the smooth sea will never give the good sailor

Latest Posts

Sabtu, 25 Maret 2017

Apakah Ibnu Taimiyyah Membolehkan Pemimpin Non Muslim?

"Ibnu Taimiyyah sama sekali tidak sedang membicarakan pemimpin Islam atau kafir, melainkan sedang membicarakan masalah keadilan"

Setiap kali ada even pemilihan kepala daerah atau presiden di Indonesia, salah satu wacana yang sering dimunculkan adalah mengenai kepemimpinan non-Muslim di negeri yang mayoritas Muslim ini. Tahun 2017 mendatang akan diselenggarakan Pilkada di DKI Jakarta, ibu kota Republik Indonesia.

Even Pilakada DKI kali ini mendapatkan perhatian lebih bukan hanya kerena posisi strategis ibu kota negara, tetapi juga disebabkan calon incumbent yang non-Muslim Ahok akan maju kembali dalam Pilkada kali ini. Seperti biasa segera muncul pro-kontra tentang kepemimpinan non-Muslim di tengah-tengah penduduk yang mayoritas Muslim.

Salah satu yang selalu diulang-ulang adalah selalu muncul dari kalangan Muslim yang membela kepemimpinan non-Muslim ini. Argumen yang diusung selalu sama, yaitu menolak ayat-ayat yang dijadikan dalil haramnya umat Islam memilih pemimpin kafir dengan menganggapnya bukan larangan tegas untuk itu. Selain itu, argumen lain yang selalu diulang-ulang adalah pendapat Ibnu Taimiyyah dalam bukunya Al-Hisbah fî Al-Islâm aw Wazhîfah Al-Hukûmah Al-Islâmiyyah (hal. 7 dalam cet. Dar El-Kutub El-Imiyyah Libanon). Biasanya yang dikutip dari buku itu adalah penggalan kalimat: “Allah akan menolong negara yang adil sekalipun kafir, dan akan membinasakan Negara yang zalim sekalipun beriman.”

Mengenai argumen bahwa tidak ada ayat-ayat atau hadis yang tegas yang melarang kepemimpinan non-Muslim jelas ini merupakan pendapat yang syâdz (nyleneh, menyimpang) dalam tradisi pemikiran politik Islam. Sebab dalam masalah ini telah terjadi ijmâ’ (kesepakatan) di antara para ulama. Tidak ada satu pun ulama di masa lalu, maupun di masa sekarang yang membolehkan secara mutlak kepemimpinan non-Muslim atas kaum Muslim. Shalah Al-Shawi dalam Al-Wajîz fî Al-Fiqh Al-Khilâfah (Dar Al-I’lam Al-Dauly [tt.], hal. 22-23) menyebutkan bahwa syarat “Islam” bagi calon pemimpin kaum Muslim merupakan sesuatu yang dapat dimengerti dari hukum Islam secara sangat mudah (‘ulima min ahkâm al-imâmah bi al-dharûrah). Tugas kepemimpinan di dalam Islam salah satunya adalah menegakkan agama Islam (iqâmah al-dîn al-islâmy). Bagaimana mungkin orang yang tidak mengimani (kâfir) terhadap ajaran Islam dapat menegakkan Islam?

Oleh sebab masalahnya sesederhana itu, juga ditopang oleh dalil yang sangat banyak di dalam Al-Quran (bukan hanya satu atau dua ayat), maka tidak mengherankan apabila para ulama bersepakat atas wajibnya syarat “Islam” bagi pemimpin kaum Muslim.

Al-Qahi Iyadh berkata;

“Para ulama bersepakat bahwa kepemimpinan (Islam) tidak sah diberikan kepada orang kafir; dan bahkan bila pemimpin (Muslim) kemudian keluar dari Islam (kafir), maka dia harus turun.” (Shahih Muslim bi Syarh Al-Nawâwi Jld. 12 hal. 229). Ibnu Mundzir juga mengatakan, “Seluruh ahli ilmu bersepakat bahwa orang kafir sama sekali tidak boleh menjadi pemimpin bagi kaum Muslim dalam keadaan apapun.” (Ahkâm Ahl Al-Dzimmah li Ibn Qayyim Al-Jauziyyah, Jld. II hal. 414).
Dalam sistem hukum Islam, ijmâ’ merupakan salah satu sumber hukum yang paling kuat setelah Al-Quran dan Sunnah Nabi SHalallallahu ‘Alaihi Wassallam.

Seandainya benar terdapat ijmâ’ di kalangan ulama mengenai kewajiban syarat “Islam” bagi pemimpin kaum Muslim, lalu timbul pertanyaan apakah benar bahwa Ibnu Taimiyyah berbeda pendapat mengenai masalah ini? Salah satu buktinya adalah kutipan di atas. Kalau memang benar, berarti klaim ijmâ’ gugur dengan sendirinya. Inilah yang akan dibahas secara lebih mendalam pada tulisan ini. Untuk membahas masalah ini, ada dua hal yang harus didudukkan, yaitu: bagaimana pandangan Ibnu Taimiyyah sendiri terhadap syarat seorang pemimpin kaum Muslim dan dalam konteks apa ia mengatakan perkataannya di atas.

Syarat Pemimpin Menurut Ibnu Taimiyyah

Hal yang cukup menyulitkan untuk memastikan apa yang dipersyaratkan bagi seorang pemimpin kaum Muslim menurut Ibnu Taimiyyah adalah gaya Ibnu Taimiyyah dalam membahas masalah ini. Dalam kitab-kitab fikih siyasah yang umum seperti tulisan Al-Mawardi Al-Ahkâm Al-Sulthâniyyah, biasanya dibahas secara gamblang dan khusus mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi seorang pemimpin sehingga para pembaca segera dapat mengetahui pendapatnya mengenai masalah ini. Sementara Ibnu Taimiyyah di dalam buku-bukunya yang khusus berkenaan dengan siyasah, yaitu Al-Siyâsah Al-Syar’iyyah, Al-Hisbah fî Al-Islâm, dan Al-Khilâfah wa Al-Mulk tidak menyebutkannya secara khusus. Oleh sebab itu, para pembaca harus memmbacanya secara mendalam dan hati-hati untuk mengetahui bagaimana pandangan Ibnu Taimiyyah mengenai masalah ini.

Dalam disertasinya di Universitas Kairo yang kemudian diterbitkan Dar Al-Akhilla’ Dammam KSA (1994: hal. 95-97) berjudul Al-Nazhariyyah Al-Siyâsah ‘inda Ibn Al-Taimiyyah, Hasan Konakata menyatakan bahwa dari berbagai tulisannya dapat disimpulkan bahwa Ibnu Taimiyyah menetapkan dua syarat umum bagi seorang pemimpin Muslim, yaitu al-quwwah wa al-amânah (kekuatan dan amanah). Kesimpulan ini diambil dari pernyataan Ibnu Taimiyyah sendiri di dalam Al-Siyâsah Al-Syar’iyyah (Dar Al-Afaq Al-Jadidah Beirut, 1998: 15):

فإن الولاية لها ركنان : القوة والأمانة . كما قال تعالى : { إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ } (سورة القصص : من الآية 26) . وقال صاحب مصر ليوسف عليه السلام : { إِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِينٌ أَمِينٌ } (سورة يوسف : من الآية 54) . وقال تعالى في صفة جبريل : { إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ }{ ذِي قُوَّةٍ عِنْدَ ذِي الْعَرْشِ مَكِينٍ }{ مُطَاعٍ ثَمَّ أَمِينٍ } (سورة التكوير : الآيات 19-21) .

Sesungguhnya kepemimpinan itu memliki dua rukun: kekuatan dan amanah, sebagaimana firman Allah Swt., “Sesaungguhnya sebaik-baiknya orang yang kau upah adalah yang kuat lagi amanah. (QS Al-Qashash: 26). Berkata pemimpin Mesir kepada Yusuf, “Sesungguhnya engkau sekarang ini memiliki posisi yang kuat dan terpercaya di sisi kami.” (QS Yusuf: 54); Allah Swt. berfirman tentang sifat Jibrir, “Sesungguhnya itu merupakan ucapan utusan yang mulia; yang memiliki kekuatan dan kedudukan yang kuat di sisi Sang Pemilik Arsy; yang taat lagi dapat dipercaya.” (QS Al-Takwir: 19-21).

Yang dimaksud dengan “kekuatan” oleh Ibnu Taimiyyah adalah kemampuan yang harus dimiliki seorang pemimpin di lapangan yang dipimpinnya. Ia mencontohkan seorang panglima perang harus memiliki keberanian dan pengetahuan strategi perang. Tanpa kedua hal itu, dia tidak akan mampu melaksanakan tugasnya sebagai pemimpin pasukan tempur. Sementara orang yang akan memangku amanah memimpin manusia harus mengetahui ilmu tentang keadilan yang diajarkan di dalam Al-Quran dan Al-Sunnah; juga harus memiliki kemampuan untuk menerapkannya di tengah-tengah manusia.

Adapun yang dimaksud dengan “amanah” adalah sikap takut hanya pada Allah, tidak memperjualbelikan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit, dan tidak takut pada manusia. Definisi ini ia dasarkan pada firman Allah Swt., “Janganlah kalian takut pada manusia, takutlah pada-Ku; dan janganlah kalian memperjualbelikan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Siapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang kafir. (QS Al-Ma’idah: 44).  Kalau merujuk pada syarat “amanah” ini agak sulit dimengerti kalau Ibnu Taimiyyah tidak mempersyaratkan pemimpin harus seorang “Muslim”. Kalau bukan Muslim, bagaimana mungkin dia bisa takut pada Allah dan memperjual-belikan ayat-ayat Allah? Bahkan syarat yang ditetapkan Ibn Taimiyyah ini lebih dari sekedar harus “Muslim.” Dia harus memiliki sifat-sifat yang utama sekelas sifat seoang ulama, yaitu “takut pada Allah Swt.”

Penjelasan mengenai syarat-syarat menjadi pemimpin kaum Muslim semacam ini memang agak berbeda dengan penulis-penulis lain. Akan tetapi maksud yang ingin disampaikan Ibnu Taimiyyah sama dengan ulama-ulama yang lain. Bila dibandingkan dengan penjelasan Al-Mawardi, misalnya, maka kita akan segera bisa menyimpulkan bahwa kriteria Ibnu Taimiyyah telah merangkum syarat-syarat yang ditetapkan Al-Mawardi.

Dalam Al-Ahkam Al-Sulthâniyyah (Dar Ibn Qutaibah Kuwait, 1989: 3-5), Al-Mawardi menyebutkan bahwa kepemimpinan politik dalam Islam bertujuan untuk meneruskan misi kenabian dalam menegakkan agama dan mengatur urusan dunia. Untuk itu, orang yang akan memangku amanah ini harus memiliki syarat antara lain: adil (dengan berbagai syaratnya, termasuk di dalamnya beragama Islam), memiliki ilmu yang dapat mengantarkannya melakukan ijtihad, sehat panca indra, sehat anggota tubuh, memiliki kecerdasan, dan memiliki keberanian untuk menerapkan berbagai aturan. Dari keenam syarat yang ditetapkan Al-Mawardi ini esensinya hanya dua seperti yang disebut Ibnu Taimiyyah, yaitu: memiliki kekuatan (al-quwwah) dan amanah. “Islam” pasti merupakan salah satu syarat mutlak di dalamnya karena tujuan dari kepemimpinan itu sendiri adalah untuk menegakkan agama sebagaimana tugas oara Nabi.

Kalau kita telaah lagi semua tulisan Ibnu Taimiyyah tentang masalah politik ini akan semakin jelas bahwa sama sekali ia tidak pernah memberikan ruang bagi dibolehkannya pemimpin kafir. Salah satu yang semakin menguatkan kesimpulan ini dapat dilihat dalam Al-Khilâfah wa Al-Mulk (Maktabah Al-Manar Yordan, 1994: 43).

Ia menulis satu bab “Al-Amîr Yatawallâ Imâmah Al-Shalâh wa Al-Jihâd” (Seorang Amir Harus Memimpin Sholat dan Jihad). Seandainya Ibnu Taimiyyah membolehkan diangkatnya pemimpin non-Muslim, mengapa ia begitu yakin menulis kewajiban pemimpin semacam ini yang tidak mungkin dikerjakan kecuali oleh seorang Muslim?

Konteks Ucapan Ibnu Taimiyyah tentang “Daulah Kafir yang Adil”

Hal berikutnya yang harus diklarifikasi adalah tentang pernyataan Ibnu Taimiyyah di atas. Amat disayangkan bahwa pernyataan Ibnu Taimiyyah ini, hanya dikutip dan dipahami sepotong-sepotong. Seandainya dilihat secara utuh, baik dalam konteks keseluruhan pemikiran Ibnu Taimiyyah maupun dalam konteks di mana kalimat yang dikutip tersebut, maka para pembaca yang jujur akan segera mengerti bahwa Ibnu Taimiyyah sama sekali tidak memaksudkan ucapannya sebagai kebolehan orang kafir dijadikan pemimpin kaum Muslim. Apalagi kalau kutipan ini dipandang secara lebih kritis, bisa jadi ungkapan ini akan tertolak dengan sendirinya. Akan kita urai mengenai masalah ini sebagai berikut.

Pertama, dilihat dari cara Ibnu Taimiyyah mengungkapkan kalimat ini ia hanya menyebutkan dengan kata yurwâ (diriwayatkan), tapi sama sekali tidak menyebut diriwayatkan dari siapa; apakah dari Rasulullah, sahabat, tabi’in, atau tokoh ulama lainnya? Ibnu Taimiyyah adalah orang yang sangat kritis terhadap riwayat-riwayat yang digunakannya untuk menyusun argumentasi. Ia terkategori ahl al-hadîts yang sama sekali tidak menoleransi riwayat-riwayat yang lemah dan tidak jelas; apalagi riwayat palsu. Amat sangat disayangkan, kali ini Ibnu Taimiyyah agak ceroboh. Ia sama sekali tidak menyebutkan ini riwayat semacam apa. Kalau menggunakan metode kritik Ibnu Taimiyyah terhadap riwayat-riwayat, kutipan yang tidak jelas sumbernya semacam ini seharusnya sudah tertolak sejak awal.

Bisa jadi juga bahwa Ibnu Taimiyyah mengikuti tradisi para muhadditsîn dalam menggunakan kata “yurwâ” ini untuk menunjukkan suatu riwayat yang lemah yang tidak bisa digunakan sebagai dasar dalil karena ketidakjelasan riwayat itu sendiri. Hanya saja, ia menyampaikannya karena pernah mendengar riwayat itu sehingga kalaupun ia menyampaikannya kepada pembaca bukan untuk dijadikan sebagai landasan dalil yang kuat, melainkan hanya untuk memperkuat pendapatnya tentang tema yang tengah dibicarakan, yaitu tentang pentingnya keadilan

Kedua, bila kemungkinan kedua di atas yang kita gunakan, maka kita berhusnuzhan bahwa kutipan ini bukan sungguh-sungguh untuk dijadikan sebagai landasan dalil mandiri tentang sesuatu, melainkan untuk menguatkan konteks pembicaraan yang tengah ia wacanakan. Ungkapan tersebut secara utuh disimpan dalam pembahasannya tentang tujuan dari kekuasaan dalam Islam. pada awal wacana Ibnu Taimiyyah menulis, “Ini adalah kaidah-kaidah tentang hisbah. Tujuanya adalah untuk memberikan pengetahuan bahwa segala bentuk kekuasaan dalam Islam tujuannya adalah agar seluruh pelaksanaan agama hanyalah dipersembahkan untuk Allah Swt. dan agar kalimat Allah menjadi kalimat tertinggi…” (Al-Hisbah fî Al-Islâm, tt: 6). Lalu pembahasan dilanjutkan dengan penjelasan bahwa hal itu harus dilakukan dengan ketaatan sepenuhnya pada Allah Swt., baik dalam perkara agama maupun dunia. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya ada orang yang benar, ada juga yang salah sehingga perlu ada yang memenang peranan dalam amar ma‘rûf dan nahyi munkar. Inilah yang dimaksud hisbah di dalam Islam.

Selanjutnya, Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa orang yang berbeda-beda agama dan keyakinan memiliki pandangan yang berbeda-beda pula terhadap masalah agama dan dunia. Akan tetapi, dalam masalah keadilan dan kezhaliman di dunia semua orang memiliki pandangan sama, yaitu bahwa kezhaliman akan berakibat buruk bagi kehidupan manusia di dunia ini, sedangkan keadilan akan berakibat sebaliknya. Setelah itu, baru ia katakan bahwa ada riwayat yang menyatakan seperti ungkapannya di atas. Kutipan di atas secara agak panjang isinya sebagai berikut:

فإِنَّ النَّاسَ لَمْ يَتَنَازَعُوا فِي أَنَّ عَاقِبَةَ الظُّلْمِ وَخِيمَةٌ وَعَاقِبَةُ الْعَدْلِ كَرِيمَةٌ وَلِهَذَا يُرْوَى : ” اللَّهُ يَنْصُرُ الدَّوْلَةَ الْعَادِلَةَ وَإِنْ كَانَتْ كَافِرَةً وَلَا يَنْصُرُ الدَّوْلَةَ الظَّالِمَةَ وَإِنْ كَانَتْ مُؤْمِنَة

“Manusia tidak berselisih bahwa balasan dari perbuatan zalim adalah kebinasaan sementara balasan dari sikap adil adalah kemuliaan. Oleh karena itu diriwayatkan bahwa “Allah akan menolong negara yang adil sekalipun kafir, dan akan membinasakan Negara yang zalim sekalipun beriman.”

Kalau memperhatikan konteksnya, Ibnu Taimiyyah sama sekali tidak sedang membicarakan pemimpin Islam atau kafir, melainkan sedang membicarakan masalah keadilan. Dalam hal-hal duniawi ada dimensi-dimensi keadilan yang rumusnya disepakati bersama oleh orang-orang yang berbeda-beda keyakinan sekalipun. Dalam hal demikian, bila keadilan ditegakkan sekalipun penegaknya itu adalah “negara yang kafir”, maka akan ada pertolongan Allah Swt., dalam arti akan berbuah hal-hal yang baik. Sementara bila tidak ditegakkan, walaupun di “negara yang Muslim”, pasti akan berakibat keburukan. Boleh dikatakan bahwa maksud Ibnu Taimiyyah adalah ingin memberi tekanan kepada keadilan, bukan membicarakan mengenai boleh atau tidaknya pemimpin yang kafir.

Kalau yang dibicarakan adalah keadilan, maka dalam dimensi yang lebih luas, keadilan itu juga termasuk di dalamnya menegakkan agama. Menegakkan agama berarti menegakkan hak-hak Allah Swt. Menegakkan hak Allah Swt. adalah salah satu bentuk keadilan dalam hidup ini, karena “ibadah” merupakan salah satu tujuan dari kehidupan manusia di dunia. Ibadah adalah wujud sikap yang adil terhadap Allah Swt. Bagaimana mungkin keadilan ini dapat ditegakkan oleh orang yang secara keyakinan menentang Allah Swt. alias “kafir”. Kalau membaca keseluruhan tulisan Ibnu Taimiyyah dalam berbagai risalahnya di atas, Ibnu Taimiyyah pasti juga berkesimpulan seperti itu. Namun patut disayangkan ia menyebutkan riwayat yang tidak jelas sumbernya bagi para oembaca untuk menguatkan argumentasinya sehingga membuka celah bagi orang-orang yang berpikiran picik untuk memelintir ucapannya. Padahal, dengan mencantumkan riwayat itu, sama sekali tidak terpikirkan oleh Ibnu Taimiyyah untuk menjadi dalil tentang bolehnya pemimpin kafir bagi kaum Muslim. Wallâhu A’lam.*

Rabu, 26 Oktober 2016

TURKI DAN PEMBAHARUAN DALAM ISLAM

SEJARAH KAWASAN TIMUR TENGAH
“TURKI DAN PEMBAHARUAN DALAM ISLAM”













Oleh:
MUHAMMAD KHOIRUL HUDA
NPM: 1606861441


Dosen Pengampu:
Prof. DR. Amany Burhanuddin Lubis, M.A
DR. Hendra Kurniawan, Lc, M.Si


Program Studi Kajian Timur Tengah dan Islam
Pasca Sarjana Universitas Indonesia (PSKTTI UI)
2016




Daftar Isi:

 







BAB I

PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah

Setelah Bahgdad, wilayah Islam di kawasan Timur jatuh ke tangan bangsa Mongol dan dunia Islam di Barat jatuh ke tangan umat Kristen Eropa. Kelemahan sistem peradaban Islam mulai tampak. Oleh sebab itu, muncul ide untuk mengadakan pembaharuan dalam beberapa segi.
Pendudukan Mesir atas Napoleon tahun 1798 M merupakan peristiwa sejarah yang menjadi pangkal kesadaran umat Islam akan kelemahan sistem peradabannya dan akan pentingnya pembaharuan dalam segala aspek kehidupan masyarakat islam. Invasi terhadap Mesir diikuti dengan dominasi Inggris atas India dan kehancuran turki sebagai akibat peperangan besar antara Tsar Rusia dan Persia yang mengakibatkan jatuhnya beberapa wilayah Islam ke tangan Barat.[1]
Kedatangan Napoleon di Mesir pada 1798 merupakan momentum penting dari perkembangan Islam. Kedatangan “penakluk dari Prancis” ini tidak hanya membuka mata kaum muslim akan apa yang dicapai oleh peradaban Barat di bidang sains dan teknologi, tetapi juga menandai awal kolonialisme Barat atas wilayah-wilayah Islam. Di antaranya akibat kontak itu di lingkuangan elit muslim para penguasa dan kalangan cendikiawan gerakan pembaharuan Islam kembali memperoleh gairah. Kaum muslim semakin intensif dan bersemangat mengkaji kembali doktrin-doktrin dasar Islam khususnya dihadapkan pada kemajuan Barat. Kritik-kritik terhadap kondisi umum masyarakat Islam bermunculan, seruan berjihad semakin nyaring terdengar, pandangan lama yang menganggap pintu ijtihad telah tertutup tidak hanya digugat, tetapi bahkan dianggap sebagai cermin dari keterbelakangan intelektual. Tidak heran jika taqlid mendapat kritik pedas dari kalangan pembaharu.[2]
Pada abad pertengahan Dunia Barat telah maju, ditandai dengan beberapa kemajuan dan penemuan teknologi modern seperti kaca lensa (1250), alat percetakan (1450), dan lain-lain. Perkembangan IPTEK ini disamping menimbulkan hal-hal yang positif adapula yang negatif, sedangkan umat Islam dibelahan bagian timur sedang bersimpuh dibawah penindasan dan juga terlena dibawah sisa kemegahan kurturnya di masa silam yang telah sirna, namun dibelahan barat (Asia Barat) kurang lebih tahun 1300 telah berdiri pula Kerajaan Turki, namun mereka kurang berbudaya. Mereka hanya mengandalkan kemajuan militer, keberanian dan fisik mereka yang kuat, namun mereka ini merupakan ancaman bagi Eropa. Bangsa Turki adalah bangsa yang pemberani dan disiplinnya sangat tinggi, bangsa campuran dari bangsa Mongol dan bangsa lainnya di Asia Tengah ini. Sebelum mereka masuk Islam, mereka memeluk agama Majusi, Budha atau agama besar lainnya.
Jika di Mesir ide Pembaharuan muncul setelah kedatangan Napoleon dan pergerakan-pergerakan yang dilakukan oleh kaum intelektualnya seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan murid-murid Abduh, maka di Turki muncul dari dalam kerajaan Usmani yang berkuasa pada waktu itu. Ide pembaharuan mengemuka di Kerajaan Usmani pada abad ke tujuh belas. Kerajaan ini mulai mengalami kekalahan dalam peperangan melawan tentara Eropa. Fakta ini mendorong para pemuka kerajaan untuk mengevaluasi penyebab kekalahan mereka dan rahasia kemenangan lawan. Mereka mulai memperhatikan kemajuan Eropa, terutama Perancis sebagai kawasan yang maju. Orang-orang Eropa ang kerap kali dipandang “kafir” dan rendah mulai dihargai. Duta-duta dikirim ke Eropa untuk mempelajari suasana dan kemajuannya.[3] Akhirnya mereka mengetahui bahwa rahasia kemajuan bangsa Eropa terletak pada penerapan sains dan teknologi tinggi di dalam militer.[4]
Pada permulaan abad ke tujuh belas, Turki Usmani mulai memperdebatkan cara terbaik bagi program restorasi intergritas politik dan efektivitas kekuatan militer yang dimiliki kerajaan. Para pembaharu pada awalnya berlandaskan pada aturan yang digariskan Sultan Sulaiman yang menentang kemungkinan pengaruh kekuatan Kristen Eropa atas kaum Muslim. Para modernis menganngap perlunya kerajaan Turki untuk mengadopsi metode yang dimiliki bangsa Eropa dalam pendidikan militer, organisasi dan administrasi untuk menciptakan suatu perubahan dibidang pendidikan, ekonomi, dan sosial yang mendukung terbentuknya Negara modern. Pada abad ke delapan belas, kelompok muncul dengan terang-terangan dan akhirnya menjadi pemenang.[5]
Semenjak abad ke delapan belas, penasehat militer Eropa telah mulai dipekerjakan untuk memberikan latihan kemiliteran bagi pejabat militer kerjaan. Percetakan juga mulai didirikan untuk menerbitkan beberapa terjemahan karya Eropa di bidang teknik, militer dan geografi. Sultan Salim II (1789-1807) memperkenalkan program pembaharuan pertama, dikenal dengan Nizam-I jedid. Rencana pembaharuan itu meliputi pembentukan korp militer baru, perluasan sistem perpajakan dan pelatiahan untuk mendidik para kader bagi rezim baru. Rencana yang dikemukakan Sultan Salim ternyata tidak mendapat dukungan dari para ulama dan kelompok militer Janissari, yang akhirnya ia sendiri menjadi kurban rencana pembaharuan tersebut. Ia kemudian digulingkan pada tahun 1807. Meskipun demikian, program pembaharuan tersebut dilaksanakan pada periode Sultan Mahmud II.[6] Pembaharun inilah yang membuat Turki berhasil.
Puncak kemajuan Turki pada zaman Sultan Mahmud II, antara lain pada tahun 1453 dapat menaklukkan Byzantium Romawi. dari Istanbul, mereka menguasai daerah sekitar laut tengah dan berabad-abad lamanya Turki sebagai suatu negara yang perlu diperhatikan dan diperhitungkan oleh ahli-ahli politik dari Eropa.[7]
Berdasarkan penjelasan latar belakang di Atas, penulis akan mengemukakan dalam makalah ini gerakan pembaharuan di Turki yang terkhusus pada pokok pemikiran Sultan Mahmud II dan gerakan Tanzimat beliau.

B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, penulis menarik rumusan masalah yang akan dijadikan titik fokus pembahasan dalam makalah ini. Rumusan masalah yang dimaksud yaitu sebagai berikut:
1.      Bagaimana pokok pemikiran Sultan Mahmud II dalam gerakan Pembaharuan di Turki?
2.      Apa yang dimaksud dengan Tanzimat dalam gerakan pembaharuan di Turki?
3.      Apa yang dimaksud dengan pergerakan Usmani Muda dan apa ide pembaharuan mereka?

BAB II

PEMBAHASAN

A.     Sultan Mahmud II dan Ide Pembaharuannya

Sebagaiman di Mesir, pelopor pembaharuan pemikiran Islam di Kerajaan Usmani adalah raja. Bila di Mesir dipelopori oleh Muhammad Ali Pasya, maka di Turki Sultan Mahmud II menjadi pioneer pembaharuan.
Sultan Mahmud II dilahirkan di Saray pada Juli 1785. Ia adalah putra Sultan Abd. Hamid dan memperoleh pendidikan istana di bidang bahasa-bahasa Islam klasik, agama, hukum, sastra, dan sejarah. Dia tidak memiliki pengethuan barat secara langsung dan tidak mengetahui bahasa Eropa satu pun.[8] Ia diangkat menjadi sebagai sultan pada tahun 1807.[9]
Turki adalah bekas jantung tempat salah satu kekhalifahan terbesar Islam, yakni Turki Usmani. Oleh karena itu keterikatan  bangsa Turki dengan Islam berlangsung  sangat kuat sebab mereka bangsa terkemuka di dunia Islam selama beratus-ratus tahun lamanya. Ini merupakan suatu indikasi tentang betapa pentingnya Islam dalam kehidupan nasional rakyat Turki. Secara politis setiap orang yang bertempat tingal di Turki, tetapi secara kebudayaan orang Turki adalah hanya orang Islam.
Kerajaan Turki pada awal abad kesembilan belas dalam kondisi yang berantakan dan terpecah-pecah, mengingat minimnya kontrol politik pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Di Mesir, wakil pemerintahan Turki pada saat itu Muhammad Ali justru meletakkan dasar bagi kekuatan politik yang mandiri. Para pasya di Iraq bahkan hanya tunduk pada pemerinah Turki secara nominal. Di Siria telah muncul gubernur-gubernur lokal yang menyatakan kemerdekaannya. Di Anatolia, ternyata hanya dua provinsi yang menyatakan tunduk pada pemerintah pusat. Lemahnya kosolidasi politik internal diperburuk dengan ikutnya kekuatan militer Turki dalam berbagai Negara asing. Sultan Salim III terpaksa harus meminta bantuan kepada Perancis untuk mencegah sebagian wilayahnya yang teraknisasi oleh kekuatan Rusia. Begitu juga keterlibatan kerajaan Turki dengan Inggris yang berusaha menaklukan darnadela pada tahun 1807. Napoleon yang terlibat dengan Turki dalam perjanjian Tilsit 7 juli 1807 dan Eufrat 12 Oktober 1808, tidak hanya mencegah kekuatan oposisi terhadap Rusia, tetapi juga membiarkan Rusia menaklukan beberapa daerah taklukan Turki.[10]
Ketika ia naik tahta dan menjadi raja di Kerajaan Turki, Sultam Mahmud II memusatkan perhatiannya pada berbagai perubahan internal. Perbaikan internal tersebut dipusatkan pada rekonstruksi kekuatan angkatan bersenjata kerajaan sehingga menjadi kekuatan yang tangguh dalam menghadapi berbagai tantangan. Selain itu perbaikan tersebut dimaksudkan untu mengkonsolidasi seluruh potensi lokal. Kebijaksanaan ini menjadikan dirinya sebagai musuh bagi kelompok militer lama yang dikenal dengan Janissari. Pada tahun 1826, ia merombak Janissari menjadi kekuatan militer Eropa. Kebijksanaan ini akhirnya diprotes oleh Janissari yang sudah berdiri pada abad keempat belas oleh Sultan Orkhan, pada tanggal 16 Juni 1826. Akhirnya pemberontakan tersebut dikenal dengan The Auspicious Incident dalam sejarah Turki.
Sebagai seorang ahli strategi, ia berusaha ntuk melebihi apa yang dilakukan Salim III. Ia mencari dukungan dari para ulama yang akhirnya dia memperolehnya. Janissari yang pada tahun 1807 memperoleh dukungan penuh dari penduduk Istanbul, maka dengan reformasi yang ia programkan kekuaan militer lama ini hanya memperoleh sebagian dukungan dari masyarakat pada tahun 1826. Meskipun demeikian ia juga membentuk sebuah kelompok perantara antara kelompok janissari dengan pemerintahannya, karena yang ia kerjakan adalah untuk restorasi kekuatan militer demi kajayaan Turki di masa mandatang. Sehingga mereka yang merasa tersingkirkan masih dapat diharapkan kesetiaannya kepada pemerintah. Begitu pula dengan sentralisasi kekuasaan yang menjadi program utama Sultan Mahmud II berangsur-angsur dilaksanakan. Kekuatan militer baru tersebut menjadi semakin loyal terhadap sultan dan menjadi alat proses sentralisasi politik serta pendorong proses medornisasi.[11]
Pada tahun 1827, ia mendirikan sekolah kedokteran di kota Istanbul yang mendidik dokter militer baru. Pada antara tahun 1831-1834, dua lembaga pendidikan untuk tujuan militer juga didirikan. Pertama adalah Muzika-I Humayun Mektabi yang merupakan sekolah musik kerajaan; kedua adalah Mektab-I Ulam-I Harbiye yang merupakan akademi militer kerajaan, yang keduanya diresmikan pada tahun 1834. Untuk masyarakat umum ia mendirikan pendidikan tingkat menengah dengan nama sekolah Rusydiye. Sekolah tersebut dibangun untuk mempersiapkan kader-kader yang akan menjadi pegawai sipil. Selain itu ia mendirikan ilmu pengetahuan umum Mekteb-I Ma’arif dan Mekteb-I Ulum-I Edebiye yang merupakan sekolah sastra. Terhadap sistem pendidikan tradisional, madrasah, ia berusaha memasukkan pengetahuan umum dalam kurikulum pendidikannya.[12]
Pada tahun 1826, untuk mengurangi pengaruh ulama dan beberapa tokoh organisasi keagamaan, terutama tokoh tarekat Bektasyiyah, ia mendirikan lembaga Evkaf, sebuah lembaga yang menghimpun dan mengurus harta milik kerajaan. Lembaga Evkaf dipimpin oleh seorang menteri Evkaf yang tujuannya untuk mensentralisasi administrasi dan pencatatan harta milik kerajaan. Sebelumnya harta kerajaan berada di bawah tanggung jawab para penguasa lokal, yang saat itu berada ditangan ulama. Tetapi upaya di bidang ini tidak sepenuhnya berhasil dan dilanjutkan oleh penggantinya, sehingga sebagian besar harta milik kerajaan saat itu dapat dicatat dan diselamatkan. Selain itu, administrasi pusat juga mulai dibenahi. Sistem model kementrian model Eropa diperkenalkan dan seluruh menteri bertanggung jawab pada seorang perdana menteri. Pada tahun 1838, Untuk membantu meletakkan dasar strategi perencanaan jangka panjang ia mendirikan sebuah lembaga legislatif dan dikenal dengan nama Meclis-I Ahkam-I Adliye. Pada tahun 1833, dibuka lembaga penerjemahan. Kedutaan besar kerajaan Turki di berbagai Negara asing dibuka kembali sehingga memungkinkan bagi mereka melancarkan ide tandingan terhadap apa yang dilontarkan sarjana Eropa.[13]
Pada tahun 1831, untuk menyebarluaskan berbagai kebijaksanaan pemerintah, diterbitkan sebuah penerbitan dalam bahasa Turki yang bernama Takvim-I Vekayi. Jurnal ini merupakan penerbitan resmi kerajaan dan menjadi bacaan wajib bagi para pejabat kerajaan. Jurnal ini awalnya hanya terbatas pada salinan  berbagai keputusan pemerintah dan berbagai pandangan sultan mengenai berbagai persoalan kenegaraan yang sedang berkembang. Untuk melancarkan penyaluran penerbitan ini, diresmikan sistem pos pada tahun 1834. Rute pos pertama adalah antara Uskudar menuju Izmir yang dibuka secara formal oleh sultan sendiri. Rute pos kedua adalah antara Istanbul menuju Edirne yang di kemudian hari berkembang dan menghubungkan beberapa pusat pemerintahan. Selain pos, dibangun beberapa sarana infrastruktur di bidang transportasi. Hal ini membantu kebijakan komunikasi pemerintahan. Jalan baru kemudian dibangun untuk memperlancar antara Turki dan Eropa.[14]
Berdasarkan penjelasan di atas, maka diantara gerakan pembaharuan yang dilakukan Sultan Mahmud II antara lain:
1.      Pembaharuan di bidang militer. Ia membentuk korps tentara baru yang diberi nama Muallem Eshkinji (pengawal terlatih), yang pelatihnya dikirim dari Mesir oleh Muhammad Ali Pasya. Korps ini sebagai ganti dari Janissari yang dibubarkan karena kekuatannya mulai menurun.
2.      Menerapkan sistem demokrasi dalam pemerintahan. Misalnya, tradisi aristokrat ia langgar dan pakaian-pakaian resmi para pejabat diganti dengan pakaian sederhana.
3.      Menghapus kekultusan sultan yang dianggap sakral oleh rakyat.
4.      Kekuatan sadrazam dihapus dan diganti dengan pardana menteri. Kekuasaan yudikatif yang pada mulanya di tangan sadrazam dipindahkan ke Syekh Islam.
5.      Menghapus hukuman mati yang biasa dilakukan para penguasa terhadap tersangka tanpa melalui prosedur hukum.
6.      Mengadakan pembaharuan di bidang pendidikan dengan memasukkan kurikulum umum ke dalam lembaga pendidikan madrasah.
7.      Mendririkan sekolah kedokteran, kemiliteran dan teknik. Ia juga mengirimkan siswa-siswa untuk belajar ke luar negeri.[15]

B.     Tanzimat

Secara etimologi “tanzimat” berasal dari kata nazhzhama-yunazhzhimu-tanzhimat, yang berarti mengatur, menyusun, dan memperbaiki.[16] Term ini dimaksudkan untuk menggambarkan seluruh gerakan pembaharuan yang terjadi di Turki Usmani pada pertengahan abad ke-19, yaitu penerus usaha-usaha pembaharu yang dilakukan oleh Sultan Mahmud II. Tanzimat atau dalam bahasa Turki Tanzimat-i Khairiye merupakan gerakan pembaharuan di Turki yang diperkenalkan ke dalam sistem birokrasi dan pemerintahan Turki Usmani semenjak pemerintahan Sultan Abd. Majid (1839-1861), putra Sultan Mahmud II, dan Sultan Abd. Aziz (1861-1876).[17]
Gerakan ini ditandai dengan munculnya sejumlah tokoh pembaharuan Turki Usmani yang belajar dari Barat yaitu bidang pemerintahan, hukum, administrasi, pendidikan, keuangan, perdagangan dan sebagainya.[18] Tokoh-tokoh Tanzimat adalah Mustafa Rasyid Pasya, Mustafa Sami Pasya, Mahmed Sadik Rifat Pasya dan Ali Pasya
Munculnya Tanzimat disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya:
1.      Hukum kerajaan usmani tidak  disenangi  oleh  orang-orang  Eropa, Diberlakukannya  hukum  fiqhi  yang  menetapkan  hukuman  mati  bagi  orang-orang Eropa yang murtad setelah masuk Islam yang berada di wilayah Kerajaan
2.      Para  tokoh  Tanzimat  ingin membatasi  kekuasaan  Sultan  Turki  yang absolut. Desakan Eropa  terhadap Kerajaan Usmani  untuk melindungi  orang-orang Eropa yang berada dalam wilayah Kerajaan Usmani.
3.      Absolutisme Sultan dianggap sebagai sebab kemunduran Kerajaan Usmani. Tujuan  era  dan  gerakan  Tanzimat  adalah  memajukan  Kerajaan  Usmani membuat  sistem hukum  resmi yang menjamin kebebasan dan kesamaan hak  rakyat, menciptakan Turki Modern, memberikan  fasilitas  terhadap  perkembangan  ekonomi, dan  mendorong  perkembangan  lembaga-lembaga  kebudayaan  modern.
Dengan demikian, juru bicara Majelis Musyawarah (Mechlis-i Sura) menyatakan bahwa :
1.      Karena  sistem  hukum  lama  sudah  tidak  sesuai  dengan  perkembangan zaman, maka harus diganti dengan Undang-undang.
2.      Undang-undang yang baru itu harus tetap sesuai dengan syariat.
3.      Undang-undang yang baru itu harus didasarkan atas kebebasan, pengakuan atas hak milik dan kehormatan warga negara.
4.      Undang-undang itu harus menciptakan hak antara orang-orang Islam dan rakyat Turki pada umumnya.
Tanzimat  melahirkan  2  (dua)  piagam,  yaitu  Piagam  Gulhane  (Hatt-i  Syerif Gulhane)  dan  Piagam  Humayun  (Hatt-i  Humayun).[19] Piagam  Gulhane  dikeluarkan oleh Sultan Abdul Majid pada tahun 1839, atas pengaruh Mehmed Sadik Rifat Pasya, Piagam  Humayun  diumumkan  pada  tahun  1856  yang  pada  dasarnya  memperkuat Piagam Gulhane.
Dalam  kedua  piagam  ini,  tercakup  tujuan-tujuan  Tanzimat  dan merupakan dasar bagi usaha-usaha pembaharuan di Kerajaan Usmaniah pada zaman Tanzimat dalam berbagai bidang,  seperti bidang pemerintahan, hukum, administrasi, pendidikan, keuangan dan perdagangan.
Adapun tokoh-tokohnya yang terkenal adalah:

a)     Mustafa Rasyid Pasya (1880-1858 M)

Mustafa Rasyid pasya yang dikenal dengan Bayrakdar lahir di Ruschuk, Istambul pada tahun 1800. Ia sering disebut sebagai arsitek pembaharun abad kesembilan belas di Turki. Ayahnya merupakan pejabat Evkaf  yang meninggal ketika berumur sepuluh tahun. Ia memperoleh pelajaran menulis dari ayahnya dan menuntut pelajaran tradisional di masjid-masjid. Meskipun demikian, ia sendiri tidak sempat menyelesaikan pelajarannya di madrasah. Karir birokratisnya ditolong oleh Ispartah Sayyid Ali Pasya, dan pada tahun 1832 ia ditunjuk sebagai Amedi yang memungkinkan dirinya menjadi sekretaris utama menteri luar negeri. Perkenalannya dengan dunia Barat dimulai saat ia diangkat menjadi duta besar di Paris pada tahun 1834. Jabatannya sebagai duta besar memungkinkannya mempelajari bahasa Perancis dan melihat kemajuan yang terjadi di dunai Barat. Ia melihat bahwa peradaban yang ada di Eropa merupakan peradaban yang saling berkesinambungan. Pada masa berikutnya ia diangkat menjadi menteri luar negeri dan sekembalinya dari London untuk sebuah misi khusus, ia mengambil suatu inisiatif untuk mengumumkan suatu pembaharuan yang dikenal dalam sejarah Turki dengan nama Tanzimat.[20]

b)     Mustafa Sami Pasya (wafat 1855 M)

Mustafa Sami Pasya mempunyai banyak pengalaman di luar negeri antara lain di Roma, Wina, Berlin, Brussel, London, Paris dan negara lainnya sebagai pegawai dan duta.
Menurut pendapat Mustafa Sami Pasya, kemajuan bangsa Eropa terletak pada keunggulan mereka dalam lapangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebab lain dilihatnya karena toleransi beragama dan kemampuan orang Eropa melepaskan diri dari ikatan-ikatan agama, disamping itu pula pendidikan universal bagi pria dan wanita, sehingga umumnya orang Eropa pandai membaca dan menulis.[21]

c)      Mehmed Sadek Rifat Pasya (1807-1856)

Pada tahun 1834 Mehmed Sadek menjadi pembantu luar negari. Ia pernah menjadi duta besar di Wina, menteri luar negeri, menteri keuangan, dan ketua dewan Tanzimat. Diantara pemikirannya yang terpenting adalah kemakmuran suatu negara sangat bergantung pada kemakmuran rakyat, kemakmuran rakyat sangat ditentukan oleh adanya rasa aman, sedangkan rasa aman baru dapat diwujudkan dengan menghilangkan sistem pemintahan yang absolut. Oleh karena itu, agar semuanya dapat tercapai, maka diperlukan undang-undang. Lebih jauh ia menjelaskan kesewenang-wenangan pemerintah akan menimbulkan permusuhan dikalangan rakyat. Dalam tulisan-tulisannya, ia banyak mengemukakan kata-kata halk (rakyat), millet (bangsa), huquq (hak-hak), dan hurriyyat (kemerdekaan).[22]
Pemikiran Sadik Rifat sejalan dengan pemikiran Mustafa Rasyid Pasya, yang pada waktu itu mempunyai kedudukan menteri luar negeri. Atas pengaruhnya berhasillah langkah pertama dalam pengadaan undang-undang dan peraturan sebagaimana yang dimaksud oleh Sadim Rifat. Di tahun 1939, Abdul Majid, sultan yang menggantikan Mahmud II, mengeluarkan hatt-i syerif gulhane (piagam gulhane).[23]
Sejak diumumkannya deklarasi tersebut, maka menjadi kewajiban sultan untuk : pertama, menjaga keaman harta milik seluruh warga negara yang berada diwilayah kekuasaan kesultanan Turki, dan karena seluruh pungutan diluar pajak akan segera dihapus. Selain itu akan diperbaharui sistem rekruitmen dalam tubuh angkatan bersenjata. Kedua, seluruh umat beragama, baik muslim maupun non muslim, akan berada dalam kedudukan yang sama di hadapan hukum. Sebagai konsekuensi dari sikap kedua, maka segala bentuk pelanggaran hukum harus diumumkan secara transparan dan keanggotaan majlis yang bertanggung jawab atas pelaksanaan hukum akan ditambah.[24]
Pada tahun 1856 diumumkan lagi satu piagam baru, hatt-i humayun, yang lebih banyak mengandung pembaharuan terhadap kedudukan orang Eropa yang berada dibawah kekeuasaan kerajaan Turki Usmani. Ini tidak mengherankan karena piagam humayun diadakan atas desakan negara-negara Eropa pada kerajaan Usmani yang pada waktu itu telah dalam keadaan lemah dan selalu mengalami kekalahan dalam peperangan.
Dalam pendahuluan piagam ini disebut bahwa tujuannya ialah memperkuat jaminan-jaminan yang terkandung dalam piagam gulhane. Selanjutnya disebut bahwa masyarakat Kristen dan bukan Islam lainnya diperbolehkan mengadakan pembaharuan-pembaharuan yang mereka perlukan dan mendirikan rumah-rumah peribadatan masing-masing, sekolah-sekolah, rumah sakit dan tanah pemakaman. Semua perbedaan yang ditimbulkan oleh perbedaan agama, perbedaan bahasa dan perbedaan bangsa dihapuskan. Kebebasan beragama dijamin dan paksaan merubah agama dilarang. Seluruh rakyat, tanpa pilih bulu dapat menjadi pegawai kerajan usmani.[25]

d)     Ali Pasya (1815-1871)

Beliau lahir pada tahun 1815 di Istambul, anak dari seorang pelayan toko. Dalam usia 14 tahun ia sudah diangkat menjadi pegawai. Tahun 1840 diangkat menjadi duta besar di London dan sebelum menjadi duta besar ia seringkali menjadi staf perwakilan kerajaan Usmani di berbagai negara eropa dan di tahun 1852 ia menggantikan kedudukan Rasyid Pasya sebagai perdana menteri.
Usaha pembaharuannya antara lain, yaitu : tentang pengakuan semua aliran spiritual pada masa itu, jaminan melaksanakan ibadah masing-masing, larangan memfitnah karena agama, suku dan bahasa, jaminan kesempatan belajar, sistem peradilan dan lain-lainnya.
Pembaharuan yang dijalankan di zaman Tanzimat tidak seluruhnya mendapat penghargaan, bahkan mendapat kritik dari kaum intelegensia kerajaan usmani yang ada pada waktu itu. Kritik yang banyak dimajukan terhadap pembaharuan Tanzimat berkisar sekitar hal-hal berikut: Kedua piagam yang menjadi dasar pembaharuan Tanzimat mengandung faham sekularisme dan dengan demikian membawa sekularisasi dan berbagai institusi kemasyarakatan, terutama dalam institusi hukum. Piagam gulhane menyatakan penghargaan tinggi pada syariat tetapi pada waktu itu mengakui perlunya diadakan sistem hukum baru. Hukum baru yang disusun banyak dipengaruhi dari hukum barat, umpamanya hukum pidana dan hukum dagang. Selain dari itu diadakan pula mahkamah-mahkamah yang bersifat sekuler, di samping mahkamah-mahkamah syariah yang lama.[26]

C.     Usmani Muda

Sebagaimana dikatakan bahwa pembaharuan yang diusahakan dalam Tanzimat belumlah mendapat hasil sebagaimana yang diharapkan, bahkan mendapat kritikan-kritikan dari luar kaum cendekiawan. Kegagalan oleh Tanzimat dalam mengganti konstitusi yang absolut merupakan cambuk untuk usaha-usaha selanjutnya. Untuk mengubah kekuasaan absolut maka timbullah usaha atau gerakan dari kaum cendekiawan melanjutkan usaha-usaha Tanzimat. Gerakan ini dikenal dengan youang ottoman-yeni usmanlilar (gerakan usmani muda).[27]
Usmani muda pada awalnya merupakan perkumpulan rahasia yang didirikan di tahun 1865 dengan tujuan untuk merubah pemerintahan absolut kerajaan usmani menjadi pemerintahan konstitusional. Setelah rahasia terbuka pemuka-pemukanya lari ke Eropa di tahun 1867 dan disanalah gerakan mereka memperoleh nama usmani muda. Sebagian mereka kembali ke Istambul setelah Ali Pasya tiada lagi.[28]
Setelah mengalami perjuangan yang berat dengan pemuka-pemuka kerajaan, maka pada tanggal 23 desember 1876 tercapailah persetujuan tentang konstitusi sebagai undang-undang dasar yang baru bagi Turki, akan tetapi isinya masih belum sesuai dengan apa yang diharapkan. Dan akhirnya undang-undang yang baru bagi Turki itu dilanggar juga oleh sultan Abdul Hamid II yakni dengan membubarkan parlemen dan para pemuka-pemukanya ditangkap dan dengan demikian maka berakhirlah riwayat Usmani Muda.
Beberapa tokoh dan para pembaharu dalam gerakan Usmani Muda antara lain sebagai berikut :

a)     Ziya Pasya

Ziya Pasya lahir pada tahun 1825 di Istambul dan meninggal dunia pada tahun 1880. Ia anak seorang pegawai kantor bea cukai di Istambul. Pendidikannya setelah selesai sekolah Sulaymaniye yang didirikan oleh sultan Mahmud II dalam usia muda ia diangkat menjadi pegawai pemerintah, kemudian atas usaha Mustafa Rasyid Pasya pada tahun 1854 ia diterima menjadi salah seorang sekretaris sultan. Untuk keperluan tugas barunya, ia mempelajari bahasa Prancis, dan dalam waktu yang singkat ia menguasainya dan dapat menerjemahkan buku-buku Prancis kedalam bahasa Turki. Karena terjadi kesalah pahaman dengan Ali Pasya maka ia pergi ke eropa pada tahun 1867 dan tinggal disana selam lima tahun.
Usaha-usaha pembaharuannya antara lain kerajaan usmani menurut pendapatnya harus memakai sistem pemerintahan konstitusional, tidak dengan kekuasaan absolut. Meurutnya negara eropa maju disebabkan tidak terdapat lagi pemerintahan yang absolut, semuanya dengan sistem pemerintahan konstitusional. Dalam sistem pemerintahan konstitusional harus ada dewan perwakilan rakyat. Alasan perlu adanya DPR ini agar perbedaan pendapat dapat ditampung dan kritik terhadap pemeritah diperlukan untuk kepentingan pemerintah dan rakyat.

b)     Midat Pasya

Nama lengkapnya Hafidh Ahmad Syafiq Midat Pasya, lahir pada tahun1822 di Istambul. Pendidikan agamanya di peroleh dari ayahnya sendiri. Dalam usia 10 tahun ia telah hafal al-Quran, oleh karena itu ia digelari al-Hafidh. Pendidikannya yang tertinggi adalah pada universitas al-Patih.
Jabatan-jabatan penting yang pernah dipegangnya antara lain : gubernur di Balkan dan Bagdad, selanjutnya menjadi menteri perhakiman pada tahun 1872 dan akhirnya menjadi perdana menteri.
Sebagai tokoh gerakan usmani muda, oleh sahabat seperjuangannya dipercayakan memegang pemerintahan dan sekaligus memperjuangkan cita-cita gerakan itu. Tugas-tugas yang dibebankan kepadanya di laksanakan dengan penuh tanggung jawab, yang meskipun akhirnya diri dan keluarganya menjadi korban perjuangan pada saat perang dengan Rusia. Sultan Abdul Hamid membubarkan parlemen dengan alasan darurat perang, dan menangkap Midat Pasya dan pemimpin-pemimpin usmani muda lainnya dan membuangnya ke luar negari.

c)      Namik Kemal

Namik Kemal lahir di Rhodosto pada 21 desember 1840 dan wafat 2 desember 1888 di Mytilene. Ia adalah seorang penyair utama Turki, tokoh utama Turki modern, dan pencipta bahasa modern dalam sejarah sastra Turki. Karyanya dibidang sastra banyak dipengaruhi oleh Shinasi dengan tokoh utama Ibrahim Shinasi Efendi, sebuah kelompok penyair Turki modern. Pergaulannya dengan Ibrahim Shanusi Efendi akhirnya merobah pola kepenyairannya dari imitasi tradisional menjadi bernafaskan barat. Selain itu, dikemudian hari ia mejadi editor surat kabar berbahasa Turki Taswir Efkar setelah Ibrahim pergi ke Paris tahun 1864. Taswir bertujuan untuk melakukan pencerahan di bidang politik, kesusasteraan dan ilmu pengetahuan bangsa Turki. Akhirnya, ditangannya penerbitan tersebut menjadi surat kabar yang berpengaruh di Turki, yang kemudian hari menjadi tempat menyuarakan aspirasi politik Usmani Muda.[29]
Sebab-sebab kemunduran kerajaan usmani menurutnya terletak pada keadaan ekonomi dan politik yang tidak beres. Jalan pertama yang harus ditempuh untuk memperbaiki keadaan ekonomi dan politik ialah perubahan sistem pemerintahan absolut menjadi pemerintahan yang konstitusional.
Tentang politik ia berpendapat bahwa rakyat sebagai warga negara, mempunyai hak-hak politik yang harus dihormati dan dilindungi negara.
Kedaulatan terletak di tangan rakyat seluruhnya. Negara yang baik menurutnya adalah negara yang memakai kedaulatan rakyat sebagai fondasi dan disamping itu juga menjamin tidak dilanggarnya hak-hak rakyat. Dalam pelaksanaan kedaulatan itu tidak mungkin dijalankan rakyat seluruhnya, maka dibentuklah system perwakilan rakyat. Wakil-wakil rakyat dipilih oleh rakyat dengan melalui berbagai jalan.

BAB III

PENUTUP

A.     Kesimpulan

Berdasarkan uraian pembahasan di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai jawaban dari rumusan masalah. Kesimpulan yang dimaksud sebagai berikut:
1.      Pemabaharuan-pembaharuan yang dilakukan oleh Sultan Mahmud II merupakan landasan atau dasar bagi pemikiran dan usaha pembaharuan selanjutnya. Diantara pembaharuan yang dilakukan oleh Sultan Mahmud II yaitu di bidang militer, internal istana, birokrasi pemerintahan, hukum, dan pendidikan.
2.      Tanzimat adalah gerakan pembaharuan yang terjadi di Turki Usmani pada pertengahan abad ke-19, yaitu penerus usaha-usaha pembaharu yang dilakukan oleh Sultan Mahmud II. Diantara tokoh Tanzimat ialah Mustafa Rasyid pasya, Mustafa Sami, dan Mahmed Sadik Rifat Pasya. Pokok pemikiran pembaharuan Tanzimat banyak dipen garuhi oleh Pemikiran barat. Meskipun demikian, Tanzimat tidak sepenuhnya berhasil terlaksana dalam pemerintahan kerajaan Turki usmani.
3.      Kemudian dilanjutkan dengan pembaharuan Usmani Muda, dimana usaha-usaha pembaharuannya adalah untuk mengubah pemerintahan dengan sistem konstitusional tidak dengan kekuasaan absolut setelah dibubarkannya parlemen dan dihancurkannya Usmani muda. Tokoh-tokoh pembaharu pada zaman ini adalah: Ziya Pasya, Midat Pasya, dan Namik Kemal.

B.     Implikasi

Mudah-mudahan dengan kehadiran makalah ini dapat menambah pengetahuan kita mengenai pembaharuan di Turki khususnya apa yang telah dilahirkan dari Sultan Mahmud II, gerakan Tanzimat dan Usmani Muda. Namun, kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Seperti masih ada pembahasan yang belum kami sampaikan yang terkait dengan materi yang telah ada dalam makalah ini. Hal ini dikarenakan terbatasnya kemampuan penulis. Serta masih ada banyak kekeliruan dan kesalahan. Oleh karena itu, sangat diharapkan adanya kritik dan saran yang membangun atau lainnya demi kesempurnaan makalah ini di masa yang akan datang.      




[1] Fadil SJ., Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintas Sejarah (Cet. I; Malang: UIN-Malang Press, 2008), h. 244-245.
[2] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan  (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), h. 21.
[3] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan , h. 15
[4] Fadil SJ., Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintas Sejarah, h. 242.
[5] Syafiq A. Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Kawasan Turki (Cet. I; Jakarta: Logos, 1997), h.
[6] Syafiq A. Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Kawasan Turki, h. 121.
[7] Yusran Asmuni, PengantarStudi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1998), h. 11-12.
[8] Syafiq A. Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Kawasan Turki, h. 122.
[9] Fadil SJ., Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintas Sejarah, h. 257.
[10] Syafiq A. Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Kawasan Turki, h. 122.
[11] Syafiq A. Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Kawasan Turki, h. 123.
[12] Syafiq A. Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Kawasan Turki, h. 124.
[13] Syafiq A. Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Kawasan Turki, h. 124.
[14] Syafiq A. Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Kawasan Turki, h. 125.
[15] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, h. 90-96.
[16] Lois Ma’luf, Al-Munjid fi> Lugah wa al- A’lam, (Beirut: Da>r al-Masyriq, t.th), h. 818.
[17] Syafiq A. Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Kawasan Turki, h. 126.
[18] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, h. 97.
[19] Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam, hal 211.
[20] Syafiq A. Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Kawasan Turki, h. 127.
[21] Yusran Asmuni, Dirasah Islamiah III, h. 20
[22] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklepedi Islam, h. 63
[23] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, h. 99
[24] Syafiq A Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Turki, h.128
[25] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, h. 101-102
[26] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, h. 103
[27] Yusran Asmuni, Dirasah Islamiah III, h. 21
[28] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, h. 105
[29] Syafiq A. Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Turki, h. 132-133

Popular Posts

Categories

Visitors

Diberdayakan oleh Blogger.