagai kebijaksanaan pemerintah, diterbitkan sebuah
penerbitan dalam bahasa Turki yang bernama Takvim-I Vekayi. Jurnal ini
merupakan penerbitan resmi kerajaan dan menjadi bacaan wajib bagi para pejabat
kerajaan. Jurnal ini awalnya hanya terbatas pada salinan berbagai keputusan pemerintah dan berbagai
pandangan sultan mengenai berbagai persoalan kenegaraan yang sedang berkembang.
Untuk melancarkan penyaluran penerbitan ini, diresmikan sistem pos pada tahun
1834. Rute pos pertama adalah antara Uskudar menuju Izmir yang dibuka secara
formal oleh sultan sendiri. Rute pos kedua adalah antara Istanbul menuju Edirne
yang di kemudian hari berkembang dan menghubungkan beberapa pusat pemerintahan.
Selain pos, dibangun beberapa sarana infrastruktur di bidang transportasi. Hal
ini membantu kebijakan komunikasi pemerintahan. Jalan baru kemudian dibangun
untuk memperlancar antara Turki dan Eropa.[14]
Berdasarkan penjelasan di atas, maka
diantara gerakan pembaharuan yang dilakukan Sultan Mahmud II antara lain:
1.
Pembaharuan di bidang militer. Ia membentuk korps tentara baru yang
diberi nama Muallem Eshkinji (pengawal terlatih), yang pelatihnya
dikirim dari Mesir oleh Muhammad Ali Pasya. Korps ini sebagai ganti dari Janissari
yang dibubarkan karena kekuatannya mulai menurun.
2.
Menerapkan sistem demokrasi dalam pemerintahan. Misalnya, tradisi aristokrat
ia langgar dan pakaian-pakaian resmi para pejabat diganti dengan pakaian
sederhana.
3.
Menghapus kekultusan sultan yang dianggap sakral oleh rakyat.
4.
Kekuatan sadrazam dihapus dan diganti dengan pardana
menteri. Kekuasaan yudikatif yang pada mulanya di tangan sadrazam dipindahkan
ke Syekh Islam.
5.
Menghapus hukuman mati yang biasa dilakukan para penguasa terhadap
tersangka tanpa melalui prosedur hukum.
6.
Mengadakan pembaharuan di bidang pendidikan dengan memasukkan
kurikulum umum ke dalam lembaga pendidikan madrasah.
7.
Mendririkan sekolah kedokteran, kemiliteran dan teknik. Ia juga
mengirimkan siswa-siswa untuk belajar ke luar negeri.[15]
B.
Tanzimat
Secara etimologi
“tanzimat” berasal dari kata nazhzhama-yunazhzhimu-tanzhimat,
yang berarti mengatur, menyusun, dan memperbaiki.[16]
Term ini dimaksudkan untuk menggambarkan seluruh gerakan pembaharuan yang
terjadi di Turki Usmani pada pertengahan abad ke-19, yaitu penerus usaha-usaha
pembaharu yang dilakukan oleh Sultan Mahmud II. Tanzimat atau dalam
bahasa Turki Tanzimat-i Khairiye merupakan gerakan pembaharuan di Turki
yang diperkenalkan ke dalam sistem birokrasi dan pemerintahan Turki Usmani
semenjak pemerintahan Sultan Abd. Majid (1839-1861), putra Sultan Mahmud II,
dan Sultan Abd. Aziz (1861-1876).[17]
Gerakan ini ditandai dengan
munculnya sejumlah tokoh pembaharuan Turki Usmani yang belajar dari Barat yaitu
bidang pemerintahan, hukum, administrasi, pendidikan, keuangan, perdagangan dan
sebagainya.[18]
Tokoh-tokoh Tanzimat adalah Mustafa Rasyid Pasya, Mustafa Sami Pasya, Mahmed
Sadik Rifat Pasya dan Ali Pasya
Munculnya Tanzimat disebabkan oleh
beberapa faktor, di antaranya:
1.
Hukum kerajaan usmani tidak
disenangi oleh orang-orang
Eropa, Diberlakukannya hukum fiqhi
yang menetapkan hukuman
mati bagi orang-orang Eropa yang murtad setelah masuk
Islam yang berada di wilayah Kerajaan
2.
Para tokoh Tanzimat
ingin membatasi kekuasaan Sultan
Turki yang absolut. Desakan
Eropa terhadap Kerajaan Usmani untuk melindungi orang-orang Eropa yang berada dalam wilayah
Kerajaan Usmani.
3.
Absolutisme Sultan dianggap sebagai sebab kemunduran Kerajaan
Usmani. Tujuan era dan
gerakan Tanzimat adalah
memajukan Kerajaan Usmani membuat sistem hukum
resmi yang menjamin kebebasan dan kesamaan hak rakyat, menciptakan Turki Modern,
memberikan fasilitas terhadap
perkembangan ekonomi, dan mendorong
perkembangan lembaga-lembaga kebudayaan
modern.
Dengan demikian, juru bicara Majelis
Musyawarah (Mechlis-i Sura) menyatakan bahwa :
1.
Karena sistem hukum
lama sudah tidak
sesuai dengan perkembangan zaman, maka harus diganti dengan
Undang-undang.
2.
Undang-undang yang baru itu harus tetap sesuai dengan syariat.
3.
Undang-undang yang baru itu harus didasarkan atas kebebasan,
pengakuan atas hak milik dan kehormatan warga negara.
4.
Undang-undang itu harus menciptakan hak antara orang-orang Islam
dan rakyat Turki pada umumnya.
Tanzimat melahirkan
2 (dua) piagam,
yaitu Piagam Gulhane
(Hatt-i Syerif Gulhane) dan
Piagam Humayun (Hatt-i
Humayun).[19]
Piagam Gulhane dikeluarkan oleh Sultan Abdul Majid pada
tahun 1839, atas pengaruh Mehmed Sadik Rifat Pasya, Piagam Humayun
diumumkan pada tahun
1856 yang pada
dasarnya memperkuat Piagam
Gulhane.
Dalam kedua
piagam ini, tercakup
tujuan-tujuan Tanzimat dan merupakan dasar bagi usaha-usaha
pembaharuan di Kerajaan Usmaniah pada zaman Tanzimat dalam berbagai
bidang, seperti bidang pemerintahan,
hukum, administrasi, pendidikan, keuangan dan perdagangan.
Adapun tokoh-tokohnya yang terkenal
adalah:
a)
Mustafa
Rasyid Pasya (1880-1858 M)
Mustafa Rasyid
pasya yang dikenal dengan Bayrakdar lahir di Ruschuk, Istambul pada tahun 1800.
Ia sering disebut sebagai arsitek pembaharun abad kesembilan belas di Turki.
Ayahnya merupakan pejabat Evkaf
yang meninggal ketika berumur sepuluh tahun. Ia memperoleh pelajaran
menulis dari ayahnya dan menuntut pelajaran tradisional di masjid-masjid. Meskipun
demikian, ia sendiri tidak sempat menyelesaikan pelajarannya di madrasah. Karir
birokratisnya ditolong oleh Ispartah Sayyid Ali Pasya, dan pada tahun 1832 ia
ditunjuk sebagai Amedi yang memungkinkan dirinya menjadi sekretaris utama
menteri luar negeri. Perkenalannya dengan dunia Barat dimulai saat ia diangkat
menjadi duta besar di Paris pada tahun 1834. Jabatannya sebagai duta besar
memungkinkannya mempelajari bahasa Perancis dan melihat kemajuan yang terjadi
di dunai Barat. Ia melihat bahwa peradaban yang ada di Eropa merupakan
peradaban yang saling berkesinambungan. Pada masa berikutnya ia diangkat
menjadi menteri luar negeri dan sekembalinya dari London untuk sebuah misi
khusus, ia mengambil suatu inisiatif untuk mengumumkan suatu pembaharuan yang dikenal
dalam sejarah Turki dengan nama Tanzimat.[20]
b)
Mustafa
Sami Pasya (wafat 1855 M)
Mustafa
Sami Pasya mempunyai banyak pengalaman di luar negeri antara lain di Roma,
Wina, Berlin, Brussel, London, Paris dan negara lainnya sebagai pegawai dan
duta.
Menurut
pendapat Mustafa Sami Pasya, kemajuan bangsa Eropa terletak pada keunggulan
mereka dalam lapangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebab lain dilihatnya
karena toleransi beragama dan kemampuan orang Eropa melepaskan diri dari
ikatan-ikatan agama, disamping itu pula pendidikan universal bagi pria dan
wanita, sehingga umumnya orang Eropa pandai membaca dan menulis.[21]
c)
Mehmed
Sadek Rifat Pasya (1807-1856)
Pada
tahun 1834 Mehmed Sadek menjadi pembantu luar negari. Ia pernah menjadi duta
besar di Wina, menteri luar negeri, menteri keuangan, dan ketua dewan Tanzimat.
Diantara pemikirannya yang terpenting adalah kemakmuran suatu negara sangat
bergantung pada kemakmuran rakyat, kemakmuran rakyat sangat ditentukan oleh
adanya rasa aman, sedangkan rasa aman baru dapat diwujudkan dengan
menghilangkan sistem pemintahan yang absolut. Oleh karena itu, agar semuanya
dapat tercapai, maka diperlukan undang-undang. Lebih jauh ia menjelaskan
kesewenang-wenangan pemerintah akan menimbulkan permusuhan dikalangan rakyat.
Dalam tulisan-tulisannya, ia banyak mengemukakan kata-kata halk (rakyat),
millet (bangsa), huquq (hak-hak), dan hurriyyat (kemerdekaan).[22]
Pemikiran
Sadik Rifat sejalan dengan pemikiran Mustafa Rasyid Pasya, yang pada waktu itu
mempunyai kedudukan menteri luar negeri. Atas pengaruhnya berhasillah langkah
pertama dalam pengadaan undang-undang dan peraturan sebagaimana yang dimaksud
oleh Sadim Rifat. Di tahun 1939, Abdul Majid, sultan yang menggantikan Mahmud
II, mengeluarkan hatt-i syerif gulhane (piagam gulhane).[23]
Sejak
diumumkannya deklarasi tersebut, maka menjadi kewajiban sultan untuk : pertama,
menjaga keaman harta milik seluruh warga negara yang berada diwilayah kekuasaan
kesultanan Turki, dan karena seluruh pungutan diluar pajak akan segera dihapus.
Selain itu akan diperbaharui sistem rekruitmen dalam tubuh angkatan bersenjata.
Kedua, seluruh umat beragama, baik muslim maupun non muslim, akan berada dalam
kedudukan yang sama di hadapan hukum. Sebagai konsekuensi dari sikap kedua,
maka segala bentuk pelanggaran hukum harus diumumkan secara transparan dan
keanggotaan majlis yang bertanggung jawab atas pelaksanaan hukum akan ditambah.[24]
Pada tahun 1856 diumumkan lagi satu piagam baru, hatt-i humayun,
yang lebih banyak mengandung pembaharuan terhadap kedudukan orang Eropa yang
berada dibawah kekeuasaan kerajaan Turki Usmani. Ini tidak mengherankan karena
piagam humayun diadakan atas desakan negara-negara Eropa pada kerajaan Usmani
yang pada waktu itu telah dalam keadaan lemah dan selalu mengalami kekalahan
dalam peperangan.
Dalam pendahuluan piagam ini disebut bahwa tujuannya ialah
memperkuat jaminan-jaminan yang terkandung dalam piagam gulhane. Selanjutnya
disebut bahwa masyarakat Kristen dan bukan Islam lainnya diperbolehkan
mengadakan pembaharuan-pembaharuan yang mereka perlukan dan mendirikan
rumah-rumah peribadatan masing-masing, sekolah-sekolah, rumah sakit dan tanah
pemakaman. Semua perbedaan yang ditimbulkan oleh perbedaan agama, perbedaan
bahasa dan perbedaan bangsa dihapuskan. Kebebasan beragama dijamin dan paksaan
merubah agama dilarang. Seluruh rakyat, tanpa pilih bulu dapat menjadi pegawai
kerajan usmani.[25]
d)
Ali Pasya (1815-1871)
Beliau
lahir pada tahun 1815 di Istambul, anak dari seorang pelayan toko. Dalam usia
14 tahun ia sudah diangkat menjadi pegawai. Tahun 1840 diangkat menjadi duta
besar di London dan sebelum menjadi duta besar ia seringkali menjadi staf
perwakilan kerajaan Usmani di berbagai negara eropa dan di tahun 1852 ia
menggantikan kedudukan Rasyid Pasya sebagai perdana menteri.
Usaha
pembaharuannya antara lain, yaitu : tentang pengakuan semua aliran spiritual
pada masa itu, jaminan melaksanakan ibadah masing-masing, larangan memfitnah
karena agama, suku dan bahasa, jaminan kesempatan belajar, sistem peradilan dan
lain-lainnya.
Pembaharuan yang dijalankan di zaman Tanzimat tidak seluruhnya
mendapat penghargaan, bahkan mendapat kritik dari kaum intelegensia kerajaan
usmani yang ada pada waktu itu. Kritik yang banyak dimajukan terhadap
pembaharuan Tanzimat berkisar sekitar hal-hal berikut: Kedua piagam yang
menjadi dasar pembaharuan Tanzimat mengandung faham sekularisme dan dengan
demikian membawa sekularisasi dan berbagai institusi kemasyarakatan, terutama
dalam institusi hukum. Piagam gulhane menyatakan penghargaan tinggi pada
syariat tetapi pada waktu itu mengakui perlunya diadakan sistem hukum baru.
Hukum baru yang disusun banyak dipengaruhi dari hukum barat, umpamanya hukum
pidana dan hukum dagang. Selain dari itu diadakan pula mahkamah-mahkamah yang
bersifat sekuler, di samping mahkamah-mahkamah syariah yang lama.[26]
C.
Usmani
Muda
Sebagaimana
dikatakan bahwa pembaharuan yang diusahakan dalam Tanzimat belumlah mendapat
hasil sebagaimana yang diharapkan, bahkan mendapat kritikan-kritikan dari luar
kaum cendekiawan. Kegagalan oleh Tanzimat dalam mengganti konstitusi yang
absolut merupakan cambuk untuk usaha-usaha selanjutnya. Untuk mengubah
kekuasaan absolut maka timbullah usaha atau gerakan dari kaum cendekiawan
melanjutkan usaha-usaha Tanzimat. Gerakan ini dikenal dengan youang
ottoman-yeni usmanlilar (gerakan usmani muda).[27]
Usmani muda pada awalnya merupakan
perkumpulan rahasia yang didirikan di tahun 1865 dengan tujuan untuk merubah
pemerintahan absolut kerajaan usmani menjadi pemerintahan konstitusional.
Setelah rahasia terbuka pemuka-pemukanya lari ke Eropa di tahun 1867 dan
disanalah gerakan mereka memperoleh nama usmani muda. Sebagian mereka kembali
ke Istambul setelah Ali Pasya tiada lagi.[28]
Setelah mengalami perjuangan yang
berat dengan pemuka-pemuka kerajaan, maka pada tanggal 23 desember 1876
tercapailah persetujuan tentang konstitusi sebagai undang-undang dasar yang
baru bagi Turki, akan tetapi isinya masih belum sesuai dengan apa yang
diharapkan. Dan akhirnya undang-undang yang baru bagi Turki itu dilanggar juga
oleh sultan Abdul Hamid II yakni dengan membubarkan parlemen dan para
pemuka-pemukanya ditangkap dan dengan demikian maka berakhirlah riwayat Usmani
Muda.
Beberapa tokoh dan para pembaharu
dalam gerakan Usmani Muda antara lain sebagai berikut :
a)
Ziya Pasya
Ziya
Pasya lahir pada tahun 1825 di Istambul dan meninggal dunia pada tahun 1880. Ia
anak seorang pegawai kantor bea cukai di Istambul. Pendidikannya setelah
selesai sekolah Sulaymaniye yang didirikan oleh sultan Mahmud II dalam usia
muda ia diangkat menjadi pegawai pemerintah, kemudian atas usaha Mustafa Rasyid
Pasya pada tahun 1854 ia diterima menjadi salah seorang sekretaris sultan.
Untuk keperluan tugas barunya, ia mempelajari bahasa Prancis, dan dalam waktu
yang singkat ia menguasainya dan dapat menerjemahkan buku-buku Prancis kedalam
bahasa Turki. Karena terjadi kesalah pahaman dengan Ali Pasya maka ia pergi ke
eropa pada tahun 1867 dan tinggal disana selam lima tahun.
Usaha-usaha pembaharuannya antara lain kerajaan usmani menurut
pendapatnya harus memakai sistem pemerintahan konstitusional, tidak dengan
kekuasaan absolut. Meurutnya negara eropa maju disebabkan tidak terdapat lagi
pemerintahan yang absolut, semuanya dengan sistem pemerintahan konstitusional.
Dalam sistem pemerintahan konstitusional harus ada dewan perwakilan rakyat.
Alasan perlu adanya DPR ini agar perbedaan pendapat dapat ditampung dan kritik
terhadap pemeritah diperlukan untuk kepentingan pemerintah dan rakyat.
b)
Midat
Pasya
Nama
lengkapnya Hafidh Ahmad Syafiq Midat Pasya, lahir pada tahun1822 di Istambul.
Pendidikan agamanya di peroleh dari ayahnya sendiri. Dalam usia 10 tahun ia
telah hafal al-Quran, oleh karena itu ia digelari al-Hafidh. Pendidikannya yang
tertinggi adalah pada universitas al-Patih.
Jabatan-jabatan penting yang pernah dipegangnya antara lain : gubernur
di Balkan dan Bagdad, selanjutnya menjadi menteri perhakiman pada tahun 1872
dan akhirnya menjadi perdana menteri.
Sebagai tokoh gerakan usmani muda, oleh sahabat seperjuangannya
dipercayakan memegang pemerintahan dan sekaligus memperjuangkan cita-cita
gerakan itu. Tugas-tugas yang dibebankan kepadanya di laksanakan dengan penuh
tanggung jawab, yang meskipun akhirnya diri dan keluarganya menjadi korban
perjuangan pada saat perang dengan Rusia. Sultan Abdul Hamid membubarkan
parlemen dengan alasan darurat perang, dan menangkap Midat Pasya dan
pemimpin-pemimpin usmani muda lainnya dan membuangnya ke luar negari.
c)
Namik
Kemal
Namik
Kemal lahir di Rhodosto pada 21 desember 1840 dan wafat 2 desember 1888 di
Mytilene. Ia adalah seorang penyair utama Turki, tokoh utama Turki modern, dan
pencipta bahasa modern dalam sejarah sastra Turki. Karyanya dibidang sastra
banyak dipengaruhi oleh Shinasi dengan tokoh utama Ibrahim Shinasi Efendi,
sebuah kelompok penyair Turki modern. Pergaulannya dengan Ibrahim Shanusi Efendi
akhirnya merobah pola kepenyairannya dari imitasi tradisional menjadi
bernafaskan barat. Selain itu, dikemudian hari ia mejadi editor surat kabar
berbahasa Turki Taswir Efkar setelah Ibrahim pergi ke Paris tahun 1864. Taswir
bertujuan untuk melakukan pencerahan di bidang politik, kesusasteraan dan ilmu
pengetahuan bangsa Turki. Akhirnya, ditangannya penerbitan tersebut menjadi
surat kabar yang berpengaruh di Turki, yang kemudian hari menjadi tempat
menyuarakan aspirasi politik Usmani Muda.[29]
Sebab-sebab kemunduran kerajaan usmani menurutnya terletak pada
keadaan ekonomi dan politik yang tidak beres. Jalan pertama yang harus ditempuh
untuk memperbaiki keadaan ekonomi dan politik ialah perubahan sistem
pemerintahan absolut menjadi pemerintahan yang konstitusional.
Tentang politik ia berpendapat bahwa rakyat sebagai warga negara,
mempunyai hak-hak politik yang harus dihormati dan dilindungi negara.
Kedaulatan
terletak di tangan rakyat seluruhnya. Negara yang baik menurutnya adalah negara
yang memakai kedaulatan rakyat sebagai fondasi dan disamping itu juga menjamin
tidak dilanggarnya hak-hak rakyat. Dalam pelaksanaan kedaulatan itu tidak
mungkin dijalankan rakyat seluruhnya, maka dibentuklah system perwakilan
rakyat. Wakil-wakil rakyat dipilih oleh rakyat dengan melalui berbagai jalan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan di
atas, penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai jawaban dari rumusan masalah.
Kesimpulan yang dimaksud sebagai berikut:
1.
Pemabaharuan-pembaharuan yang dilakukan oleh Sultan Mahmud II
merupakan landasan atau dasar bagi pemikiran dan usaha pembaharuan selanjutnya.
Diantara pembaharuan yang dilakukan oleh Sultan Mahmud II yaitu di bidang
militer, internal istana, birokrasi pemerintahan, hukum, dan pendidikan.
2.
Tanzimat adalah gerakan pembaharuan yang terjadi di Turki Usmani
pada pertengahan abad ke-19, yaitu penerus usaha-usaha pembaharu yang dilakukan
oleh Sultan Mahmud II. Diantara tokoh Tanzimat ialah Mustafa Rasyid pasya,
Mustafa Sami, dan Mahmed Sadik Rifat Pasya. Pokok pemikiran pembaharuan
Tanzimat banyak dipen garuhi oleh Pemikiran barat. Meskipun demikian, Tanzimat
tidak sepenuhnya berhasil terlaksana dalam pemerintahan kerajaan Turki usmani.
3.
Kemudian dilanjutkan dengan pembaharuan Usmani Muda, dimana
usaha-usaha pembaharuannya adalah untuk mengubah pemerintahan dengan sistem
konstitusional tidak dengan kekuasaan absolut setelah dibubarkannya parlemen
dan dihancurkannya Usmani muda. Tokoh-tokoh pembaharu pada zaman ini adalah:
Ziya Pasya, Midat Pasya, dan Namik Kemal.
B.
Implikasi
Mudah-mudahan
dengan kehadiran makalah ini dapat menambah pengetahuan kita mengenai
pembaharuan di Turki khususnya apa yang telah dilahirkan dari Sultan Mahmud II,
gerakan Tanzimat dan Usmani Muda. Namun, kami menyadari bahwa dalam penyusunan
makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Seperti masih ada pembahasan yang
belum kami sampaikan yang terkait dengan materi yang telah ada dalam makalah
ini. Hal ini dikarenakan terbatasnya kemampuan penulis. Serta masih ada banyak
kekeliruan dan kesalahan. Oleh karena itu, sangat diharapkan adanya kritik dan
saran yang membangun atau lainnya demi kesempurnaan makalah ini di masa yang
akan datang.
[1] Fadil SJ., Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintas Sejarah
(Cet. I; Malang: UIN-Malang Press, 2008), h. 244-245.
[2] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan
Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang,
1995), h. 21.
[3] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan
Gerakan , h. 15
[4] Fadil SJ., Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintas Sejarah,
h. 242.
[5] Syafiq A. Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Kawasan Turki
(Cet. I; Jakarta: Logos, 1997), h.
[6] Syafiq A. Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Kawasan Turki,
h. 121.
[7] Yusran Asmuni, PengantarStudi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan
dalam Dunia Islam (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1998), h. 11-12.
[8] Syafiq A. Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Kawasan Turki,
h. 122.
[9] Fadil SJ., Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintas Sejarah,
h. 257.
[10] Syafiq A. Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Kawasan Turki,
h. 122.
[11] Syafiq A. Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Kawasan Turki,
h. 123.
[12] Syafiq A. Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Kawasan Turki,
h. 124.
[13] Syafiq A. Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Kawasan Turki,
h. 124.
[14] Syafiq A. Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Kawasan Turki, h.
125.
[15] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan
Gerakan, h. 90-96.
[16] Lois Ma’luf, Al-Munjid fi> Lugah wa al- A’lam, (Beirut:
Da>r al-Masyriq, t.th), h. 818.
[17] Syafiq A. Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Kawasan Turki,
h. 126.
[18] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan
Gerakan, h. 97.
[19] Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam, hal 211.
[20] Syafiq A. Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Kawasan Turki,
h. 127.
[21] Yusran Asmuni, Dirasah Islamiah III, h. 20
[22] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklepedi Islam, h. 63
[23] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, h. 99
[24] Syafiq A Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Turki, h.128
[25] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, h. 101-102
[26] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, h. 103
[27] Yusran Asmuni, Dirasah Islamiah III, h. 21
[28] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, h. 105
[29] Syafiq A. Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Turki, h.
132-133