the smooth sea will never give the good sailor

Minggu, 03 Mei 2015

Ibnu Ruysd dan Filsafatnya

A. PENDAHULUAN

Agama Islam merupakan agama universal, dan rahmatan lil alamin. Agama Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah erat kaitannya dengan pertumbuhan masyarakat luas. Dari persentuhan tersebut lahir berbagai disiplin ilmu keislaman seperti: teologi, filsafat, kedokteran, dan tasawuf.
Dalam bidang-bidang ilmu keislaman tersebut, lahirlah para pemikir dan pakarnya, yang pemikirannya masih relevan hingga sekarang, di antaranya adalah Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Bajjah, Al-Ghazali, dan Ibnu Thufail.
Dalam makalah ini akan dibahas seputar Ibnu Rusyd, baik dalam hal biografi mereka, karya, dan pandangan filsafatnya.

B. PEMBAHASAN

I. IBNU RUSYD

a. Biografi Singkat Ibnu Rusyd
Diantara para filosof Islam, Ibnu Rusyd adalah salah seorang yang paling dikenal dunia Barat dan Timur. Nama lengkapnya Abu Al-Walid Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Ahmad Ibnu Rusyd, lahir di Cordova, Andalus pada tahun 520 H/1126 M, sekitar 15 tahun setelah wafatnya Abu Hamid Al-Ghazali. Ia ditulis sebagai satu-satunya filusuf Islam yang tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang semuanya menjadi fuqaha’ dan hakim. Ayahnya dan kakeknya menjadi hakim-hakim agung di Andalusia. Ibnu Rusyd sendiri menjabat hakim di Sevilla dan Cordova pada saat terjadi hubungan politik yang penting antara Andalusia dengan Marakasy, pada masa Khalifah Al-Manshur. Hal itu mencerminkan kecerdasan otak dan ghirah kepada ilmu pengetahuan dalam keluarga ini sudah tumbuh sejak lama yang kemudian semakin sempurna pada diri Ibnu Rusyd. Karena itu, dengan modal dan kondisi ini ia dapat mewarisi sepenuhnya intelektualitas keluarganya dan menguasai berbagai disiplin ilmu yang ada pada masanya.[1]

Ibnu Rusyd mempelajari ilmu Fiqih dari ayahnya, sehingga dalam usianya yang masih muda, Ibnu Rusyd telah hafal kitab Al-Muwatha’ karangan Imam Malik. Di samping itu, ia belajar ilmu kedokteran kepada Abu Ja’far Harun dan Abu Marwan Ibnu Jarbun Al-Balansi, sedangkan logika, filsafat, dan teologi ia peroleh dari Ibnu Thufail.[2]

Dalam pada itu pernah terjadi permusuhan antara Ibnu Rusyd dengan para ahli hukum. Ia dituduh sebagai penganut filsafat yang bertentangan dengan ajaran Islam sehingga ia dipenjara di kota Maroko dan meninggal di sana pada tahun 1198 M.[3]

Di dunia Barat ia disebut dengan Averrois, menurut Sirajuddin Zar, sebutan ini sebenarnya lebih pantas untuk kakeknya. Karena sebutan ini adalah akibat terjadinya metamorfose Yahudi-Spanyol-Latin. Kata Arab Ibnu oleh orang Yahudi diucapkan seperti kata Ibrani Aben, sedangkan dalam standar Latin Rusyd menjadi Rochd. Dengan demikian, nama Ibnu Rusyd menjadi Aben Rochd, maka melalui asimilasi huruf-huruf konsonan dan penambahan sisipan, akhirnya menjadi Averrois. Dari Averrois ini muncul sebuah kelompok pengikut Ibnu Rusyd dalam bidang filsafat yang menamakan diri Averroisme. Dalam bidang ini, Ibnu Rusyd memang membuktikan diri sangat ahli dan terhormat, penjelasan-penjelasannya tentang filsafat dan komentarnya terhadap filsafat Aristoteles dinilai yang paling tepat dan tidak ada tandingannya. Sebab itu ada yang menamakannya sebagai guru kedua, setelah setelah guru pertama Sang Filusuf atau Aristoteles.[4]

b. Pemikiran Filsafat Ibnu Rusyd
Filsafat Ibnu Rusyd sangat dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles. Hal itu wajar, karena ia banyak menghabiskan waktunya meneliti dan membuat komentar-komentar terhadap karya-karya Aristoteles dalam berbagai bidang, sehingga ia digelar Syarih (komentator).[5]

Ibnu Rusyd juga berbicara tentang hubungan antara filsafat dan agama. Baginya tugas filsafat tidak lain dari berpikir tentang wujud untuk mengetahui pencipta semua yang ada dan berpikir itu sebagaimana dinyatakan di dalam ayat-ayat Al-Qur’an sangat dianjurkan.[6]

Ibnu Rusyd juga membahas masalah-masalah yang pernah dipikirkan oleh filusuf-filusuf sebelumnya. Ia tidak menerima begitu saja pikiran-pikiran mereka. Ia mengkritik Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ibnu Bajjah, dan lainnya.

1). Metafisika
Dalam masalah ketuhanan, Ibnu Rusyd berpendapat bahwa Allah adalah Penggerak Pertama. Wujud Allah ialah Esa-Nya. Wujud dan ke-Esa-an tidak berbeda dari zat-Nya. Konsep Ibnu Rusyd tentang ketuhanan jelas sekali merupakan pengaruh Aristoteles, Plotinus, Al-Farabi, dan Ibnu Sina, di samping keyakinan agama Islam yang dipeluknya. Mensifati Tuhan dengan “Esa” merupakan ajaran Islam, tetapi menamakan Tuhan sebagai Penggerak Pertama, tidak pernah dijumpai dalam pemahaman Islam sebelumnya, hanya dijumpai dalam filsafat Aristoteles, Plotinus, Al-Farabi, dan Ibnu Sina.[7]

Menurut Ibnu Rusyd, Islam mengajak kita untuk memperhatikan alam ini dengan akal pikiran, seperti yang terdapat dalam surat al-Hasyr ayat 2 yang menunjukkan atas wajib menggunakan qiyas syar’i dan qiyas ‘aqli.

فَاعْتَبِرُوْا يآولِى الأَبْصَار. الحشر: 2 

Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan.

Ibnu Rusyd juga menerangkan dalil-dalil yang meyakinkan:[8]
1. Dalil Inayah al-Ilahiyah, bahwa alam ini seluruhnya sangat sesuai dengan kehidupan manusia. Persesuaian ini tidak mungkin terjadi secara kebetulan, tetapi menunjukkan adanya pencipta yang sangat bijaksana.
2. Dalil Ikhtira’, yang berarti bahwa segala yang ada di alam ini adalah diciptakan. Segala yang diciptakan harus ada yang menciptakan.
3. Dalil Harokah. Alam semesta ini bergerak dengan suatu gerakan yang tetap. Gerakan tersebut menunjukkan adanya penggerak pertama yang tidak bergerak dan bukan benda, yaitu Tuhan.
Dalil pertama dan kedua disepakati oleh semua pihak sesuai dengan syariat. Adapun dalil ketiga merupakan dalil yang pertama kali dicetuskan oleh Aristoteles yang kemudian dipergunakan oleh Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd sendiri.[9]

2). Kritik Terhadap Al-Ghazali
Ibnu Rusyd hidup dan melontarkan pemikirannya beberapa puluh tahun setelah al-Ghazali wafat. Ia mengkritik pemikiran Al-Ghazali dalam buku Tahafut al-Falasifah tentang permasalahan yang dapat menyebabkan kekafiran. Permasalahan tersebut adalah: Pendapat fulisuf tentang qadimnya alam; Pengetahuan Tuhan; dan tentang kebangkitan jasmani. Ibnu Rusyd menjelaskan kritik dan tanggapannya tersebut dalam buku Tahafut al-Tahafut.

a. Pendapat Filusuf Tentang Qodimnya Alam.
Pendapat para filusuf bahwa alam kekal dalam arti tidak bermula, tidak dapat diterima oleh kalangan teologi Islam, sebab menurut teologi Islam, Tuhan adalah pencipta. Yang dimaksud pencipta adalah mengadakan sesuatu dari tiada. Kalau alam dikatakan tidak bermula, berarti alam bukanlah diciptakan, dengan demikian Tuhan bukanlah pencipta. Pendapat seperti ini membawa kekufuran. Demikian gugatan Al-Ghazali dalam kitabnya Tahaful al-Falasifah.[10]

Ibnu Rusyd berpendapat bahwa penciptaan sesuatu dari tiada tidak mungkin terjadi. Dari yang tidak ada, atau kekosongan tidak mungkin berubah menjadi ada. Yang terjadi ialah “ada” yang berubah menjadi “ada” dalam bentuk lain. Tidak ada ayat yang mengatakan bahwa Tuhan pada mulanya berwujud sendiri, yaitu tidak ada wujud selain dari diri-Nya, dan kemudian barulah dijadikan alam. Untuk memperkuat argumentasinya, Ibnu Rusyd mengutip ayat Al-Qur’an yang berbunyi:

وَهُوَ الَّذِيْ خَلَقَ السَّموَاتِ وَ الأَرْضَ فِيْ سِتَّةِ أَيَّامٍ وَ كَانَ عَرْشُهُ عَلَي الْمَاءِ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً .هود:7

Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah ‘Arsy-Nya di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya.

Ayat ini menurut Ibnu Rusyd mengandung arti bahwa sebelum adanya wujud langit-langit dan bumi, telah ada wujud yang lain, yaitu wujud air yang di atasnya terdapat tahta kekuasaan Tuhan, dan adanya masa sebelum masa diciptakannya langit dan bumi. Tegasnya, sebelum langit dan bumi diciptakan telah ada air, tahta, dan masa.[11]

Kemudian Ibnu Rusyd mengutip lagi ayat yang berbunyi:

أَوَلَمْ يَرَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا أَنَّ السَّموَاتِ وَ الأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَا هُمَا وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كَلَّ شَيْئٍ حَيِّ أَفَلاَ يَؤْمِنُوْنَ .الأنبياء:30

Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman.

Dari ayat-ayat di atas dapat di tarik kesimpulan bahwa sebelum bumi dan langit dijadikan, telah ada benda lain. Dalam sebagian ayat benda itu diberi nama air, dan uap. Selanjutnya dapat pula ditarik kesimpulan bahwa bumi dan langit dijadikan dari sesuatu yang ada, bukan dijadikan dari tiada.[12]

Ibnu Rusyd berpendapat bahwa benar ada penciptaan, dan alam ini memerlukan tenaga penggerak, namun penciptaan itu diwujudkan terus-menerus. Dengan kata lain alam ini kekal. Semua bagian alam berubah dalam bentuk baru, menggantikan bentuk lama. Pencipta aktif yang terus-menerus mencipta inilah menurut Ibnu Rusyd yang patut disebut pencipta, dibanding dengan pencipta yang penciptaannya sekali dilakukan dan selesai.[13]

Lebih jauh mengenai keabadian alam, Ibnu Rusyd membedakan dua macam keabadian, keabadian dengan sebab dan keabadian tanpa sebab. Penggerak atau perantara itulah yang menjadi sebab abadinya alam, seperti abadinya penggerak itu sendiri. Hanya Tuhan yang abadi tanpa sebab, sedangkan alam menjadi abadi tetapi dengan adanya sebab atau perantara.[14]

b. Pendapat Filusuf Tentang Pengetahuan Tuhan
Permasalahan selanjutnya yang digugat oleh Al-Ghazali adalah masalah Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam.
Kalau Al-Ghazali mengatakan, menurut para filusuf, Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam, maka Ibnu Rusyd menjawab, Al-Ghazali dalam hal ini salah paham, sebab para filusuf tidak ada yang pernah mengatakan demikian, yang ada ialah pendapat mereka bahwa pengetahuan tentang perincian yang terjadi di alam tidak sama dengan pengetahuan manusia tentang perincian itu.[15]

Menurut Ibnu Rusyd, para filsuf tidak mempersoalkan apakah Tuhan mengetahui hal-hal yang bersifat juz’i yang terdapat di alam semesta ini atau tidak mengetahuinya. Persoalannya adalah bagaimana Tuhan mengetahui yang juz’i tersebut. Cara Tuhan mengetahui yang juz’iyat berbeda dengan cara manusia mengetahuinya. Pengetahuan manusia kepada juz’iyat merupakan efek dari objek yang telah diketahui, yang tercipta bersamaan dengan terciptanya objek tersebut serta berubah bersama perubahannya. Sedangkan pengetahuan Tuhan merupakan kebalikannya, pengetahuan-Nya merupakan sebab bagi obyek yang diketahui-Nya. Artinya, pengetahuan Tuhan bersifat qadim, yakni semenjak azali Tuhan mengetahui yang juz’i tersebut, bahkan sejak sebelum yang juz’i berwujud seperti wujud saat ini.[16]

Tuhan juga mengetahui apa-apa yang terjadi dan sesuatu yang telah terjadi. Pengetahuan Tuhan tidak dibatasi oleh waktu yang telah lampau, sekarang, dan akan dating. Meskipun demikian, pengetahuan Tuhan tidak dapat diberi sifat kulliyah dan juziyyah, sebab kedua sifat itu merupakan kategori-kategori manusia, bukan merupakan kategori Ilahi. Sebenarnya bentuk pengetahuan Tuhan tidak dapat diketahui kecuali oleh Tuhan sendiri.[17]

c. Pendapat Filusuf Tentang Kebangkitan Jasmani
Masalah ketiga yang digugat oleh Al-Ghazali dan dianggapnya dapat membawa kepada kekafiran ialah pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani di akhirat oleh para filusuf.
Menurut Ibnu Rusyd, filusuf mengakui tentang adanya kebangkitan di akhirat, tetapi mereka berbeda interpretasi mengenai bentuknya. Ada yang mengatakan bahwa yang akan dibangkitkan hanya rohani saja, dan ada yang mengatakan jasmani dan rohani. Namun yang pasti, kehidupan di akhirat tidak sama dengan kehidupan di dunia ini. Jadi, para filusuf tidak berpendapat seperti yang dituduhkan Al-Ghazali bahwa filusuf hanya berpaham bahwa kebangkitan hanya bersifat rohani.[18]

Meskipun Ibnu Rusyd cenderung berpendapat bahwa kebangkitan di akhirat nanti dalam wujud ruhani saja, ia tidak menafikan kemungkinan kebangkitan jasmani bersama-sama ruhani. Kalaupun kebangkitan ukhrawi tersebut dalam bentuk fisik, dimana ruh-ruh akan menyatu kembali dengan jasad sebagaimana keadaannya semula di dunia, tetapi jasad tersebut bukanlah jasad yang ada di dunia itu sendiri, sebab jasad yang ada di dunia telah hancur dan lenyap disebabkan kematian, sedangkan yang telah hancur mustahil dapat kembali seperti semula.[19]

Menurut para filusuf, unsur-unsur fisik manusia yang telah mati akan diproses oleh alam. Proses panjang alam tersebut tidak menutup kemungkinan merubah unsur pertama menjadi bagian dari fisik manusia yang lain. Dengan demikian, jika kebangkitan ukhrawi manusia yang dibangkitkan dalam bentuk fisiknya yang semula, maka terdapat kemungkinan manusia yang dibangkitkan memiliki bentuk fisik yang tidak sempurna.[20]

Sungguhpun demikian, Ibnu Rusyd berpendapat bahwa bagi orang awam, soal pembangkitan itu perlu digambarkan dalam bentuk jasmani, dan tidak hanya dalam bentuk ruhani, karena pembangkitan jasmani lebih mendorong bagi kaum awam untuk melakukan perbuatan baik dan meninggalkan perbuatan jahat.[21]

3). Averroisme
Ketika pembuangan Ibnu Rusyd ke Lucena, ia disambut oleh murid-muridnya, seperti Maimunides dan Josef Benjehovan yang beragama Yahudi. Dengan demikian, kegiatan menulis dan mengajar Ibnu Rusyd tetap berlangsung. Karena itu, tidak mengherankan pada waktu pembakaran buku-buku Ibnu Rusyd yang musnah adalah dalam bahasa aslinya (Arab), dalam waktu singkat, di beberapa tempat di Eropa muncul karya-karya Ibnu Rusyd dalam bahasa Latin dan Hebrew (Yahudi).[22]

Penerimaan pemikiran Ibnu Rusyd di Eropa terbagi kepada dua kelompok, yaitu kelompok yang menentang pemikiran-pemikiran Ibnu Rusyd, dalam hal ini golongan gereja; dan kelompok yang mendukung pemikiran Ibnu Rusyd yang dipelopori oleh para ilmuan.[23]

Suasana pertentang ini menjurus pada semakin maraknya perbincangan filsafat Ibnu Rusyd pada abad XIII, sehingga lahir kelompok yang menamakan diri mereka dengan al-Rasyidiyin al-Latiniyin.[24]

Larangan Gereja tidak mempan menghalangi kaum intelektual untuk terus mengembangkan paham filsafat, terutama paham Ibnu Rusyd di Eropa. Dari sini muncullah sekelompok intelektual yang bersemangat menjadikan Ibnu Rusyd sebagai guru pertama (al-mua’allim al-awwal). Mereka ini dipimpin Hermanus Allemanus (pada masa 1240-1260 M) yang mendirikan aliran Averroisme. Walaupun Averroisme dilarang oleh gereja, tetapi pengikut-pengikutnya tetap setia dan tidak habis-habisnya.[25]

c. Karya Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd banyak menulis di bidang fiqih, kedokteran, ilmu falak, filsafat, dan lain-lain. Karyanya yang paling berpengaruh di Barat adalah ‘Averroism’ yang berisi komentarnya atas karya-karya Aristoteles, bukan saja dalam bidang filsafat, namun juga dalam bidang ilmu jiwa, fisika, logika, dan akhlak. Manuskrip-manuskrip Arabnya sudah tidak ada, namun masih terdapat terjemahan-terjemanannya dalam bahasa Latin dan Ibrani. Karya-karyanya yang lain adalah:[26]
1). Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid fi al-Fiqh.
2). Kitad al-Kulliyat fi al-Thib.
3). Tahafut al-Tahafut, yang merupakan sanggahan terhadap kitab Al-Ghazali.
4). Al-Kasyf’an Manahij al-Adillah fi ‘Aqaid al-Millah.
5). Fashl al-Maqal fima bain al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-Ittishal, merupakan kajian teologi yang mencoba mempertemukan agama dengan filsafat.
6). Dhamimah li Masalah al-Qadim.
7). Talkhis Kitab An-Nafs, bidang Psikologi.
8). Al-Jamhuriyyah Wa Al-Ahkam dalam bidang politik yang menguraikan gagasan pemikiran secara demokratik yang tidak memisahkan antara agama da politik.
9). Jawami' Saisati Aflaton.

Jumat, 01 Mei 2015

Ibnu Thufail dan Filsafatnya

A.   Pendahuluan
Pemikiran seseorang tidak akan lepas dari pengaruh zaman dan tempat dimana orang itu berada. Pengaruh zaman dan tempat itu akan memberikan ciri khas atau corak dari pemikiran itu sendiri.
Demikian pula dalam sejarah filsafat. Meskipun pada dasarnya sumber filsafat adalah satu yaitu rasio, namun, tidak pelak pemikiran filosofis dari para filosof memiliki ciri dan karakter yang berbeda. Dapat kita lihat bahwa telah terjadi perbedaan yang cukup signifikan antara pemikiran Al Ghazali dengan Ibnu Rusyd.

Makalah ini secara spesifik ingin mengetahui ciri atau corak pemikiran salah satu filosof muslim yang terkenal dengan roman filosofisnya: Hayy ibn Yaqzhan. Adalah ibnu Thufail, seorang filosof muslim yang hidup pada masa khalifah Abu Ya’kub Yusuf, Dinasti Al Muwahhid Spanyol.
Penulis berharap, adanya makalah yang singkat ini dapat memberikan pengetahuan dan pencerahan bagi kita semua. Amin.

B.   Pembahasan
1.   Riwayat hidup dan karyanya
Nama lengkap Ibnu tufail adalah Abu Bakar Muhammad ibnu Abd Al Malik Ibnu Muhammad ibnu Muhammad Ibnu Tufail. Lahir di Cadix, provinsi Grada sepanyol pada tahun 506/1110 M. Ia termasuk dalam keluarga suku Arab terkemuka, Qais. Dalam bahasa lain ia terkenal dengan Abu Bacer.[1]

Sebagaimana Filosof Muslim di masanya, Ibnu Tufail memiliki disiplin ilmu dalam berbagai bidang.[2] Selain terkenal sebagai filosof muslim yang gemar menuangkan pemikirannya dalam kisah-kisah ajaib dan penuh dengan kebenaran, ia juga seorang dokter, ahli matematika dan kesusastraan (penyair) dari dinasti Al-Muwahhid Spanyol. Ia memulai kariernya sebagai dokter praktik di Granada.

Lewat ketenarannya sebgai dokter ia diangkat menjadi sekretaris gubernur di provinsi itu. Kemudian, Ibnu Thufail menjadi sekretaris pribadi Gubernur Cueta (Arab: Sabtah) dan Tangier (Arab : Thanjah / Latin : Tanger) oleh putra Al Mukmin, penguasa Al Muwahhid Spanyol. Selanjutnya menjadi dokter pemerintah dan sekaligus menjadi qadhi.[3]

Pada masa Kholifah Abu Ya’kub, Ibnu Thufail mempunyai pengaruh yang besar dalam pemerintahan. Disisi lain, khlaifah sendiri memang seorang pecinta ilmu pengetahuan dan secara khusus adalah peminat filsafat dan memberi kebebasan[4]. Dari sini dapat kita pahami bahwa transformasi filsafat dan keilmuan Ibnu Thufail dapat dilakukan  dengan mudah. Sikapnya itu menjadikan pemerintahannya sebagai pemuka pikiran filosofis dan membuat spanyol seperti apa yang dikatakan R. Briffault, yang dikutib Bakhtiar Husain Siddiqi dalam bukunya A History of Muslim Philosophy sebagai “tempat kelahiran kembali negeri eropa”. Posisi ibnu Thufail disini adalah pakar dalam pemikiran filosofis dan ilmiah.[5]

Adapun Karier Ibnu Thufail sebagai dokter berakhir pada tahun 587/1182 hijriah karena usianya yang sudah lanjut. Dan ia menganjurkan kepada khalifah supaya muridnya, Ibnu Rusyd menggantikan kedudukannya. Khalifah meluluskan permintaannya dan langsung mengangkat Ibnu Rusyd sebagai dokter istana.[6] Tapi dia tetap mendapatkan penghargaan dari Abu Yaqub dan setelah dia meninggal pada tahun 581 H / 1185 M) di Marakesh (Maroko) dan dimakamkan disana, Al-Mansur sendiri hadir dalam upacara pemakamannya.[7]

Adapun mengenai karya-karyanya, Buku-buku biografi menyebut bahwa karangan ibnu Thufail menyangkut beberapa lapangan filsafat, seperti filsafat fisika, metafisika, kejiwaan dan lain sebagainya, disamping surat-surat yang dikirimkan kepada Ibnu Rusyd. Namun karangan-karangan itu tidak sampai kepada kita kecuali risalah Hayy bin Yaqadhan yang merupakan intisari pemikiran filsafat Ibnu Thufail.[8]

Risalah ini ditulis atas permintaan salah seorang kawannya untuk mengintisarikan filsafat timur. Karya ini merupakan suatu kreasi yang unik dari pemikiran filsafatnya. Sebelumnya, judul ini telah diberikan oleh ibnu Sina kepada salah satu bukunya. Demikian juga nama tokoh dalam cerita itu. Bahkan, sebelum Ibnu Sina, kisah ini sudah ada seperti kisah arab kuno, hunain ibnu Ishaq, Salman dan Absal, Ibnu Arabi. Namun, ibnu Thufail berhasil menjadikan kisah ini menjadi kisah roman filosofis yang unik.[9]

Keunikan itu terlihat pada ketajaman filosofisnya yang menandai kebaharuan kisah tersebut. Kisah ini merupakan kisah paling asli dan indah pada abad pertngahan. Terbukti, baku ini telah diterjemahkan kedalam beberapa bahasa seperti, Ibrani, Latin, Ingrgris, Belanda, Prancis, Spanyol, Jerman dan lain-lain.[10]

2.   Filsafat Ibnu Tufail
Filsafat ibnu Thufail merupakan pemikiran yang baru dalam filsafat islam yang belum pernah dilakukan para filosof muslim sebelumnya. Terutama dalam hal pembuktian adanya tuhan. Penjabaran yang diberikan ibnu Thufail cukup gamlang dan dapat dipahami oleh nsemua golongan orang. Berbeda dengan Ibnu Sina. Pembagian wajib al wujud min ghairih dan mumkin al wujud bi dzatihi, seperti yang dikatakan Prof. Dr. H . Sirajudin Zar, yang dikutib dari Muhammad Athif Al Iraqiy, agak membingungkan. Karena dalam konsep Wajib ada unsur mumkin.[11]

Secara umum, pemikiran filsafat ibnu Thufail dapat kita lihat dalam karyanya: Hay Ibnu Yaqhan. Roman Filsafat itu menggambarakan orang yang mempunyai akal fikiran sebagai fitroh bagi setiap manusia. Absal merupakan orang yang berilmu dan beragama islam, dimana ilmunya telah dilengkapi dengakan wahyu. Sedangkan salman menggambarkan tentang masyarakat[12]

Sebagaimana diketahui, Ibnu Thufail tidak merasa puas dengan filsafat Al Ghazali untuk mencari kebahagiaan dan kebenaran tuhan, tetapi lebih cendrung kepada perenungan fikiran sebagaimana dilakukan Al Farabi. Ibnu Thufail termasuk pengikut aliran Kontemplatif filsafat arab yang disebut isyrok, suatu teori neo platonisme kuno dan dekat dengan aspirasinya kepada mistik modern.[13]

Sebagaimana dikutip oleh Muslim Ishak dalam buku Tokoh-tokoh Filsafat Islam Dari Barat, Filsafat Kontemplatif Ibnu Thufail tidak didasarkan atas exsaltasi mistik, tetapi atas suatu mode yang mana intuisi digabungkan dengan pencarian akal. Hal ini dapat dilihat sebagaimana dalam kisah Hay, dimana, akal memiliki perkembangan yang berngsur-angsur dan berturut-turut dari seseorang yang tidak mendapat asupan pendidikan dari luar.

1.    Metafisika (Ketuhanan)
Seperti para filosof sebelumnya, ibnu Thufail memulai filsafatnya dengan filsafat ketuhanan. Dalam membuktikan adanya tuhan ibnu Thufail mengemukakan tiga argument sebagai berikut:[14]

a.    Argumen Gerak
Gerak alam menjadi bukti adanya Allah. Baik bagi orang yang meyakini alam baharu maupun bagi orang yang yang meyakini alam kadim. Bagi orang yang meyakini alam itu baharu, gerak alam berarti dari ketiadaan hingga alam itu ada (diciptakan). Oleh karena itu, keberadaan alam dari ketiadaan itu mestilah membutuhkan pencipta yaitu Allah. Sementara bagi orang yang mengatakan bahwa alam itu kadim, gerak alam berarti tidak berawal dan tidak berakhir. Karena zaman tidak mendahuluinya, arti gerak ini tidak didahului oleh diam. Disini, penggerak alam (Allah) berfungsi mengubah materi dari alam potensial ke actual. Mengubah dari satu bentuk kebentuk yang lain.[15]
Sirajuddin Zar dalam buku filsafat islam, Filosof dan filsafatnya mengatakan, inilah letak keistimewaan argumen gerak ibnu thufail, yakni dapat dipahami oleh semua golongan. Dengan argumen diatas, secara tidak langsung, Ibnu Thufail memperkuat argumentasi bahwa tanpa wahyu akal dapat mengetahui adanya Allah.

b.    Argumen Materi
Argumen gerak Ibnu Thufail juga digunakan untuk mebuktikan adanya tuhan. Argumen ini didasarkan pada ilmu fisika yang masih ada korelasinya dengan argumen yang pertama (al harakat). Hal ini dikemukakan Ibnu Thufail dalam kelompok pikiran yang terkait satu sama lain yakni, segala yang ada tersusun dari materi dan bentuk, setiap materi membutuhkan bentuk, bentuk tidak mungkin bereksistensi penggerak dan segala yang ada untuk bereksistensi membutuhkan pencipta.
Bagi yang meyakini alam itu kadim, pencipta ini berfungsi mengeksistensikan wujud dari suatu bentuk ke bentuk yang lain. Sementara bagi yang meyakini alam itu baru, pencipta berfungsi menciptakan dari ketiadaan menjadi ada. Pencipta disini, merupakan ilat (sebab) dan alam merupakan ma’lul (akibat).

c.     Argumen Alghaiyyat dan Al-inayat al ilahiyat
Argumen ini sebenarnya pernah dikemukakan oleh Ibnu Sina. Tiga sebab yang dikemukakan oleh aristoteles yaitu materi, bentuk dan pencipta. Ibnu sina melengkapinya dengan ilat al ghaliyat, sebab tujuan.

Menurut Ibnu Thufail, bahwa segala yang ada di alam ini memiliki tujuan. Tertentu. Ini merupakan inayah dari Allah. Ibnu thufail yang berpegang pada argument ini sesuai dengan Al qur’an, menolak bahwa alam diciptakan secara kebetulan. Alam ini, masih menurut ibnu Thufail, sangat rapi dan sangat teratur. Semua planet, begitu juga jenis hewan dan anggota tubuh pada manusia memiliki tujuan tertentu. Demikian tiga argument yang dikemukakan Ibnu Thufail.

Adapun mengenai Dzat Allah, Ibnu Thufail sependapat dengan kaum Mu’tazilah sifat-sifat Allah yang maha sempurna tidak berlainan dengan Dzat-Nya. Allah berkuasa bukan dengan sifat ilmu dan kudrat yang dimiliki. Melainkan dengan Dzat Allah itu Sendiri.

2.    Fisika
Pada pembahasan sebelumnya telah disinggung mengenai golongan yang mengakui bahwa alam itu baru atau mereka yang mengakui alam itu kadim. Mengenai alam ini, Ibnu Thuifail merupakan penganut keduanya. Ia mempercayai bahwa alam itu baharu sekaligus alam itu kadim. Alam itu kadim, menurut Ibnu Thufail, karena ia diciptakan sejak azali, tanpa di dahului zaman. Alam disebut baru karena ia membutuhkan dan bergantung pada  Dzat Allah.[16]

Ibnu Thufail mencontohkan, ketika seseorang menggenggam suatu benda, kemudian ia gerakkan benda tersebut, maka benda itu mesti bergerak mengikuti gerak tangan orang tersebut. Gerakan benda tersebut tidak terlambat dari segi zaman dan hanya terlambat dari segi zat. Demikian alam ini, keseluruhan merupakan akibat dan diciptakan Allah tanpa zaman.[17]

3.    Jiwa
Jiwa menurut Ibnu Thufail adalah makhluk yang tertinggi martabatnya. Manusia Terdiri dari dua Unsur yakni jasad dan roh (al-madat al ruh). Badan tersusun dari unsur-unsur sedangkan jiwa tidak. Jiwa bukan jisim dan bukan pula sesuatu yang ada didalam jisim. Setelah badan hancur atau mengalami kematian, jiwa lepas dari badan, dan selanjutnya jiwa yang pernah mengenal Allah yang berada di dalam jasad akan hidup dan kekal.[18]

Jiwa terdiri dari tiga tingkat: jiwa tumbuhan (an-nafs al nabawiyat), jiwa jiwa hewan dan jiwa manusia.[19] Ketiga jiwa tersebut merupakan sebuah tingkatan dari yang terendah hingga tertinggi yaitu jiwa manusia. Dalam menjabarkan hal ini, Ibnu Thufail kemudian mengelompokkan jiwa hubungannya dengan Allah kedalam tiga golongan:
a.       Jiwa yang sebelum mengalami kematian jasad telah mengenal Allah, mengagumi kebesaran dan keagungannya, dan selu ingat kepadanya, maka jiwa seperti ini akan kekal dalam kebahagiaan.
b.      Jiwa yang mengenal Allah Namun bermaksiat, akan abadi dalam kesensaraan.
c.       Jiwa yang tidak mengenal allah sealam Hidupnya, akan berakhir seperti hewan.

Dalam hal ini, Sirajudin Zar dalam buku Filsafat Islam berkomentar:
“Agaknya Ibnu Thufail meletakkan tanggung jawab manusia dihadapan Allah atas dasar pengetahuannya tentang Allah. Orang yang tahu kepada Allah dan menjalankan kebaikan, akan kekal dalam kebahagiaan”.

4.    Epistimologi
Ibnu Thufail mengatakan, seperti tersirat dalam kisah Hay Ibnu Yaqdan, Bahwa makrifat dimulai dari panca indra. Hal yang bersifat metafisis dapat diketahui dengan akal dan intuisi. Makrifat dapat dilakukan dengan dua cara: pemikiran atau renungan akal seperti yang dilakukan filosof muslim; dan tasawuf seperti yang dilakukan oleh kaum sufi.[20]kesesuaian antara nalar dan intuisilah yang membentuk epistimologi Ibnu Thufail.

Menurut Ibnu Thufail, Ma’rifat dengan tasawuf dapat dilakukan dengan latihan-latihan rohani dengan penuh kesungguhan. Semakin tinggi latihan itu, maka semakin jelas dan hakikat semakin tersingkap.

5.    Rekonsiliasi antara Filsafat dan Agama
Hubungan filsafat dan agama yang dikemukakan oleh Ibnu Tufail adalah filsafat sebagai bagian kebenaran yang esoteris hanya diperuntukkan bagi orang-orang terbatas yang memiliki kemampuan untuk memahami pengetahuan-pengetahuan murni. Semantara masyarakat kebanyakan cukup dengan agama dalam makna literalnya. Agama dalam pengertian seperti ini diperuntukkan bagi semua orang, tetapi filsafat hanya bagi orang-orang yang berbakat yang sedikit jumlahnya. Agama diperuntukkkan bagi orang-orang awam karna mereka tidak memiliki kemampuan untuk keluar dari sebatas penjelasan-penjelasan lahiriah agama.[21]

3.   Kisah Hay bin Yaqadhan
Kisah Hay merupakan cara khusus yang dipakai oleh Ibnu Thufail untuk menjelaskan filsafatnya. Sebagaimana dikatakan dimuka, penulisan kisah ini merupakan jawaban atas permintaan temannya yang ingin mengetahui hikmah ketimuran. Adapun ringkasan kisah tersebut sebagai mana ditulis oleh Ahmad hanafi dalam bukunya Pengantar Filsafat Islam sebagai berikut:

Seorang anak tinggal di sebuah pulau[22] yaitu Hayy ibn Yaqadhan, ia disusui dan di asuh oleh seokor rusa[23]. Ketika sudah besar ia mempunyai hasrat yang kuat untuk mengetahui dan menyelidiki tentang sesuatu yang tidak dapat dimengerti olehnya. Ia menyadari hewan-hewan mempunyai pakain alami dan alat pertahan bagi dirinya, sedang ia telanjang dan tidak bersenjata. Oleh karena itu, ia menutup dirinya pertama-tama denga kulit hewan yang telah mati serta memakai tongkat sebagai alat pertahanan diri. Lambat laun ia mengenal kebutuhan hidup yang lain, mengetahui cara memakai api, manfaat bulu, tahu menenun dan akhirnya membangun gubuk sebagai tempat berteduhnya.

Dalam pada itu rusa pengasuhnya semakin lama semakin tua dan akhirnya mati. Pikiran manusia yang serba hedak ingin tahu itu, ingin mengetahui sebab terjadinya perubahan besar pada rusa itu. untuk itu ia membedah salah satu bagian tubuh dari hewan tersebut, dan dengan cermatnya ia menyelidiki bagian bagia tubuhnya. Kemudian ia berkesimpulan bahwa jantung merupakan pusat bagi anggota tubuh.[24]

Sesudah itu ia mempelajari bahan-bahan logam, tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan yang terdapat di pulau kediamannya, mempelajari suara yang bermacam-macam dan menirukannya pula. Kemudian ia mempelajari gejala-gejala di angkasa, dan karena tertarik oleh keragaman yang terdapat pada alam maka ia berusaha untuk menemukan keseragaman pada kesemuanya.

Akhirnya ia memastikan bahwa dibalik keanekaragman itu tentu ada keseragaman dan kekuatan yang tersembunyi dan ganjil, suci dan tidak terlihat. Ia menyebutnya “sebab pertama atau pencipta dunia”. Kemudian ia merenungkan dirinya sendiri dan alat yang dipakai untuk memperoleh pengetahuan. Kemudian arah penyelidikannya berubah menjadi perenungan terhadap dirinya sendiri. akhirnya ia menemukan unsur-unsur pertama atau substansi pertama, susunannya, benda, bentuk,  dan akhirnya jiwa dan keabadiannya.

Dengan memperhatikan aliran air dan menyusuri sumbernya sampai kepada suatu sumber air yang memamcar dan melimpah sebagai sungai, maka ia terbimbing untuk mengatakan bahwa manusia juga mesti mempunyai suatu sumber bersama.

Selanjutnya ia merenungkan tentang langit, gerakan bintang-bintang, peredaran bulan dan pengaruhnya atas bumi. Ia kemudian menemukan garis pemikirannya sendiri dan menjahui pembunuhan hewan-hewan, kemudian ia sudah puas dengan makan buah-buahan yang masak dan tumbuh-tumbuhan dan hanya dalam keadaan terpaksa ia memakan daging hewan.

Dari sini ia beralih dari hanya sekedar pengamat alam menjadi sorang yang mencari tuhan, dan sebagai ganti dari mencari pengetahuan dengan mengetahui dalil-dalil dan kesimpulan logika, atau dengan perkataan lain, pengetahuan obyektif, kemudian ia tenggelam dalam perenungan rohani. Ia memandang keseluruhan alam semesta sebagai pantulan (refleksi) dari satu tuhan, dan selanjutnya ia senang melakukan ekstasi (semedi).[25]

Didekat pulau yang didiaminya itu, terdapat suatu pulau lain dan seorang pandai yang bernama Absal yang secara kebutulan berkunjung kepulau tempat kediaman Hay. Ia bertemu dengan Hay dan mengajarkan bahsa kepadanya.

Melaui informasi yang diperoleh dari Absal, Hay menyadari bahwa metode filsafi yang ia miliki telah membawa dirinya ke tingkat ma’rifat yang sejalan dengan ajaran agama. Ia pun tahu bahwa orang yang membawa keterangan-keterangan dan ucapan yang benar itu adalah Rosul dan ia percaya kepadanya dan mengakui kerasulannya. Sebaliknya Hay juga menjelaskan pengalamannya dengan Allah kepada Absal.[26]

Ketika keduanya mebandingkan pikirannya, dimana yang satu belajar dari alam, dan yang satunya adalah filosofis dan pemeluk agama, ternyata keduanya memiliki simpulan yang sama.
Dari Ringkasan cerita tersebut sebenarnya Ibnu Thufail ingin mengemukakan kebenaran-kebenaran. Adapun kebenaran yang dimaksud sebagaimana disimpulkan oleh Nadhim al-Jisr dalam buku Qissat al Imam yang juga dikutib Ahmad Hanafi dalam buku Pengantar Filsafat Islam yaitu:
1.      Urutan Tangga Makrifat yan ditempuh oleh akal dimulai dari obyek indrawi yang khusus kepada pikiran universal.
2.      Tanpa pengajaran dan tanpa petunjuk, akal manusia dapat mengetahui tanda-tanda pada makhluknya dan menegakkan dalil-dalil atas wujudnya.
3.      Akal manusia kadang-kadang mengalami ketumpulan dan ketidakmampuan dalam mengemukakan dalil-dalil pikiran, yaitu ketika hendak ingin menggambarkan keazalian mutlak, ketidak-akhir-an, zaman qadim, hudus dan dalil yang sejenis dengan itu.
4.      Baik Akan menguatkan qadimnya alam atau baharunya, namun kelanjutan dari kepercayaan tersebut adalah satu juga yaitu tuhan.
5.      Manusia dengan akalnya sanggup menemukan dasar-dasar keutamaan dan dasar-dasar akhlak yang bersifat amali dan kemasyarakatan, serta berhiaskan diri dengan keutamaan-keutamaan dasar akhlak tersebut, disamping menundukkan keinginan-keinginan badan pada hukum pikiran, tanpa ,melalaikan hak badan atau meninggalkan sama sekali.
6.      Apa yang diperintahkan oleh syariat islamdan apa yang diketahui oleh akal yang sehat dengan sendirinya, berupa kebenaran, kebaikan dan keindahan dapat bertemu kedua-duanya dalam satu titik, tanpa dipersilisihkan lagi.
7.      Pokok dari semua hikmah ialah apa yang ditetapkan oleh syara’ yaitu mengarahkan pembicaraan kepada orang lain menurut kesanggupan akalnya, tanpa membuka kebenaran dan rahasia-rahasia filsafat kepada mereka. Juga pangkal dari segala kebaikan ialah menetapi batas-batas syara’ dan meninggalkan pendalaman sesuatu.

C.   Kesimpulan

Dari beberapa pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa:
1.    Ibnu Thufail Merupakan salah seorang filosof muslim yang memiliki corak pemikiran yang berbeda yang tidak dimiliki oleh filosof sebelumnya. Hal ini dapat dilihat dari corak filsafatnya, terutama dalam membuktikan eksistensi tuhan
2.    Dalam berfilsafat, meskipun Ibnu Thufail mengakui bahwa tanpa wahyu akal bisa mencapai tuhan, Ibnu Thufail tidak menafikan wahyiu sebagai salah satu sumber pengetahuan tidak menuhankan akal secara mutlak. Ia masih mengakui adanya peran wahyu.
3.    Keselarasan antara peran akal dan wahyu merupakan inti dari filsafat Ibnu Thufail



Daftar Bacaan
Sirajuddin Zar (Filsafat Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007)
Mustofa, Filsafat Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997, h. 272
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990) hal. 161
Muslim Ishak, Tokoh-tokoh Filsafat Islam Dari Barat, (Bina Ilmu: surabaya), hal. 40.
Ahmad Zainul Hamdi, Tujuh filsuf Muslim pembuka Pintu Gerbang Filsafat Barat dan Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004), hal 179.


[1] Sirajuddin Zar (Filsafat Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007) hal. 205) dikutip dari Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid II, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1985) hal. 55
[2] Ibid.
[3] ibid
[4] ibid
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Mustofa, Filsafat Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997, h. 272
[8] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990) hal. 161
[9] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007) hal. 207
[10] Ibid
[11] Penjelasan Lebih lengkap, lihat Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007) hal. 98
[12] Muslim Ishak, Tokoh-tokoh Filsafat Islam Dari Barat, (Bina Ilmu: surabaya), hal. 40.
[13] Ibid
[14] Op, cit, hal. 212
[15] Ibid. dikutip dari Al Iraqy, Al Mitafisika, hal 128
[16] Ibid hal. 216
[17] Ibid
[18] Ibid 217
[19] Ibid. dikutip dari Al Iraqy, Al Mitafiziqa, hal. 91.
[20] Ibid. 218
[21] Ahmad Zainul Hamdi, Tujuh filsuf Muslim pembuka Pintu Gerbang Filsafat Barat dan Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004), hal 179.
[22] Ada yang meneyebut kepulawan India. Pulau terpencil dan beriklim sedang, terletak di garis katulistiwa yang oleh harus nasution di sebut pulau indonesia. Lih. Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007) hal. 209.
[23] Hay adalah bayi yang terlahir cecara alamiah, tidak memiliki ayah dan ibu. Namun, dalam versi lain disebutkan bahwa ada seorang perempuan yang kawin rahasia dengan sorang laki-laki. Dari perkawinan itu ia melahirkan bayi laki-laki. Karena takut kepada kakaknya yang menjadi raja ditempatnya, perempuan itu memasukkannya kedalam peti dan melemparkannya ke laut. Dengan hempasan ombak, peti itu tersangkut disebuah pulau terpencil yang tak berpenghuni. Seekor rusa yang anaknya baru saja mati segera mendekati peti itu. Bayi yang ada dalam peti itu dikira anaknya. Sebagai lazimnya seorang ibu, rusa menyusui bayi itu dan sebaliknya bayi itu memandang rusa sebagi ibunya. Lih. Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007) hal. 210
[24] Dalam satu literatur disebutkan bahwa Hayy mencari organ tubuh yang rusak, ternyata dalam tubuh rusa itu masih itu. Dari sini pula Hayy meyakini bahwa adanya pengaruh dari luar yang menyebabkan kematian itu, yaitu allah. Lih. Purwotanntana dkk, Seluk beluk filsafat, (Rosda Offset: Bandung, 1998), hal. 183
[25] Sirajuddin Zar dalam bukunya Filsafat Islam (2007) menyebutkan, untuk mencapai ma’rifat hakiki dan kebahagiaan sejati ia melatih diri dengan berpuasa selama 40 hari di dalam gua.
[26] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007) hal. 210

Popular Posts

Categories

Visitors

Diberdayakan oleh Blogger.