Kritik Ibnu Rusyd terhadap Al-Ghazali
PENDAHULUAN
Menyaksikan perkembangan
peradaban Barat yang fenomenal dan spektakuler, pencapaian peradaban Barat
sekarang ini bisa digolongkan puncak peradaban umat manusia yang pernah dicapai
sepanjang sejarah. Ilmu pengetahuan dan teknologi canggih merupakan dua produk
peradaban yang telah dicapai bangsa Barat yang mampu memenuhi kebutuhan hidup
umat manusia. Sejak Revolusi Industri di Inggris abad ke-16 dan Revolusi
Prancis pada tahun 1789, Barat bergerak maju bagaikan anak panah yang
dilepaskan dari busurnya.
Perkembangan peradaban itu
terus melaju pesat meninggalkan peradaban bangsa Timur yang memang sejalan
dengan misi mereka yaitu membuat atau menjadikan dunia Islam tidak mempunyai
peran penting dalam mencoraki arus sejarah global. Menurut Dr. H. Saiful Anwar,
MA, tejadinya kesenjangan corak dan laju perkembangan antara Barat dan Timur
Islami itu timbul dari sebab-sebab yang komplek. Salah satunya seringnya
dikaitkan dengan kisah pertarungan antara “agama” dan filsafat yang dimenangkan
kubu pertama.[1]
Di sisi lain menurut A. Syafi’i
Ma’arif, karena kekecewaan para ilmuwan Barat terhadap doktrin-doktrin Gereja
pada abad pertengahan , mereka akhirnya melawan doktrin-doktrin tersebut.
Perlawanan itu begitu sengit, bahkan melampaui batas. Deskartes misalnya, tanpa
ragu mengatakan bahwa moral dan iman tidak ada sangkut pautnya dengan penalaran
(reason). Sementara Machiavelli (1467 – 1527), seorang filosof politik Italia
yang telah terlebih dahulu memproklamasikan terpisahnya moral dengan
politik.[2]
Abu Hamid al-Ghazali (450 – 505
H/1058 – 1111 M) merupakan salah seorang filosof yang melontarkan sanggahan
luar biasa keras terhadap pemikiran para filosof. Kritik pedas tersebut ia
tuangkan dalam bukunya yang terkenal Tahafut al-Falasifat (The Inkoherence of the
fhilosopher; Kerancuan Pemikir Para Filosof).[3] Disatu pihak, al-Ghazali
mendapat gelar Hujjatul Islam (Argumen Islam), dan dinyatakan oleh Ibn ‘Asakir
sebagai Mujahid (Pembaharu) Islam abad ke-5 H. tidak heran jika ia menduduki
posisi penting di dunia Islam sepanjang sejarah hidupnya.[4] Sejak abad ke-13 M
dunia Islam lebih didominasi kalam dan sufisme sehingga emperisme terhambat
pekembangannya.
Karya al-Ghazali yang sangat monumental adalah Tahafut
al-Falasifah yang berisikan serangan terhadap kerancuan berfikir para filosof
yang secara lahiriah ditandingi dan dibantah oleh Ibn Rusyd melalui bukunya
Tahafut al-Tahafut. Sebagai seorang filosof, Ibn Rusyd merasa perlu membela
para filosof dan pemikiran mereka serta mendudukkan masalah-masalah tersebut pada
proporsinya. Melalui karyanya yang berjudul Tahafut al-Tahafut, seolah-olah Ibn
Rusyd telah mengisyaratkan bahwa al-Ghazali-lah yang sebenarnya kacau dalam
berpikirnya.[5]
PEMBAHASAN
A. Al-Ghazali
a. Riwayat Hidup al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu
Hamid Muhammad bin Ahmad al-Ghazali al-Thsusi. Ia dilahirkan pada tahun 450 H
bertepatan dengan tahun 1058 M di Ghazal, Thus, Provinsi Khurasan, Republik
Islam Iran.[6] Sebagaimana telah di nukilkan oleh Ahmad Syafi’i Ma’arif dalam
bukunya Peta Bumi Intelektual Muslim di Indonesia bahwa tahun kelahiran
al-Ghazali bertepatan dengan tahun meninggalnya al-Mawardi, seorang yuris
Abbasiyah yang sangat kenamaan. Perbedaan antara dua ulama besar ini adalah
al-Mawardi dikenal sebagai yuris dan diplomat yang ingin mengembalikan wibawa
politik Abbasiyah yang sudah berantakan melalui bukunya yang berjudul
al-Ahkam al-Sulthaniyah, al-Ghazali dalam pengembaraan intelektualnya
ternyata telah menukik jauh ke alam esoteris dengan kemampuan sufistik yang
luar biasa.[7]
Pada masa kecilnya al-Ghazali
belajar kepada Yusuf al-Nassaj, seorang guru sufi kenamaan saat itu.
Sepeninggal gurunya ini, al-Ghazali berguru kepada Ahmad Ibn Muhammad
al-Razakanya al-Thusi dan dilanjutkan kepada Abu Nashral-Isma’ily di Jurdan dan
akhirnya ia masuk ke sekolah Nizhamiyah di Naisabur yang dipimpin oleh imam
al-Haramaini (Imam dua kota haram: Makkah dan Madinah), dari beliaulah
al-Ghazali menimba ilmu pengetahuan seperti ilmu fiqh, ilmu kalam dan ilmu
logika.[8]
Pada sekolah ini pulalah al-Ghazali
belajar teiri dan praktek tasawuf kepada Abu Ali al-Fadhl Ibn Muhammad Ibn Ali
al-Farmadhi (w.477 H). dengan demikian, semakin lengkaplah ilmu yang
diterimanya selama di Naisabur dan di sekolah ini pulalah beliau diangkat
menjadi dosen dalam usia 25 tahun. Setelah gurunya, al-Juwaini wafat,
al-Ghazali ke Mu’askar dan berhubungan baik dengan Nizham al-Mulk, Perdana
Mentri Sultan Bani Saljuk.[9]
Dalam hidupnya al-Ghazali
pernah mengalami suatu masa keragu-raguan. Dalam perjalanan hidupnya untuk mencari
kebenaran al-Ghazali mempelajari teology ternyata dalam teology tersebut banyak
terdapat pertentangan-pertentangan. Kemudian dipelajarinya filsafat ternyata
tidak mempunyai argument yang kuat bahkan ada hal-hal yang bertentangan dengan
agama. Akhirnya dia menemukan kebenaran yang dicarinya dalam tasawuf.[10]
Sirajudin Zar menukilkan setelah al-Ghazali mengalami keragu-raguan tersebut,
ia meninggalkan semua jabatan yang disandangnya, seperti rektor dan guru besar
di Baghdad, kemudian ia mengembara ke Damaskus. Di Masjid Jami’ Damaskus ia
mengisolasi diri (uzlah) untuk beribadah, kontemplasi, dan sufistik yang
berlangsung selama dua tahun.[11]
Setelah sembuh dari penyakit
rohaninya, al-Ghazali kembali memimpin Perguruan Tinggi Nizhamiyah di Bagdad,
kemudian ia pulang ke Thus dan membangun sebuah madrasah Khan-kah (semacam
tempat praktik suluk). Al-Ghazali diberi gelar kehormatan dengan Hujjat
al-Islam (Argumentasi Islam).[12] Semasa mendalami filsafat, ia menemukan
banyak terdapat kelemahan di dalamnya bahkan menurut keyakinannya banyak ajaran
filsafat yang bertentangan dengan ajaran Islam bahkan ajaran filsafat kelihatan
meremehkan ajaran Islam. Maka tidak mengherankan jika dirinya terpanggil untuk
membantah ulama melalui bukunya yang berjudul “Tahafut al-Falasifah” (kekacauan
pemikiran filosof-filosof). Sasaran kritik al-Ghazali dalam bukunya itu
terutama ditujukan kepada filosof-filosof Islam al-Farabi dan Ibnu Sina.
Pandangan kedua orang filosof tersebut menurut keyainannya banyak menyimpang
dari pokok-pokok ajaran Islam. Tujuan al-Ghazali dengan kritiknya itu adalah
untuk mengembalikan kewajiban syari’at agama dan menyelamatkan aqidah
ahlussunnah.[13]
Ia wafat pada hari senin, 14
Jumadil akhir 505 H / 18 Desember 1111 M, dimakamkan di Tabaran, Thus, dan kuburannya
banyak diziarahi oleh orang-orang. Menurut laporan adiknya, Ahmad al-Ghazali,
al-Ghazali wafat setelah berwudu shalat shubuh.[14]
Sosok al-Ghazali memiliki
keistimewaan yang luar biasa, ia seorang ulama, pendidik, ahli fikir dalam
ilmunya, dan pengarang yang produktif. Al-Ghazali banyak sekali meninggalkan
warisan dalam bentuk karya ilmiah yang banyak memberikan kontribusi positif
bagi pemikiran umat Islam seperti Ihya Ulum al-Din, Al-Iqtishad fi al-I’tiqad,
Maqasid al-Falasifah, Tahafut al-Falasifah, Al-Munqiz min al-Dhalal, Mizan
al-‘Amal.[15]
Pemaparan singkat di atas menggambarkan bahwa al-Ghazali telah
menempuh jalan yang panjang dan berliku dalam proses mengisi intelektualnya,
bahkan boleh dibilang semua disiplin ilmu disentuhnya dan memahami betul dengan
keilmuannya terbukti dengan banyaknya warisan berupa karya ilmiah yang ia
tinggalkan untuk umat, namun tiada gading yang tidak retak, nampaknya hal ini
cukup proporsional untuk menggambarkan bahwa cukup banyak tokoh dan ilmuan yang
memberikan komentar terhadapnya baik berupa pujian sampai ke tingkat kultus,
dan kritik sampai ke tingkat alergi, baik pada zaman klasik maupun pada zaman
modern. Pada sub bahasan bab ini akan dibahas salah seorang tokoh dan
pemikirannya yang mengkritik al-Ghazali yaitu Ibnu Rusyd.
b. Kritik
Terhadap Filosof
Al-Gahazali melontarkan
sanggahan luar biasa keras terhadap pemikiran para filosof. Adapun yang
dimaksud dengan filosof dalam bahasan al-Ghazali ini adalah Aristoteles dan
Plato[16] juga al-Farabi dan Ibn Sina karena kedua filosof Muslim ini dipandang
al-Ghazali sangat bertanggung jawab dalam menerima dan menyebarluaskan
pemikiran filosofis dari Yunani (Sokrates, Aristoteles, dan Plato) di dunia
Islam. Kritik pedas tersebut ia tuangkan dalam bukunya yang terkenal Tahafut
al-Falasifah (Kerancuan berpikir para filosof). Sebelumnya, ia mempelajari
filsafat tanpa bantuan seorang gurupun dalam kurun waktu dua tahun. Setelah
berhasil dihayatinya dengan seksama, lalu ia tuangkan dalam bukunya Maqasid
al-Falasifat (Tujuan Pemikiran Para Filosof). Dengan adanya buku ini ada orang
yang mengatakan bahwa ia benar-benar menguasai argument yang dipergunakan oleh
para filosof.[17]
Kesalahan para filosof tersebut dalam bidang ketuhanan ada 20
masalah, yaitu:[18]
1. Membatalkan pendapat mereka bahwa ala mini
azali
2. Membatalkan pendapat mereka bahwa alam ini
kekal
3. Menjelaskan keragu-raguan mereka bahwa
Allahlah Pencipta alam semesta dan sesungguhnya alam ini diciptakanNya.
4. Menjelaskan kelemahan mereka dalam
membuktikan Yang Maha Pencipta
5. Menjelaskan kelemahan mereka dalam
menetapkan dalil bahwa mustahil adanya dua Tuhan
6. Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah
tidak mempunyai sifat
7. Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah
tidak terbagi kepada ke dalam al-jins dan al-fashl (diffirentia)
8. Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah
mempunyai substansi basith (simple) dan tidak mempunyai mahiyat (hakikat)
9. Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa
Allah tidah berjism
10. Menjelaskan kelemahan pendapat mereka tentang al-dahr
(kekal dalam arti tidak berawal dan tidak berakhir)
11. Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah
mengetahui yang selain mereka
12. Menjelaskan kelemahan pendapat mereka dalam membuktikan
bahwa allah hanya mengetahui zatnya
13. Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak mengetahui
juz’iyyat
14. Menjelaskan pendapat mereka bahwa planet-planet adalah
hewan yang bergerak dengan kemauanNya
15. Membatalkan apa yang mereka sebutkan tentang tujuan
penggerak dari planet-planet
16. Membatalkan pendapat mereka bahwa planet-planet
mengetahui semua juz’iyyat
17. Membatalkan pendapat mereka yang mengatakan bahwa
mustahil terjadinya sesuatu di luar hokum alam
18. Menjelaskan pendapat mereka bahwa roh manusia adalah
jauhar (substansi) yang berdiri sendiri tidak mempunyai tubuh
19. Menjelaskan pendapat mereka yang menyatakan tentang
mustahilnya fana (lenyap) sifat manusia
20. Membatalkan pendapat
mereka yang menyatakan bahwa tubuh tudak akan dibangkitkan dan yang akan
menerima kesenangan dalam surga dan kepedihan dalam neraka hanya roh
Tiga dari 20 persoalan di atas,
menurut al-Ghazali telah membuat filosof menjadi kafir, yaitu:
1. Alam dan
Semua Substansinya Qadim
Pada umumnya filosof Muslim berpendapat
bahwa alam ini kadim, artinya wujud alam bersamaan dengan wujud Allah.
Kekadiman Allah dari alam hanya dari segi zat (taqaddum zaty) dan tidak dari
segi makan (taqadum makany). Menurutnya para filosof Muslim mengemukakan
alasan.
a.
Mustahil timbulnya yang baharu dari yang qadim. Jika Allah kadim, maka
terjadinya alam merupakan sesuatu keniscayaan dan hal ini akan menjadikan kadim
kedua-duanya (Allah dan alam). Jika diandaikan Allah yang kadim sudah ada,
sedangkan alam belum, karena merupakan kemungkinan semata, dan setelah itu alam
diadakanNya, maka apa alasannya bahwa alam diadakan sekarang, tidak sebelumnya.
Kalau dikatakan sebelumnya motifnya (murajjihnya) belum ada, mengapa baru ada
sekarang, tidak sebelumnya? Jika dikatakan kekuasaan baru ada sekarang, tidak
sebelumnya? Bagaimana terjadinya kekuasaan itu. Jika dikatakan sebelumnya Allah
tidak berkehendak (iradath) dan baru kemudian berkehendak, mengapa terjadi
kehendak itu, apakah kehendak itu datang dari zatNya atau dari luar zatNya? Keduanya
itu adalah mustahil bagi karena Allah tidak mengalami perubahan.
Al-hazali menjawab sendiri
argument filosof Muslim ini dengan mengemukakan, tidak ada halangan apapun bagi
Allah menciptakan alam sejak azali dengan iradatNya yang kadim pada waktu diadakanNya.
Sementara itu, ketiadaan wujud alam sebelumnya karena memang belum
dikehendakiNya. Iradat, menurut al-Ghazali adalah suatu sifat bagi Allah yang
berfungsi membedakan (memilih) sesuatu dari lainnya yang sama. Jika tidak
demikian fungsinya, tentu bagi Allah cukup saja dengan sifat qudrat. Akan
tetapi, karena sifat qudrat antara mencipta dan tidaknya sama kedudukannya,
harus ada sifat khusus yang membedakannya, yaitu sifat iradah. Andaikan para
filosof Muslim menganggap sifat tersebut tidak tepat disebut sebagai iradat,
dapat diberi nama lain asal itu yang dimaksud atau dengan arti sama. Sekedar
istilah tidak perlu diperdebatkan, yang penting adalah isinya.[19] Oleh karena
itu jika Allah menetapkan ciptaanNya pada satu waktu dan tidak pada waktu yang lain,
tidaklah mustahil terciptanya sesuatu yang baru dari yang bersifat kadim karena
iradat Allah bersifat mutlak dan tidak dihalangi oleh ruang dan waktu.[20]
b.
Keterdahuluan wujud Allah dari alam hanya dari segi esensi (taqaddum
zaty), sedangkan dari segi zaman (taqaddum zamany) antara keduanya adalah
sama. Hal ini sama seeperti keterdahuluan bilangan satu dari dua. Jika demikian
keadaan antara Allah dan alam, harus keduanya kadim atau baharu dan tidak
mungkin salah satunya kadim dan yang lainnya baharu. Andaikan Allah mendahului
alam dari segi zaman, bukan dari segi zat, ini berarti ada zaman sebelum alam
diwujudkan. Pada waktu itu alam harus belum ada karena ketiadaan melalui wujud.
Oleh sebab itu, Allah mendahului zaman terbatas pada satu sisi dan tidak
terbatas pada sisi awal. Ini berarti sebelum ada zaman sudah ada zaman yang
tidak terbatas akhirnya. Hal ini paradok, justru itu mustahil zaman sebagai
ukuran gerak baharu dan ia harus kadim.
Persoalan ini dijawab oleh
al-Ghazali, memang wujud Allah lebih dahulu dari alam dan zaman. Zaman baharu
dan diciptakan. Sebelum zaman diciptakan tidak ada zaman. Pertama kali ada
Allah, kemudian ada alam karena diciptakan Allah. Jadi, dalam keadaan pertama
kita bayangkan adanya Allah saja, dan dalam keadaan yang kedua kita bayangkan
ada dua esensi yaitu Allah dan alam dan tidak perlu membayangkan adanya esensi
yang ketiga, yaitu zaman. Zaman adanya setelah adanya alam karena zaman
merupakan ukuran waktu yang terjadi di alam.[21] Menurut al-Ghazali,
mengandaikan zaman sebelum zaman merupakan khayalan pikiran semata, yang
diassumsikan benar-benar ada, padahal realitanya tidak sama sekali.[22]
c. Alam sebelum ada merupakan sesuatu yang
mungkin, kemungkinan ini tidak ada awalnya, dengan arti selalu abadi.
Menurut al-Ghazali, ala mini senantiasa mungkin terjadinya, dan
setiap saat dapat digambarkan terjadinya. Jika dikatakan bahwa alam ini selama
lamanya (kadim) tentu dia tidak baharu. Kenyataan ini jelas tidak bertentangan
dengan kenyataan dan tidak cocok dengan teori kemungkinan.[23] Yang kadim
menurut pandangan al-Ghazali hanya Allah, sedangkan selain Allah adalah baharu
(hadis). Implikasi dari pemahaman ini akan membawa pada:
- Paham syirik, karena banyak
yang kadim, banyaknya Tuhan
-
Paham atheisme, alam yang kadim tidak ada pencipta[24]
Menurut Sirajudin Zar,
persoalan alam apakah diakadan dari ada atau dari ketiadaan dan prosesnya tidak
dijelaskan dalam al-Qur’an . oleh karena itu, apa pun pendapat yang dikemukakan
tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan itu semua adalah hasil pemahaman
seseorang terhadap ajaran al-Qur’an yang disebut dengan hasil ijtihad dan
itu bukan ajaran al-Qur’an yang tidak boleh berubah dan tidak boleh diubah.[25]
2. Allah tidak mengetahui yang juz’iyyah
(perincian) yang terjadi di alam
Menurut para filosof bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal atau
peristiwa yang terjadi di alam, kecuali hanya yang umum saja. Alasan yang
mereka kemukakan sesuatu yang baharu itu dengan segala peristiwanya selalu
berubah-ubah, sedangkan ilmu selalu mengikuti kepada yang diketahui (objeknya),
yakni perubahan perkara yang diketahui, menyebabkan perubahan ilmu. Kalau
ilmu-ilmu ini berubah dari tahu menjadi tidak atau sebaliknya berart Tuhan
mengalami perubahan, sedangkan perubahan pada zat Tuhan mustahil
terjadinya.[26]
Menurut al-Ghazali, argument seperti ini merupakan kesalahan
fatal. Perubahan pada objek ilmu tidak membawa perubahan pada ilmu, karena ilmu
merupakan idhafah (sesuatu rangkaian yang berhubungan dengan zat). Jika ilmu berubah
tidak membawa perubahan pada zat, dengan arti keadaan orang yang mempunyai ilmu
tidak berubah. Untuk memperkuat argumentnya, al-Ghazali mengemukakan ayat-ayat
al-Qur’an, diantaranya:
a. Firman Allah dalam Qs. Yunus (10):61
…
$tBur
Ü>â÷èt
`tã
y7Îi/¢
`ÏB
ÉA$s)÷WÏiB
;o§s
Îû
ÇÚöF{$#
wur
Îû
Ïä!$yJ¡¡9$#
Iwur
ttóô¹r&
`ÏB
y7Ï9ºs
Iwur
uy9ø.r&
wÎ)
Îû
5=»tGÏ.
AûüÎ7B
ÇÏÊÈ
Artinya: “…… tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar
zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. tidak ada yang lebih kecil dan tidak
(pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang
nyata (Lauh Mahfuzh).
b. Firman Allah dalam Qs. Al-hujurat (49):16
…
ª!$#ur
ãNn=÷èt
$tB
Îû
ÏNºuq»yJ¡¡9$#
$tBur
Îû
ÇÚöF{$#
4 ª!$#ur
Èe@ä3Î/
>äóÓx«
ÒOÎ=tã
ÇÊÏÈ
Artinya: “Katakanlah: "…dan Allah mengetahui apa yang
di langit dan apa yang di bumi dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu?"
Sebenarnya terdapat kesamaan antara al-Ghazali dan filosof Muslim,
bahwa ilmu dan zat Allah tidak mungkin mengalami perubahan dan Allah Maha
Mengetahui. Perbedaan mereka hanya terletak pada persoalan bagaimana Allah
megetahui yang juz’iyyah. Filosof mengemukakan bahwa Allah mengetahui yang
juz’iyyah (parsial) lewat yang kulli (umum). Hal ini terjadi disebabkan
perbedaan mereka dalam menetapkan sifat dan zat Tuhan. Para filosof
mengidentikkan dengan sifat dan zat, sementara al-Ghazali membedakan antara
sifat dan zatnya. Pendapat filosof Muslim tidak bertentangan dengan ayat-ayat
yang telah dikemukakan oleh al-Ghazali di atas. Mereka hanya menjelaskan
bagaimana cara Allah mengetahui yang juz’iyyah dan mereka bukan mengingkari
Allah tentang mengetahui yang juz’iyyah.[27]
3. Pembangkitan jasmani tidak ada
Menurut filosof Muslim yng akan dibangkitkan di akhirat nanti
adalah rohani saja, sedangkan jasmani akan hancur. Jadi yang akan merasakan
kebahagiaan atau kepedihan adalah rohani saja. Al-Ghazali pada dasarnya tidak
menolak adanya bermacam-macam kelezatan di akhirat yang lebih tinggi daripada
kelezatan di dunia empiris/indrawati. Juga tidak menolak kekekalan roh setelah
berpisah dari jasad, semua itu dapat diketahui dari otoritas dari jasad. Akan
tetapi dia membantah bahwa akal saja dapat memberikan pengetahuan final dalam
masalah metafisika. Dalam menyanggah pendapat para filosof ini al-Ghazali lebih
banyak bersandar pada arti tekstualitas al-Qur’an. Tidak ada alasan untuk
menolak terjadinya kebahagiaan atau kesengsaraan fisik dan rohani secara
bersamaan. [28]
Para filosof Muslim berpendapat bahwa mustahil mengembalikan
rohani kepada jasad semula, dengan berpiahnya jasad dengan roh berarti
kehidupan telah berakhir dan tubuh telah hancur. Sedangkan menurut al-Ghazali
kekalnya jiwa setelah mati tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Hadis-hadis menyebutkan pula bahwa roh-roh manusia merasakan adanya kebaikan
atau siksa kubur dan lain-lain. Semua ini sebagai indikasi adanya kekekalan
jiwa. Sementara itu, kebangkitan jasmani secara explisit telah ditegaskan oleh
syara’.[29]
Jadi pertentangan yang terjadi antara filosof Muslim dengan
al-Ghazali hanya berkisar pada tataran interpretasi tentang dasar-dasar ajaran
Islam yaitu pada bentuk kebangkitan di akhirat, bukan pertentangan pada
dasar-dasar Islam itu sendiri, yakni kebangkitan di akhirat.[30]
B. Ibn Rusyd
a. Biografi
Ibnu Rusyd adalah salah seorang yang paling dikenal dunia Barat
dan Timur. Nama lengkapnya Abu al-Walid Muhammad ibnu Ahmad Ibnu Muhammad ibnu
Ahmad ibnu Ahmad ibnu rusyd, lahir di Cordova, Andalus pada tahun 520 H/ 1126
M, sekitar 15 tahun setelah wafatnya abu Hamid al-Ghazali. Ia ditulis sebagai
satu-satunya filsuf Islam yang tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang
semuanya menjadi fuqaha? dan hakim. Ayahnya dan kakeknya menjadi hakim-hakim
agung di Andalusia. Ibnu Rusyd sendiri menjabat hakim di Sevilla dan Cordova
pada saat terjadi hubungan politik yang penting antara Andalusia dengan
Marakasy, pada masa Khalifah al-Manshur.[31]
Tidak hanya seorang ilmuan terpandang, ia juga ikut ke medan
perang melawan Alphonse, raja Argon. Khalifah begitu menghormati Ibnu Rusyd
melebihi penghormatannya pada para pejabat daulah al-Muwahhidun dan ulama-ulama
yang ada masa itu. Walau pun demikian Ibnu Rusyd tetap menjadi orang yang
rendah hati, ia menampilkan diri secara arif selayaknya seorang guru dalam
memberi petunjuk dan pengajaran pada umat. Hubungan dekat dengan Khalifah
segera berakhir, setelah Khalifah menyingkirkannya dari bahagian kekuasaan di
Cordova dan buku-buku karyanya pernah diperintahkan Khalifah untuk dimusnahkan
kecuali yang berkaitan dengan ilmu-ilmu murni saja. Ibnu Rusyd mengalami hidup
pengasingan di Yasyanah.[32] Tindakan Khalifah ini menurut Nurcholish Madjid,
hanya berdasarkan perhitungan politis, dimana suasana tidak kondusif
dimanfaatkan oleh para ulama konservatif dengan kebencian dan kecemburuan yang
terpendam terhadap kedudukan Ibnu Rusyd yang tinggi.[33]
Di dunia Barat ia disebut dengan Averrois, sebutan ini sebenarnya
lebih pantas untuk kakeknya. Menurut Sirajuddin Zar sebutan ini adalah akibat
terjadinya metamorfose Yahudi-Spanyol-Latin. Kata Arab Ibnu oleh orang Yahudi
diucapkan seperti kata Ibrani Aben, sedangkan dalam standar Latin Rusyd menjadi
Rochd. Dengan demikian, nama Ibnu Rusyd menjadi Aben Rochd, maka melalui
asimilasi huruf-huruf konsonan dan penambahan sisipan sehingga akhirnya menjadi
Averrois.[34] Dari Averrois ini muncul sebuah kelompok pengikut Ibnu Rusyd
dalam bidang filsafat yang menamakan diri Averroisme. Dalam bidang ini, Ibnu
Rusyd memang membuktikan diri sangat ahli dan terhormat, penjelasan-penjelasannya
tentang filsafat dan komentarnya terhadap filsafat Aristoteles dinilai yang
paling tepat dan tidak ada tandingannya. Sebab itu ada yang menamakannya
sebagai guru kedua (bukan al-Farabi), setelah guru pertama Sang Filosof atau
Aristoteles.
Pengalaman pahit dan kegetiran hidup Ibnu Rusyd menurut Sirajudin
tidak berlangsung lama (satu tahun). Pada tahun 1197 M, khalifah mencabut
hukumannya dan posisinya direhabilitasi kembali. Tidak lama menikmati hal
tersebut, ia meninggal pada tanggal 10 Desember 1198 M / 09 Shafar 595 H di
Marakesh dalam usia 72 tahun menurut perhitungan Masehi dan 75 tahun menurut
perhitungan tahun Hijrah.[35]
b. Jawaban Terhadap Sanggahan Al-Ghazali
Menurut Al-Ghazali dalam kitab Al-Munqidz min Ad-Dlolal, Filosof
terbagi menjadi 3 golongan yaitu golongan Dahriyyin (materealis), Thobiiyyin
(Naturalis) Ilahiyyin ( ketuhanan).[36] Filosof ilahiyyin seperti Socrates,
Plato dan Aristoteles telah menafikan menyangkal dua golongan filosof
sebelumnya. Filsafat mereka dibawa dan dikembangkan oleh al-Farabi dan Ibnu
Sina dan disebarluaskan di dunia Islam. Selanjutnya filsafat tersebut oleh
al-Ghazali ada yang diterima yaitu yang menyengkut metematika, fisika, kimia,
dan lain-lain, sedang yang menyangkut ketuhanan ditolak dengan dianggap sebagai
bid’ah (heteredoksi) bahkan kufur, sebagaimana dia tulis dalam kitab
tahafutul falasifah, ia memandang para filosof sebagai Ahl–Al-Bid’ah, bahkan
kafir. Kesalahan para filosof dalam bidang ketuhanan ada duapuluh poin, tiga
diantaranya menyebabkan mereka menjadi kafir[37] yaitu; masalah qadimnya alam,
masalah ketidak tahuan Asllah tentang hal-hal juz’iyyat, dan masalah
kebangkitan manusia bukan secara jasmani, namun hanya ruhani.
1. Masalah Qadimnya Alam
Menurut Al-Ghazali Alam diciptakan dari tiada menjadi ada.
Pemikiran seperti inilah yang memastikan adanya pencipta. Yang ada tidak butuh
kepada yang mengadakan. Sementara filosof muslim memandang bahwa alam ini sudah
ada sejak zaman azali Allah menciptakabn alam ini bukan dari tiada tapi dari
ada.[38]
Menurut Ibnu Rusyd tidak ada adalah tidak ada, ada adalah ada,
masing-masing tidak bisa menggantikan posisi lainnya, mustahil bagi Allah
mencipta sesuatu yang tiada. Jadi Allah mencipta alam bukan dari tiada, tapi
dari ada, Allah merubah bentuk menjadi alam seperti ini, Ibnu Rusyd
menyandarkan pendapatnya ini dengan Qs Al-Anbiya(21): 30
óOs9urr&
tt
tûïÏ%©!$#
(#ÿrãxÿx.
¨br&
ÏNºuq»yJ¡¡9$#
uÚöF{$#ur
$tFtR%2
$Z)ø?u
$yJßg»oYø)tFxÿsù
( $oYù=yèy_ur
z`ÏB
Ïä!$yJø9$#
¨@ä.
>äóÓx«
@cÓyr
( xsùr&
tbqãZÏB÷sã
ÇÌÉÈ
Artinya : Dan apakah orang yang yang kafir tidak mengetahui
bahwasanya langit dan bumi keduanya dahulu
adalah suatu yang padu. Kemudian kami pisahkan antara keduanya. Dan air, kami
jadikan segala sesuatu yang hidup, maka mengapakah mereka tiada juga
beriman.(Qs Al-Anbiya: 30)
Juga firman Allah dalam Qs. Hud(11): 7
uqèdur
Ï%©!$#
t,n=y{
ÏNºuq»yJ¡¡9$#
uÚöF{$#ur
Îû
ÏpGÅ
5Q$r&
c%2ur
¼çmä©ötã
n?tã
Ïä!$yJø9$#
öNà2uqè=ö7uÏ9
öNä3r&
ß`|¡ômr&
WxyJtã
…
Artinya : Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam
masa, dan adalah arsyNya diatas air, agar dia menguji siapakah diantara kamu
yang lebih baik amalnya... (Qs. Hud: 7)
Dan firman Allah dalam Qs. Fusshilat(41) : 11
§NèO
#uqtGó$#
n<Î)
Ïä!$uK¡¡9$#
}Édur
×b%s{ß
tA$s)sù
$olm;
ÇÚöF|Ï9ur
$uÏKø$#
%·æöqsÛ
÷rr&
$\döx.
!$tGs9$s%
$oY÷s?r&
tûüÏèͬ!$sÛ
ÇÊÊÈ
Artinya : Kemudian Dia menuju langit, dan langit itu masih
merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: datanglah kamu
keduanya menurut perintahku dengan suka hati atau terpaksa. Keduanya menjawab :
Kami datang dengan suka hati.(Qs. Fusshilat: 11)
Juga firman Allah dalam Qs. Al-Mu’minun(23): 12
ôs)s9ur
$oYø)n=yz
z`»|¡SM}$#
`ÏB
7's#»n=ß
`ÏiB
&ûüÏÛ
ÇÊËÈ
Artinya : Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari
suatu saripati dari tanah (Qs. Al-Mu’minun: 12)
Dari ayat-ayat tadi Ibn Rusyd menyimpulkan bahwa dalam mencipta
Allah selalu menyebut sesuatu sebagai asal mula penciptaannya. Jadi sebelum
alam ini diciptakan, sudah ada sesuatu yang lain, yang didalam ayat-ayat tadi
terdapat kata ماء (air) dan دخان ( asap ). Dengan demikian kata Ibnu
Rusyd, pendapat filosof muslimlah yang sesuai dengan ayat Al-Qur’an, sedangkan
pendapat Al-Ghazali dan para teolog muslim tidak sesuai dengan arti lahir ayat
Al-Qur’an.
2. Tuhan Tidak Mengetahui Hal-Hal Juziyyat
Menurut Al-Ghozali para filosof muslim berpendapat bahwa Allah
tidak mengetahui yang parsial di alam, padahal dalam Qs. Yunus(10): 61
4
$tBur
Ü>â÷èt
`tã
y7Îi/¢
`ÏB
ÉA$s)÷WÏiB
;o§s
Îû
ÇÚöF{$#
wur
Îû
Ïä!$yJ¡¡9$#
Iwur
ttóô¹r&
`ÏB
y7Ï9ºs
Iwur
uy9ø.r&
wÎ)
Îû
5=»tGÏ.
AûüÎ7B
ÇÏÊÈ
Artinya : Dan tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar
Dzarrah (atom) dibumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak ada
yang lebih besar dari itu melainkan (semua) tercatat dalam kitab yang nyata.
Dalam menjawab tuduhan ini Ibn Rusyd menegaskan bahwa Al-Ghazali
salah paham, sebab tidak ada para filosof muslim yang mengatakan demikian.
Yang dimaksudkan para filosof muslim adalah pengetahuan Allah tentang
yang parsial di alam ini tidak sama dengan pengetahuan manusia. Pengetahuan
Allah bersifat qadim yakni sejak azali. Allah mengetahui segala yang
terjadi di alam ini, betapapun kecilnya, sedang pengetahuan manusia bersifat
baharu. Begitu pula pengetahuan Allah berbentuk sebab, sedangkan pengetahuan
manusia berbentuk akibat.[39]
Demikian juga menurut Ibn Rusyd, pengetahuan Allah tidak dapat
dikatakan juz’i ( parsial) dan kullli ( umum), Juz’i adalah satuan yang ada di
alam yang berbentuk materi dan materi hanya bisa ditangkap dengan panca indera.
Kulli mencakup berbagai jenis (nau’). Kulli bersifat abstrak, yang hanya dapat
diketahui melalui akal.[40] Allah bersifat immateri (rohani), tentu saja pada
dzatNya tidak terdapat panca indera untuk mengetahui yang parsial. Oleh karena
itulah, kata Ibn Rusyd, tidak ada para filosof muslim yang mengatakan ilmu
Allah bersifat juz’i dan kulli.[41] Dari itu jelaslah perbedaan antara
Al-Ghazali dan para filosof muslim tentang ilmu Allah. Al-ghazali terkesan
menyamakan ilmu Allah dengan ilmu manusia, sedangkan para filosof muslim
terkesan membedakan antara ilmu Allah dengan ilmu manusia. Namun pada dasarnya
mereka berpendapat bahwa Allah mengetahui (parsial dan umum) segala yang terjadi
di alam ini, namun mereka berbeda tentang cara Allah mengetahuinya.
3. Masalah Kebangkitan Jasmani di Akhirat
Imam Ghozali sebagaimana para teolog lainnya meyakini bahwa
kebangkitran jasmani adalah jasmani dan rhani, sebagimana firman Allah dalam Qs.Yasin(36):
78-79
z>uÑur
$oYs9
WxsWtB
zÓŤtRur
¼çms)ù=yz
( tA$s%
`tB
ÄÓ÷Õã
zN»sàÏèø9$#
}Édur
ÒOÏBu
ÇÐÑÈ ö@è%
$pkÍósã
üÏ%©!$#
!$ydr't±Sr&
tA¨rr&
;o§tB
( uqèdur
Èe@ä3Î/
@,ù=yz
íOÎ=tæ
ÇÐÒÈ
Artinya : Dan dia membuat perumpamaan bagi kami dan dia lupa
kepada kejadiannya, ia berkata; siapakah yang dapat, menghidupkan tulang
belulang yang telah hancur luluh ?. katakanlah ia akan dihidupkan oleh Tuhan
yang menciptakannya kali yang pertamam dan dialah yang mengetahui tentang
segala makhluq.
Menurut Ibn Rusyd, sanggahan Al-Ghazali terhadap filosof muslim,
tentang kebangkitan jasmani di akhirat tidak ada, adalah tidak benar. Mereka
tidak mengatakan demikian.[42] Semua agama, tegas Ibn Rusyd mengakui adanya
hidup kedua di akhirat, tetapi mereka berbeda interpretasi mengenai bentuknya.
Para filosof berpendapat bahwa yang akan dibangkitkan hanya rohani, dan para
teolog mengatakan akan dibangkitkan rohani dan jasmani. Namun yang jelas
kehidupan di akhirat tidak sama dengan kehidupan di dunia ini. Hal ini
sesuai dengan hadits : “Disana akan dijumpai apa yang tak pernah dilihat mata,
tidak pernah didengar telinga dan tidak pernah terlintas didalam pikiran” dan
ucapan Ibn Abbas RA : “Tidak akan dijumpai di akhirat hal-hal keduniawian
kecuali nama saja”. Hidup di akhirat tentu saja lebih tinggi dari pada di
dunia.
Namun demikian, Ibn Rusyd menyadari bahwa bagi orang awam soal
kebangkitan itu perlu digambarkan dalam bentuk jasmani dan rohani. Karena
kebangkitan jasmani bagi orang awam lebih mendorong mereka untuk melakukan
pekerjaan atau amalan yang baik dan menjauhkan pekerjaan atau amalan yang
buruk.[43]
Menurut Ibn Rusyd sikap Al-Ghazali sendiri tidak konsisten, saling
bertentangan dengan ucapannya sendiri. Dalam buku tahafutul falasifah,
Al-Ghazali mengatakan bahwa tidak ada seorang muslimpun yang berpendapat bahwa
kebangkitan jasmani tidak ada. Namun dalam bukunya mengenai tasawwuf dia
mengemukakan pendapat kaum sufi bahwa yang ada nanti hanya kebangkitan
rohani.[44] Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perbedaan pendapat
antara Al-Ghazali dan para filosof muslim hanya perbedaan interpretasi tentang ajaran
dasar tentang kebangkitan di akhirat , bukan perbedaan antara menerima atau
menolak ajaran dasar tersebut. Dengan arti hanya perbedaan ijtihad antara
Al-Ghazali dengan filosof muslim, atau dengan kata lain perbedaan otak antara
satu orang muslim dengan otak orang muslimlain dalam memahami ayat-ayat tentang
kebangkitan di akhirat , hal ini lumrah terjadi dikalangan ulama Islam.
Perbedaan seperti ini tidak akan membawa kepada kekafiran. Lebih lanjut Ibn
Rusyd menekankan hadits Rasululah: Siapa yang benar dalam berijtihad
dibidangnya ia mendapat dua pahala dan siapa yang salah dalam ijtihadnya ia
menadapat satu pahala.[45]
Dengan demikian, menurut Ibn Rusyd tuduhan kafir yang dilontarkan
Al-Ghazali terhadap filosof Muslim dalam 3 butir masalah diatas tidak pada
tempatnya. Kendatipun diandaikan interpretasi mereaka keliru namun kesalahan
mereka termasuk kesalahan ijtihad yang bisa dimaafkan. Jika tuduhan dilontarkan
kepada para filosof muslim melanggar ijma’, maka dalam pemikiran mereka
tidak ada ijma’ ulama secara pasti.[46]
c. Averroisme
Tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan peradaban Barat (Eropa) seja
abad ke-12 tidak terlepas dari sumbangan peradaban Arab Islam yang dikembangkan
oleh filosof dan saintis Muslim. Ketika Barat berada dalam kegelapan pada aad
pertengahan, dunia Islam telah mencapai puncak peradaban yang gemilang. Setelah
berinteraksi langsung dengan dunia Islam barulah Barat mengalami kemajuan.
Daerah yang paling berpengaruh langsung dalam proses transformasi ilmu
pengetahuan dan filsafat Islam adalah Spanyol dan Sicilia[47]
Proses transformasi ilmu pengetahuan dan filsafat Islam kedua
Barat terjadi melalui rute segitiga perdagangan antara Spayol – Sicilia –
Syria. Para guru dan pedagang dari Spanyol, muslim Sicilia dan Afrika serta tentara
salib adalah pembawa–pembawa utama pengetahuan Islam ke dunia Barat. Selain
itu, jalur yang tidak kalah penting dalam proses transformasi ini adalah jalur
pendidikan. Sejak abad ke-10 telah banyak pemuda-pemuda eropa menimba ilmu
pengetahuan di universitas-universitas Islam di kota Seville, Cordova, Toledo,
Granada dan Valencia. Selain itu orang-orang mozarabes (orang-orang Spanyol
yang mempunyai kebiasaan Arab-Islam dalam kesehariannya) juga mempunyai andil
sebagai transmitter dalam alih kebudayaan Islam ke dunia Barat. Mereka banyak
menerjemahkan karya-karya filsafat dan ilmu pengetahuan Islam yang berbahasa
Arab ke bahasa latin.[48] Termasuk juga karya-karya Ibn Rusyd.
Menurut Ibrahim Madkur, sebagaimana dikutip oleh Sirajuddin Zar,
ada beberapa alasan yang menimbulkan perhatian Barat terhadap pemikiran
filsafat Ibn Rusyd.[49]
a. Frederick II sebagai pecinta ilmu
pengetahuan dan filsafat lebih banyak tertarik pada komentar-komentar Ibn Rusyd
terhadap Aristoteles. Komentar tersebut diterjemahkan, kemudian tersebar luar
di Eropa
b. Orang-orang Yahudi, penganut filsafat Ibn
Rusyd, berusaha menerjemahkan karya Ibn Rusyd dalam bahasa-bahasa Ibrani dan
Latin. Kemudian, mereka bertindak sebagai perantara filsafat Ibn Rusyd dan
filsaat Barat.
c. Sebagian pengkaji filsafat memandang bahwa
untuk memahami filsafat Aristoteles, sebaiknya membaca filsafat Ibn Rusyd. Oleh
karena itu upaya menerjemahkan karya-karya Ibn Rusyd pada abad ke-16
dimaksudkan untuk lebih memahami filsafat Aristoteles melalui Ibn Rusyd.
Seperti telah diungkapkan di atas bahwa pemikiran Ibn Rusyd masuk
ke dunia Barat melalui berbagai penerjemahan dan penerbitan. Penerjemahan itu
dilakukan oleh murid-muridnya yang datang dari berbagai pelosok Eropa dan oleh
orang-orang Yahudi. Di akhir hayatnya seorang Archbishop, Raimond I melakukan
penerjemahan secara besar-besaran di Toledo. Penerjemah lain adalah Michel Scot
dari Scotlandia, Hermann dari Jerman, dan Clunimus dari Cluminus (Yahudi).
Terjemah yang mereka hasilkan tersebut diterbitkan beberapa kali di Venesia,
Napoli, blogna, Paris, lyons, Strasbourg, dan Jenewa. Buku-buku tersebut juga
menjadi pelajaran wajib di pelbagai perguruan tinggi Eropa[50]
Dengan demikian pengaruh pemikiran Ibn Rusyd ini tidak secara
langsung, melainkan melalui para murid-muridnya dari Eropa yang belajar ke
Spanyol dan mereka inilah yang dikenal dengan Averroisme. Gerakan ini
berlangsung selama 400 tahun, yaitu tahun 1250 – 1650 M. Secara historis,
Averroisme merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan
penafsiran-penafsiran filsafat Aristoteles yang dikembangkan Ibn Rusyd oleh
pemikir Barat-Latin. Pada mulanya istilah ini dimaksudkan sebagai penghinaan
(pejorative) terhadap pendukungnya. Tidak seorang pun yang berani dengan tegas
menyatakan dirinya sebagai pendukung Averroisme. Barulah setelah masa Johannes
Jandun (m. 1328) yang pertama kali menegaskan dirinya secara terbuka sebagai
seorang Averrois dan diikuti oleh Urban dari Bologna serta Paul dari Venesia,
para pendukung Ibn Rusyd baru berani secara terang-terangan menyatakan
pendirian mereka.[51]
Sebelum averroisme muncul, Eropa kosong dengan ilmu pengetahuan,
berpikir sempit dan tidak menghargai akal. Bagi mereka satu-satunya sember
kebenaran pada saat itu hanyalah agama Kristen (gerejawan) sehingga apa saja
yang tidak sesuai dengan dogma Kristen dianggap salah. Kendatipun Averroisme
ini dibangsakan kepada filosof Muslim, Ibn Rusyd, namun ajaran keduanya
terdapat perbedaan yang mendasar. Hal ini dilatarbelakangi oleh agama yang
berbeda. Dalam filsafat Ibn Rusyd yang dilator belakangi oleh ajaran Islam yang
bersifat rasional, sangat sedikit ajaran yang bersifat dogmatis (qath’i
al-dalalah) sedangkan yang terbanyak tersebut adalah yang bersifat zanni al
dalalah. Berbeda dengan Islam, Kristen semua ajarannya bersifat dogmatis
sehingga tidak dapat didamaikan antara filsafat dengan ajaran agama.[52]
Dengan demikian Averroisme mengalami kesulitan ketika
mengembangkan pemikiran rasional Ibn Rusyd. Pemikiran filsafat yang dibawa oleh
Ibn Rusyd dalam Islam adalah satu kebenaran. Kebenaran yang dibawa filsafat
tidak akan bertentangan dengan kebenaran agama, jika dirasa ada pertentangan,
diambil arti metafora (takwil).
Oleh karena itu kebenaran ganda (double truth), kebenaran yang
dibawa agama adalah benar dan kebenaran yang dibawa filsafat juga benar, yang
dikembangkan oleh Averroisme bukanlah berasal dari Ibn Rusyd. Bahkan ada
Averroisme, Siger de Brabant (1235-1285), pemikiran filsafat mungkin
bertentangan dengan kebenaran agama, tetapi keduanya harus diterima. Ajaran dan
pendapat ini menurut Nurchalish Madjid, sebagaimana dikutip Sirajudin Zar,
merupakan suatu kemunafikan.[53] Penyimpangan yang lebih ekstrem dari
Averroisme, menurut Harun Nasution, sebagaimana juga dukutip Sirajuddin Zar,
adalah pendapat mereka yang mengatakan bahwa filsafat mengandung kebenaran,
sedangkan agama membawa hal-hal yang tidak benar. Oleh karena itu tuduhan
pemuka gereja terhadap Ibn Rusyd seorang atheis tidak tepat dan salah alamat
yang semestinya dilontarkan kepada Averroisme.[54]
Sebenarnya hal di atas tidaklah dapat disalahkan Averroisme secara
keselurah. Pengalaman meunjukkan bahwa apa yang selama ini dianggap sebagai
kebenaran agama ternyata tidak tebukti kebenarannya menurut akal. Kreatifitas
akal telah terpasung oleh agama Kristen. Akibatnya tidak hanya sampai di situ,
paham Averroisme telah melahirkan free thinker dikalangan ilmuwan Eropa. Dengan
kata lain para sarjana di Eropa, pada umumnya telah meninggalkan ajaran agama
(atheis) karena agama tidak mampu menyaingi kebenaran yang dihasilkan filsafat
dan sains. Namun ajaran ini menurut Philip K. Hitti, sebagaimana dikutip
Sirajudin Zar bukan bersal dari Ibn Rusyd.[55]
Gerakan Averroisme ini mendapat tantangan keras dari pihak gereja.
Cara yang paling tragis ialah dengan cara ancaman bunuh dan penjara. Peristiwa
ini disebut dengan inkuisi. Akibatnya, banyak dari ilmuwan yang menjadi korban
seperti Copernicus, Galilei Galileo, Grodarno Bruno, dan lain-lain. Pada
akhirnya gerakan ini tidak terbendung oleh pihak gereja. Pemikiran Averroisme
ini jugalah yang mendorong terjadinya Renaisance di Eropa, sehingga tidak
terlalu berlebihan jika Lebon mengatakan “Orang Arablah yang menyebabkan Eropa
mempunyai peradaban karena mereka adalah imam Eropa selama enam abad.[56]
Berdasarkan paparan di atas dapat dipahami bahwa orang-orang Eropa
dapat mengenal filsafat dan sains adalah atas jasa orag Islam, dan hal ini
merupakan utang budi Barat terhadap umat Islam. Namun, perkembangan filsafat
dan sains di Eropa berbeda dengan Islam yakni lepas kendali dari bimbingan
agama, yang akhirnya dari sekuler menjadi atheis.[57]
PENUTUP
A. Kesimpulan
Seperti sudah diuraikan di atas bahwa ada tiga lahan perdebatan
yang ditudingkan al-Ghazali kepada para filosof Muslim yang menyebabkan mereka
menjadi kafir yaitu masalah kadimnya alam, Allah tidak mengetahui yang
juz’iyyah dan masalah pembangkitan jasmani. Tiga persoalan menjadi lapangan
akal karena tidak ada nash al-Qur’an maupun hadits Nabi SAW yang menegaskannya.
Pendapat al-Ghazali ini, sebagi seorang teolog Muslim, tentu saja dipengaruhi
oleh paham kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan, artinya Allah dapat berbuat
apapun tanpa ada yang menghalangi-Nya, sehingga tidak mengherankan jika
al-Ghazali berpendapat demikian.
Menurut Ibn Rusyd tuduhan yang dilontarkan oleh al-ghazali
terhadap filosof Muslim dalam tiga butir persoalan diatas tidak pada tempatnya.
Kalaupun mereka salah, maka kesalahan mereka hanya pada lapangan ijtihadi.
Gagasan Averroisme yang ingin mengembangkan gagasan-gagasan Ibn
Rusyd dan berkembang di Barat sejak abad ke-13 ternyata tidak sepenuhnya
bertumpu pada pemikiran Ibn Rusyd. Ada penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan
oleh para eksponen Averroisme dari ajaran-ajaran Ibn Rusyd yang sebenarnya.
[1] Saepul Anwar, Filsafat Ilmu al-Ghazali Dimensi Ontologi dan
Aksiologi, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), cet. I. h. 14
[2] A. Syafi’I Maarif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di
Indonesia, (Bandung: Mizan, 1994), cet. II., h. 20
[3] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya,
(Jakarta: Raja Grafindo, 2004), h. 159
[4] Saeful Anwar, op.cit., h. 16
[5] Muhammad Iqbal, Ibn Rusyd & Averoisme: Sebuah
Pemberontakan Terhadap Agama, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004)., cet. I., h.
46
[6] Sirajuddin Zar, op.cit., h. 155
[7] Ahmad Syafi’i Ma’arif, op.cit., h. 54
[8] Sirajuddin Zar, op.cit., h. 156
[9] Ibid, h. 156 - 157
[10] Harun Nasution, Filsafat dan Misticisme dalam Islam,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1973)., cet. I., h., 35 - 37
[11] Sirajuddin Zar, op.cit., h. 157
[12] Ibid., h. 158
[13] Fachri Syamsudin, Dasar – Dasar Filsafat Islam, (Jakarta: The
Minangkabau Foundation, 2005)., cet. I., h. 74 - 75
[14] Saeful Anwar, op.cit., h. 68
[15] Sirajuddin Zar, op.cit., h. 159
[16] Dalam buku Sirajuddin Zar ditulis selain Aristoteles dan
Plato, tetapi setelah dicoba merujuk kesumber lain ternyata yang dimaksud
dengan filosof dalam bahasan ini adalah Aristoteles dan Plato
[17] Sirajuddin Zar, op.cit., h. 160. Baca juga al-Ghazali,
al-Munqiz Min al-Dlalal, ter. Abdullah bin Nuh, (Jakarta: Tinta Mas, 1996), h.
14-24
[18] Ibid., h. 162-163
[19] Ibid, h. 165
[20] Ibid
[21] Ibid, h. 166
[22] Ibid
[23] Ibid
[24]Ibid, h. 168. Baca juga Harun Nasution, Makalah Simposium
tentang al-Ghazali diselenggarakan oleh Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Swasta
se-Indonesia, Jakarta: 26 Januari 1985, h. 4
[25] Ibid.
[26] Fachri Syamsudin, op.cit. h. 83
[27] Sirajuddin Zar, op.cit., h. 169-171
[28] Ibid., h. 171
[29] Ibid., h. 172-173
[30] Ibid., h. 173
[31] Abbas Mahmud al-Aqqad, Ibnu Ruysd: Sang Filsuf, Mistikus,
Fakih, dan Dokter (terj), Khalifurrahman Fath, judul asli Ibnu Rusyd,
(Yogyakarta: Qirtas, 2003), cet, ke-1, h. 29
[32] Ibid, h. 32
[33] Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1994), cet, ke-3, h. 37
[34] Sirajuddin Zar, op.cit., h. 221
[35] Ibid., h. 160 Baca juga Al-Ghazali, Al-Munqidz, h. 14-24
[36] Sirajuddin Zar, opcit, h. 161. Baca juga Al-Ghazali,
Tahafutul Falasifah, tahqiq Sulaiman Dunya, (Kairo:Darul Mara’arif, 1962), h.
86-87
[37] Ibid. h. 161-163
[38] Ibid, h. 226
[39] Ibid, h. 118
[40] Sirajuddin Zar, op.cit, h. 229. Baca juga Al-Ghazali,
Tahafutul Falasifah, tahqiq Sulaiman Dunya, (Kairo:Darul Mara’arif, 1962), h.
86-87
[41] Sirajuddin Zar, op.cit, h.. 230. Baca juga Al-Ghazali,
Tahafutul, h. 702-703
[42] Ibid.
[43] Harun Nasution, Falsafat dan Misticisme Dalam Islam,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 47.
[44] Ibnu Rusyd, Tahafut, op.cit., h. 873-874.
[45] Ibid, h. 231 dan Ibn Rusyd, Tahafut, Ibid.
[46] Ibid, 232 dan Ibn Rusyd, Tahafut, Ibid.
[47] Muhammad Iqbal, op.cit., h. 80
[48] Ibid., h. 80-81
[49] Sirajuddin Zar, op.cit, h. 255. Baca juga Ibrahim Madkur,
Filsafat dan Renaisans Eropa, dalam Sumbangan Islam Kepada Ilmu dan Kebudayaan,
ter. Ahmad Tafsir, (Bandung: Pustaka, 1986), h. 136-137
[50] Ibid, h. 255-256
[51] Muhammad Iqbal, h. 95-96
[52] Sirajuddin Zar, op.cit, h. 256-257
[53] Ibid, h. 257
[54] Ibid
[55] Ibid., h. 258
[56] Ibid.
[57] Ibid.