the smooth sea will never give the good sailor

Minggu, 21 Desember 2014

Ilmu hadits riwayah dirayah dan cabang cabang ilmu hadist

A. Ilmu Hadis Riwayah

Menurut bahasa riwayah berasal dari kata rawa-yarwi-riwayatan yang berarti annaql =memindahkan dan penukilan. Sedangkan ilmu hadits riwayah menurut istilah sebagaimana pendapat Dr. Subhi Asshalih adalah :

"ilmu hadits riwayah adalah ilmu yang mempelajari tentang periwayatan secara teliti dan berhati-hati bagi segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan dan sifat serta segala sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan tabiin” (Subhi Asshalih, Ulumul Hadits…hal. 107)

Menurut Syaikh Manna’ A-Qhaththan, obyek pembahasan ilmu riwayatul hadits: sabda Rasulullah, perbuatan beliau, ketetapan beliau, dan sifat-sifat beliau dari segi periwayatannya secara detail dan mendalam. 
Faidahnya: menjaga As-Sunnah dan menghindari kesalahan dalam periwayatannya

Sementara itu, obyek Ilmu Hadits Riwayah, ialah membicarakan bagaimana cara menerima, menyampaikan pada orang lain dan memindahkan atau membukukan dalam suatu Kitab Hadits. Dalam menyampaikan dan membukukan Hadits, hanya dinukilkan dan dituliskan apa adanya, baik mengenai matan maupun sanadnya.

Adapun kegunaan mempelajari ilmu ini adalah untuk menghindari adanya kemungkinan yang salah dari sumbernya, yaitu Nabi Muhammad Saw. Sebab berita yang beredar pada umat Islam bisa jadi bukan hadits, melainkan juga ada berita-berita lain yang sumbernya bukan dari Nabi, atau bahkan sumbernya tidak jelas sama sekali.

Jadi jelaslah, dari definisi diatas kita dapat menarik beberapa point , yaitu :

Objek Ilmu Hadits Riwayah adalah matan atau isi hadits yang disandarkan kepada Nabi, Sahabat dan Tabiin.
Ilmu Hadits Riwayah mempelajari periwayatan yang mengakumulasikan apa, siapa dan dari siapa suatu riwayat.
Fokus kajian Ilmu Hadits Riwayah adalah Matan Hadits. Namun tidak mungkin ada matan tanpa disertai Sanad Hadits.
Sedangkan Ilmu Hadits ialah seperangkat kaidah yang mengatur tentang anatomi dan morfologi hadits. Pengolahan anatomi hadits disebut Ilmu Hadits Riwayah, dan pengolahan morfologi hadits disebut Ilmu Hadits Dirayah. Dua bidang ilmu itu bergerak terus, dan berkembang sesuai kebutuhan, untuk menformatisasikan isi hadits Nabi kepada lokasi atau kepada perkembangan masyarakat.
Ilmu Hadits Riwayah ialah studi hermeneutika atas teks hadits atau informasi tentang ungkapan isi hadits Nabi dari berbagai segi. Kitab Kuning mengulas masalah ini dengan sebutan Syarah Hadits, dan Hasyiyah atau Ta’liqat. Semua berkaitan dengan ilmu kalam, ilmu fiqh dan atau ilmu lainnya.
Ulama yang terkenal dan dipandang sebagai pelopor ilmu hadis riwayah adalah Abu Bakar Muhammad bin Syihab az-Zuhri (51-124 H), seorang imam dan ulama besar di Hedzjaz (Hijaz) dan Syam (Suriah). Dalam sejarah perkembangan hadis, az-Zuhri tercatat sebagai ulama pertama yang menghimpun hadis Nabi SAW atas perintah Khalifah Umar bin Abdul Aziz atau Khalifah Umar II (memerintah 99 H/717 M-102 H /720 M).

Meskipun demikian, ilmu hadis riwayah ini sudah ada sejak periode Rasulunah SAW sendiri, bersamaan dengan dimulainya periwayatan hadis itu sendiri. Sebagaimana diketahui, para sahabat menaruh perhatian yang tinggi terhadap hadis Nabi SAW. Mereka berupaya mendapatkannya dengan menghadiri majelis Rasulullah SAW serta mendengar dan menyimak pesan atau nasihat yang disampaikan Nabi SAW.

Kehadiran hadits sebagai sumber pokok ajaran islam, memang banyak dipersoalkan, hal ini berkaitan dengan matan, perawi, sanad dan lainnya, yang kesemuanya menjadi boleh atau tidaknya suatu hadits untuk dijadikan hujjah. Terlepas dari itu, perbedaan sahabat dalam memahami hadits pun menjadi hal yang penting untuk ditelaah lebih lanjut, karena perbedaan pemahaman tersebut mengakibatkan periwayatan pun menjadi berbeda. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab suatu hadits diperselisihkan oleh para ulama tentang kehujjahannya. Perbedaan pemahaman hadits yang dilakukan para sahabat antara tekstual dengan kontekstual melahirkan apa yang disebut dengan “Hadits Riwayah Bil-lafdzi” dan “Hadits Riwayah Bil-ma’na.”

    1.      HADITS RIWAYAH BIL-LAFDZI

Meriwayatkan hadits dengan lafadz adalah meriwayatkan hadits sesuai dengan lafadz yang mereka terima dari Nabi saw dan mereka hafal benar lafadz dari Nabi tersebut. Atau dengan kata lain meriwayatkan dengan lafadz yang masih asli dari Nabi saw. Riwayat hadits dengan lafadz ini sebenarnya tidak ada persoalan, karena sahabat menerima langsung dari Nabi baik melalui perkataan maupun perbuatan, dan pada saat itu sahabat langsung menulis atau menghafalnya.

Hal ini dapat kita lihat pada hadits-hadits yang memakai lafadz-lafadz sebagai berikut:

(Saya mendengar Rasulullah saw) Artinya: Dari Al-Mughirah ra., ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya dusta atas namaku itu tidak seperti dusta atas nama orang lain, dan barang siapa dusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaknya ia menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Muslim dan lain-lainnya)
(Menceritakan kepadaku Rasulullah saw)Artinya: Telah bercerita kepadaku Malik dari Ibnu Syihab dari Humaidi bin Abdur Rahman dari Abi Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda: “Siapa yang beramadhan dengan iman dan mengharap pahala, dihapus doasa-dosanya yang telah lalu.”
(Mengkhabarkan kepadaku Rasulullah saw)(Saya melihat Rasulullah saw berbuat) Artinya: Dari Abbas bin Rabi’ ra., ia berkata: Aku melihat Umar bin Khaththab ra., mencium Hajar Aswad dan ia berkata: “Sesungguhnya benar-benar aku tahu bahwa engkau itu sebuah batu yang tidak memberi mudharat dan tidak (pula) memberi manfaat. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah saw. menciummu, aku (pun) tak akan menciummu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits yang menggunakan lafadz-lafadz di atas memberikan indikasi, bahwa para sahabat langsung bertemu dengan Nabi saw dalam meriwayatkan hadits. Oleh karenanya para ulama menetapkan hadits yang diterima dengan cara itu menjadi hujjah, dengan tidak ada khilaf.

    2.       HADITS RIWAYAH BIL-MA’NA

Meriwayatkan hadits dengan makna adalah meriwayatkan hadits dengan maknanya saja sedangkan redaksinya disusun sendiri oleh orang yang meriwayatkan. Atau dengan kata lain apa yang diucapkan oleh Rasulullah hanya dipahami maksudnya saja, lalu disampaikan oleh para sahabat dengan lafadz atau susunan redaksi mereka sendiri. Hal ini dikarenakan para sahabat tidak sama daya ingatannya, ada yang kuat dan ada pula yang lemah. Di samping itu kemungkinan masanya sudah lama, sehingga yang masih ingat hanya maksudnya sementara apa yang diucapkan Nabi sudah tidak diingatnya.

Menukil atau meriwayatkan hadits secara makna ini hanya diperbolehkan ketikan hadits-hadits belum terkodifikasi. Adapun hadits-hadits yang sudah terhimpun dan dibukukan dalam kitab-kitab tertentu (seperti sekarang), tidak diperbolehkan merubahnya dengan lafadz/matan yang lain meskipun maknanya tetap.

Adapun contoh hadits ma’nawi adalah sebagai berikut:

Artinya: Ada seorang wanita datang menghadap Nabi saw, yang bermaksud menyerahkan dirinya (untuk dikawin) kepada beliau. Tiba-tiba ada seorang laki-laki berkata: Ya Rasulullah, nikahkanlah wanita tersebut kepadaku, sedangkan laki-laki tersebut tidak memiliki sesuatu untuk dijadikan sebagai maharnya selain dia hafal sebagian ayat-ayat Al-Qur’an. Maka Nabi saw berkata kepada laki-laki tersebut: Aku nikahkan engkau kepada wanita tersebut dengan mahar (mas kawin) berupa mengajarkan ayat Al-Qur’an.

Dalam satu riwayat disebutkan:

“Aku kawinkan engkau kepada wanita tersebut dengan mahar berupa (mengajarkan) ayat-ayat Al-Qur’an”. Dalam riwayat lain disebutkan: “Aku kawinkan engkau kepada wanita tersebut atas dasar mahar berupa (mengajarkan) ayat-ayat Al-Qur’an”. Dan dalam riwayat lain disebutkan: “Aku jadikan wanita tersebut milik engkau dengan mahar berupa (mengajarkan) ayat-ayat Al-Qur’an”. (Al-Hadits)

Secara lebih terperinci dapat dikatakan bahwa meriwayatkan hadits dengan maknanya itu sebagai berikut:

Tidak diperbolehkan, pendapat segolongan ahli hadits, ahli fiqh dan ushuliyyin.
Diperbolehkan, dengan syarat yang diriwayatkan itu bukan hadits marfu’.
Diperbolehkan, baik hadits itu marfu’ atau bukan asal diyakini bahwa hadits itu tidak menyalahi lafadz yang didengar, dalam arti pengertian dan maksud hadits itu dapat mencakup dan tidak menyalahi.
Diperbolehkan, bagi para perawi yang tidak ingat lagi lafadz asli yang ia dengar, kalau masih ingat maka tidak diperbolehkan menggantinya.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa hadits itu yang terpenting adalah isi, maksud kandungan dan pengertiannya, masalah lafadz tidak jadi persoalan. Jadi diperbolehkan mengganti lafadz dengan mumodifnya.
Jika hadits itu tidak mengenai masalah ibadah atau yang diibadati, umpamanya hadits mengenai ilmu dan sebagainya, maka diperbolehkan dengan catatan:
Hanya pada periode sahabat
Bukan hadits yang sudah didewankan atau di bukukan
Tidak pada lafadz yang diibadati, umpamanya tentang lafadz tasyahud dan qunut.
B.     Ilmu Hadist Dirayah

Ilmu Hadits Dirayah, menurut bahasa dirayah berasal dari kata dara-yadri-daryan yang berarti pengetahuan. Maka seringkali kita mendengar Ilmu Hadits Dirayah Disebut-sebut sebagai pengetahuan tentang ilmu Hadits atau pengantar ilmu hadits.

Menurut imam Assyuthi, Ilmu Hadits Dirayah adalah ”ilmu yang mempelajari tentang hakikat periwayatan, syarat-syaratnya, macam-macamnya dan hukum-hukumnya, keadaan para perawi, syarat-syarat mereka, macam-macam periwayatan, dan hal-hal yang berkaitan dengannya”.

Disebut dengan juga ilmu Musthalahul Hadits – undang-undang (kaidah-kaidah) untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara-cara menerima dan menyampaikan al-Hadits, sifat-sifat rawi dan lain sebagainya.

Obyek Ilmu Hadits Riwayah : meneliti kelakuan para rawi dan keadaan marwinya (sanad dan matannya). Menurut sebagian ulama, yang menjadi obyeknya ialah Rasulullah SAW sendiri dalam kedudukannya sebagai Rasul Allah. Faedahnya atau tujuan ilmu ini : untuk menetapkan maqbul (dapat diterima) atau mardudnya (tertolaknya) suatu hadits dan selanjutnya untuk diamalkannya yang maqbul dan ditinggalnya yang mardud.

Ulama hadits berbeda dalam memberikan definisi ilmu hadsit dirayah, meskipun dari berbagai definisi itu ada kemiripan batasan-batasan definisi. Ilmu hadits dirayah adalah pembahasan masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan yang diriwayahkan, apakah bisa diterima atau ditolak.

Ibn Akfani berpendapat, ilmu hadits dirayah adalah ilmu yang dapat mengetahui hakikat riwayah, syarat-syarat, macam-macam dan hukum-hukumnya, ilmu yang dapat mengetahui keadaan para rawi, syarat-syarat rawi dan yang diriwayahkannya serta semua yang berkaitan dengan periwayahannya.

Ulama lain berpendapat, ilmu hadits dirayah adalah ilmu undang-undang yang dapat mengetahui keadaan sanad dan matan. Definisi ini lebih pendek dari definisi di atas. Sedangkan definisi lain sebagaimana di sebutkan ibnu hajar, definisi paling baik dari berbagai definisi ilmu hadits dirayah adalah pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang dapat memperkenalkan keadaan-keadaan rawi dan yang diriwayahkan.

Berbagai definisi di atas banyak kemiripan, pada dasarnya semua definisi itu sama yakni pengetahuan tentang rawi dan yang diriwayahkan atau sanad dan matannya baik juga berkaitan dengan pengetahuan tentang syarat-syarat periwayahan, macam-macamnya atau hukum-hukumnya.

Istilah lain yang dipakai oleh ulama ahli hadits terhadap ilmu hadits dirayah adalah ilmu ushul al-hadits. Pada mulanya pembahasan yang menyangkut ilmu hadits dirayah sangat beragam. Kemudian muncullah beberapa ilmu yang bertalian dengan kajian analisis dan semuanya terangkum dalam satu nama, yakni ilmu hadits. Munculnya berbagai ilmu tersebut diakibatkan banyaknya topik tentang hadits dirayah tersebut dengan tujuan dan metodenya berbeda-beda. 

Berikut di antara ilmu-ilmu yang bermunculan dari berbagai ragam topik ilmu dirayah;

    Ilmu Jarah Wa Al-Ta’dil

Ilmu ini membahas para rawi, sekiranya masalah yang membuat mereka tercela atau bersih dalam menggunakan lafad-lafad tertentu. Ini adalah buah ilmu tersebut dan merupakan bagian terbesarnya.

    Ilmu Tokoh-Tokoh Hadits

Dengan ilmu ini dapat diketahui apakah para rawi layak menjadi perawi atau tidak. Orang yang pertama di bidang ini adalah al-bukhari (256 H). dalam bukunya thabaqat, ibn sa’ad (230 H) banyak menjelaskannya.

    Ilmu Mukhtalaf Al-Hadits

Imam Nawawi berkata dalam kitab al-Taqrib, “ini adalah salah satu disiplin ilmu dirayah yang terpentinng.” Ilmu ini membahas hadits-hadits yang secara lahiriyah bertentangan, namun ada kemumkinan dapat diterima dengan syarat. Jelasnya, umpamanya ada dua hadits yang yang makna lahirnya bertentangan, kemudian dapat diambil jalan tengah, atau salah satunya ada yang di utamakan.

Misalnya sabda rasulullah SAW, “tiada penyakit menular ” dan sabdanya dalam hadits lain berbunyi, “Larilah dari penyakit kusta sebagaimana kamu lari singa”. Kedua hadits tersebut sama-sama shahih. Lalu diterapkanlah jalan tengah bahwa sesungguhnya penyakit tersebut tidak menular dengan sendirinya. Akan tetapi allah SWT menjadikan pergaulan orang yang sakit dengan yang sehat sebagai sebab penularan penyakit.

Di antara ulama yang menulis tentang ilmu mukhtalaf al-hadits adalah imam syafi’I (204 H), Ibn Qutaibah (276 H), Abu Yahya Zakariya Bin Yahya al-Saji (307 H) dan Ibnu al-Jauzi (598 H).

    Ilmu Ilal Al-Hadits

Ilmu ini membahas tentang sebab-sebab tersembunyinya yang dapat merusak keabsahan suatu hadits. Misalnya memuttasilkan hadits yang mungkati’, memarfu’kan hadits yang maukuf dan sebagainya. Dengan demikian menjadi nyata betapa pentingnya ilmu ini posisinya dalam disiplin ilmu hadits.

    Ilmu Gharib Al-Hadits

ilmu ini membahas tentang kesamaran makna lafad hadits. Karena telah berbaur dengan bahasa arab pasar. Ulama yang terdahulu menyusun kitab tentang ilmu ini adalah abu hasan al-nadru ibn syamil al-mazini, wafat pada tahun 203 H.

     ilmu Nasakh Wa Al-Mansukh Al-Hadits

ilmu nasakh wa al-mansukh al-hadits adalah ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang bertentangan yang hukumnya tidak dapat dikompromikan antara yang satu dengan yang lain.yang datang dahulu disebut mansukh (hadits yang dihapus) dan yang datang kemudian disebut nasikh (hadits yang menghapus).
Pengetahuan ilmu tentang nasikh mansukh ini merupakan ilmu yang sangat penting untuk dan wajib dikuasai oleh seorang yang akan mengkaji hukum syariat. Sebab tidak mungkin bagi seseorang yang akan membahas tentang hukum syar’i sementara ia tidak mengenal dan menguasai ilmu tentang nasikh mansukh.

Al-hazimi berkata: disiplin ilmu ini (nasikh mansukh) termasul kesempurnaan ijtihad. Karena, rukun yang paling penting dalam beriitihad adalah pengetahuan tentang penukilan hadits, dan sedangkan faidah dari pengetahuan tentang penukilan adalah pengetahuan tentang nasikh dan mansukh.

Nasikh adalah yang menghapus atau membatalkan. Kadang-kadang nasikh ini di lakukan oleh nabi sendiri, seperti, sabdanya, “Aku pernah melarang ziarah kubur, lalu sekarang berziarahlah, karena itu akan mengingattkanmu pada akhirat.”

Pendiri Ilmu Hadits Dirayah adalah Al-Qadhi Abu Muhammad Al-Hasan bin Abdurahman bin Khalad Ramahumuzi (w.360 H)

Pokok pembahasan ilmu dirayah itu dua, yaitu :

rijal al-sanad
jarah-ta’dil.

Dari pembahasan dua ulasan itu muncul penilaian, bahwa suatu matan hadits dinilai shahih, atau hasan atau dla’if. Kata penilaian seperti itu biasa disebut Mushthalah al-Hadits.

    1.      Rijal al-Sanad

sering disebut riwayat perawi al-hadits, yaitu untaian informasi tentang sosok perawi yang menceritakan matan hadits dari satu rawi kepada rawi yang lain, sampai pada penghimpun hadits. Informasi itu menceritakan setiap rawi, dari segi kapan dia lahir dan wafatnya, siapa guru-gurunya, kapan tahun belajarnya, siapa murid-murid yang berguru kepadanya, dari daerah mana dia, kedatangan dia ke seorang guru kapan, dalam keadaan sehat, atau campur aduk kata-katanya (ikhtilath), atau dalam periwatan hadits terdapat illat (cacad) bagi perawi, atau bagi matan hadits, dan begitulah seterusnya.

Dari satu segi, persyaratan perawi hadits adalah muslim, aqil-baligh, kesatria (’adalah) dan kuat ingatan (dlabith), baik dlabith ingatan atau dlabit catatan Sedangkan cara penyampaiannya bisa menggunakan pendengaran teks dari guru kepada murid, murid membaca teks di depan guru, ijazah, timbang terima teks dari guru ke murid, tulisan guru yang terkirimkan, pengumuman guru, wasiat, dan penemuan tulisan guru oleh murid (wijadah). Semua bisa dikembangan dengan teknologi sekarang, seperti konsep dlabith bisa ditambah dengan catatan, atau website, atau sms dan sebagainya..

Tingkatan perawi hadits pertama adalah shahabat Rasulullah Saw. yaitu seseorang yang pernah bertemu Rasulullah Saw. dalam keadaan hidup, sadar dan beriman (Islam) sampai dia wafat dalam keadaan Islam.

Teknik penulisan matan hadits, sanadnya dimulai dari penyebutan sahabat Nabi, tabi’in, tabi’ al-tabi’in dan murid-muridnya, sampai guru perawi hadits yang ditulis oleh penghimpun hadits. Semua penyajian seperti itu biasanya ditulis oleh ulama mutaqaddimin dalam kitab karangannya masing-masing. Sedangkan penulisan ulama mutaakhirin dalam kitab-kitabnya hanya menyebutkan sahabat Nabi dan nama penghimpun matan hadits itu saja, seperti sebutan : Rawahu al-Bukhari dari Ibn Umar dan sebagainya. Penyajian seperti itu, baik penyajian ulama mutaqaddimin atau ulama mutaakhrin.

    2.      Jarah-ta’dil

adalah unsur ilmu hadits yang penting dalam menentukan perawi hadits, diterima atau ditolak matan haditsnya. Dengan kata lain hadits Nabi dinilai shahih atau tidak, didasarkan pada penilaian itu. Dari segi lain, klasifikasi tingkat tinggi-rendahnya nilai hadits pun, ditentukan oleh unsur itu juga. Atas dasar itu, hampir semua kitab Ulum al-Hadits, baik karya ulama mutaqaddimin atau mutaakhirin, selalu membahas jarah ta’dil.

Kitab-kitab yang membahas jarah-ta’dil banyak sekali, dengan metode dan penyajian materi yang berbeda-beda. Tokoh yang pertama kali memperhatikan jarah ta’dil sebagai ilmu, adalah Ibn Sirin (w.110 H), Al-Sya’bi (w.103 H), Syu’bah, (w.160 H), dan al-imam Malik (w. 179 H.). Sedangkan tokoh yang pertama kali menulis kitab jarah-ta’dil adalah Yahya ibn Ma’in (168-223 H), Ali ibn al-Madini (161-234 H), dan Ahmad ibn Hanbal (164-241 H). Kemudian bermunculan kitab-kitab yang menulis jarah ta’dil.

Jarah ta’dil pada dasarnya diangkat dari ayat-ayat al-Qur’an, antara lain ayat 6 Surat al-Hujurat, dan beberapa hadits Nabi Saw. Kemudian pemahaman terhadap ayat dan hadits itu dikongkritkan oleh ahli hadits untuk dijadikan sebagai konsep jarah ta’dil. Kemudian konsep itu diterapkan pada setiap orang yang akan menceritakan hadits Nabi. Sebenarnya, pekerjaan itu sudah dilakukan oleh pengamal hadits sejak dari zaman Rasulullah, zaman sahabat Nabi, dan ulama berikutnya. Tetapi gagasan itu baru dinormatifkan sebagai ilmu hadits, pada zaman tabi’in, seperti tersebut di atas.

Jarah ta’dil adalah sebuah ilmu yang menurut sifat dan tabiatnya adalah berkembang. Tetapi sesudah karya Ibn Hajar al-Asqallani, kitab yang muncul berikutnya hanya mengutip apa adanya, sehingga tidak ada komentar baru. Tulisan ini ingin mengajak pembaca untuk mengolah jarah-ta’dil menjadi sebuah ilmu yang berkembang.

Pengembangan jarah ta’dil berangkat dari dua kelompok pembahasan, yaitu :

Berangkat dari unsur rawi (pembawa hadits) dan unsur takhrij (metoda pengeluaran predikat jarah atau ta’dil pada seorang rawi yang ada dalam sanad).
Unsur dalil unsur penilaian. Yaitu unsur alasan ditetapkannya jarah atau ta’dil kepada seorang rawi, dan unsur norma-norma penilaian jarah atau ta’dil itu sendiri. Dua kelompok itulah merupakan pilar utama dalam bangunan Ilmu Hadits Dirayah.
Secara rinci, fokus pengembangan jarah ta’dil tersebar berdasarkan dua pemilahan.

Pemilahan matan hadits, seperti hadits akidah, hadits hukum, hadits muamalah, hadits sosial, hadits kepribadian, dan sebagainya.
Pemilahan rawi dari segi jarah atau ta’dil berdasarkan jenjang kaidahnya, sehingga muncul pengkelompokkan ulama pemikir jarah ta’dil menjadi ulama mutasyaddidin, ulama mutawassithin, atau ulama mutasahilin. Semua itu berangkat dari penilaian mereka terhadap rawi, sehingga ada rawi yang disepakati jarahnya, ada yang disepakati adilnya, dan yang paling banyak adalah ulam yang diikhtilafkan penilaian jarah dan ta’dilnya. Atas dasar itu, jarah-ta’dil dapat diterapkan pada konteks yang berbeda-beda.
Selain itu, Ilmu Hadits Dirayah juga mengolah matan hadits, dari segi penawaran beberapa metode yang diperlukan oleh Ilmu Hadits Riwayah. Model-model pengolahan itu banyak sekali, tetapi dalam tulisan ini hanya disajikan dua model saja, yaitu matan hadits dan kebudayaan, atau mekanisme matan hadits.

Matan hadits dan kebudayaan terdiri atas tiga masalah, yaitu (1) bentuk-bentuk hadits Nabi meliputi hadits qudsi, hadits nabawi bukan qudsi, jawami’ al-kalim, hadits dzikir dan do’a, hadits riwayat bi al-makna, dan aqwal al-shahabah. Semua dikutip untuk dikembangkan, setelah ditafsirkan oleh para ulama dalam bentuk kitab. Penafsiran ulama dalam kitab-kitab itu disebut format hadits Gambarannya adalah sebagai berikut :

    Matan Hadits Nabi dan kebudayaan (Format dan formatisasi oleh matan hadits)

Format hadits dinilai agama, sedangkan kehidupan masyarakat dinilai budaya, maka penerapan hadits kepada masyarakat disebut formatisasi. Yaitu pengolahan konsep penerapan hadits Nabi kepada masyarakat, sesuai dengan maksud yang dikehendaki oleh hadits itu. Unsur penerapan formatisasi ada lima, yaitu :

Penyusun konsep syarah yang berinisiatip untuk mengembangkan format hadits. Nasikh Mansukh fi al-Hadits.

Misi format baik verbal atau non-verbal yang memiliki nilai, norma, gagasan, atau maksud yang dibawakan oleh format hadits.

Alat atau wahana yang digunakan oleh penyusun konsep, untuk menyampaikan pesan formatisasi kepada masyarakat. Halayak atau komentator yang menerima formatisasi dari penyusun konsep,
    
Gambaran atau tanggapan yang terjadi pada penerima format setelah melihat formatisasi. Unsur ini tetap diperlukan untuk melihat perkembangan formatisasi.

Teori nasikh-mansukh diterapkan, ketika ada dua hadits yang isinya kelihatan bertentangan, dan susah dijadikan istinbath sebagai dalil hukum. Teori ini dikembangkan oleh Ilmu Ushul Fiqh ketika membahas hadits sebagai dalil hukum. Contohnya seperti sabda Rasulullah ”Saya melarang kamu sekalian tentang ziarah ke kuburan. Maka ziarahilah ke kuburan, karena itu mengingatkan kamu ke akhirat.” Riwayat Malik, Muslim, Abu Dawud, Al-Tirmizi dan al-Nasai.

Hampir semua kitab Dirayah Hadits membahas tentang nasikh-mansukh. Tokoh yang pertama kali menulis Dirayah tentag ini adalah Qatadah ibn Di’amah (w.118 H), tetapi kitab itu tidak dicetak sampai sekarang. Disusul oleh kitab ”Nasikh al-hadits wa mansukhuh” karya Al-Atsram (w. 261 H), disusul lagi oleh kitab ”Nasikh al-Hadits wa Mansukhuh” karya Ibn Syahin (w. 386 H). Tetapi kitab yang banyak beredar adalah Al-I’tibar fi al-Nasikh wa al-Mansukh min al-Atsar” karya Abu Bakar al-Hamdzani (w. 584 H).

    3.      Asbab Wurud al-Hadits.

Teori ini membahas tentang latar belakang datangnya sebuah hadits yang diterima oleh seorang rawi (shahabat). Pembahasan ini sama seperti ungkapan Ilmu Asbab al-Nuzul dalam Ulum al-Qur’an. Dalam kaitan ini, wurud al-hadits juga banyak membahas persesuaian (munasabat) antara satu matan hadits dengan matan hadits yang lain. Tokoh yang pertama kali membahas tentang Asbab Wurud al-Hadits adalah Abu Hafsh al-’Ukburi (w. 468 H). Tetapi kitab yang lebih lengkap adalah Al-Bayan wa al-Tarif fi Asbab Wurud al-Hadits al-Syarif karya Ibn Hamzah al-Dimasyqi (w. 1120 H).

Nasikh-Mansukh dan Asbab Wurud al-Hadits adalah dua teori Ilmu Hadits Dirayah yang berdekatan sasaranya, dan saling menunjang dalam penerapan makna. Nasikh-Mansukh dalam hadits tidak dapat diketahui tanpa melihat Wurud al-Hadits lebih dahulu. Hadits yang datang pertama disebut mansukh, dan hadits berikutnya disebut nasikh. Dua teori itu banyak dibahas oleh kitab-kitab Ulum al-Hadits.

Jika nasikh-mansukh dan wurud al-hadits hanya diolah dengan pendekatan tekstualis, seperti filosofis, atau yuridis, tologis saja, maka ilmu hadits tidak dapat berkembang. Salah satu model pengembangan masalah ini adalah menggunakan pendekatan interdisipliner, atau ilmu komunikasi dan ilmu sosial lainnya. Setidaknya ada dua sistem nilai yang diterapkan pada makna hadits yang berinteraksi, baik interaksi antara hadits dengan hadits, atau hadits dengan kasus yang melingkari. Dua sistem itu adalah sistem internal dan sistem eksternal (maa fi al-hadits dan maa haul al-hadits).

Sistem internal adalah semua sistem nilai yang dibawakan oleh sebuah hadits, ketika ia diterapkan pada satu makna, atau pada maksud hadits yang dituju. Nilai itu terlihat ketika hadits itu diberi interpretasi seperti nilai akidah, hukum fiqh, akhlak, nasihat, do’a dan sebagainya. Dalam istilah lain, sistem internal mencakup juga pola pikir, kerangka rujukan, struktur kognitif, atau juga sikap, yang dikandung oleh matan hadits.

Sedangkan sistem eksternal terdiri atas unsur-unsur yang ada dalam lingkungan di luar isi matan hadits. Lingkungan itu, termasuk struktur yang mendorong munculnya matan hadits, atau kejadian yang melatarbelakangi tampilnya sebuah hadits, atau jawaban Rasulullah yang muncul karena pertanyaan sahabat. Lebih dari itu, pemecahan sebuah hadits yang ditulis oleh seorang perawi pun bisa diterima berdasarkan latar belakang munculnya pemecahan itu.

Ulama pertama yang membukukan ilmu hadis dirayah adalah Abu Muhammad ar-Ramahurmuzi (265-360 H) dalam kitabnya, al-Muhaddis al-Fasil bain ar-Rawi wa al- wa ‘iz (Ahli Hadis yang Memisahkan Antara Rawi dan Pemberi Nasihat). Sebagai pemula, kitab ini belum membahas masalah-masalah ilmu hadis secara lengkap. Kemudian muncul al-Hakim an-Naisaburi (w. 405 H/1014 M) dengan sebuah kitab yang lebih sistematis, Ma’rifah ‘Ulum al-Hadis (Makrifat Ilmu Hadis).

    C.    Cabang-cabang Ilmu Hadist

Menurut Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Cabang-cabang besar yang tumbuh dari ilmu Hadits Riwayah dan Dirayah ialah:

    1.          IImu Rijalil Hadist

Ilmu yang membahas tentang para perawi hadits, baik dari sahabat, tabi’in, maupun dari angkatan sesudahnya. Dengan ilmu ini dapatlah kita mengetahui keadaan para perawi penerima hadits dari Rasulullah dan keadaan para perawi yang menerima hadits dari sahabat dan seterusnya. Di dalam ilmu ini diterangkan tarikh ringkas dari riwayat hidup para perawi, mazhab yang dipegang oleh para perawi dan keadaan-keadaan para perawi itu dalam menerima hadis.

Sungguh penting sekali ilmu ini dipelajari dengan seksama, karena hadis itu terdiri dari sanad dan matan. Maka mengetahui keadaan para perawi yang menjadi sanad merupakan separuh dari pengetahuan. Kitab-kitab yang disusun dalam ilmu ini banyak ragamnya. Ada yang hanya menerangkan riwayat-riwayat ringkas dari para sahabat saja. Ada yang menerangkan riwayat-riwayat umum para perawi-perawi, Ada yang menerangkan perawi-perawi yang dipercayai saja, Ada yang menerangkan riwayat-riwayat para perawi yang lemah-lemah, atau para mudallis, atau para pemuat hadis maudu’. Dan ada yang menerangkan sebab-sebab dianggap cacat dan sebab-sebab dipandang adil dengan menyebut kata -kata yang dipakai untuk itu serta martabat perkataan.

Ada yang menerangkan nama-nama yang serupa tulisan berlainan sebutan yang di dalam ilmu hadits disebut Mu’talif dan Mukhtalif. Dan ada yang menerangkan nama-nama perawi yang sama namanya, lain orangnya, Umpamanya Khalil ibnu Ahmad. Nama ini banyak orangnya. Ini dinamai Muttafiq dan Muftariq. Dan ada yang menerangkan nama- nama yang serupa tulisan dan sebutan, tetapi berlainan keturunan dalam sebutan, sedang dalam tulisan serupa. Seumpama Muhammad ibnu Aqil dan Muhammad ibnu Uqail. Ini dinamai Musytabah. Dan ada juga yang hanya menyebut tanggal wafat.

    2.          Ilmul Jarhi Wat Takdil

Ilmu Jarhi Wat Takdir, pada hakekatnya merupakan suatu bagian dari ilmu rijalil hadis. Akan tetapi, karena bagian ini dipandang sebagai yang terpenting maka ilmu ini dijadikan sebagai ilmu yang berdiri sendiri. Yang dimaksud dengan ilmul jarhi wat takdil ialah:  “Ilmu yang menerangkan tentang catatan-catatan yang dihadapkan pada para perawi dan tentang penakdilannya (memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan tentang martabat-martabat kata-kata itu. ” Ilmu Jarhi wat Ta’dil dibutuhkan oleh para ulama hadits karena dengan ilmu ini akan dapat dipisahkan, mana informasi yang benar yang datang dari Nabi dan mana yang bukan.

Mencacat para perawi (yakni menerangkan keadaannya yang tidak baik, agar orang tidak terpedaya dengan riwayat-riwayatnya), telah tumbuh sejak zaman sahabat. Menurut keterangan Ibnu Adi (365 H) dalam Muqaddimah kitab AI-Kamil, para ahli telah menyebutkan keadaan-keadaan para perawi sejak zaman sahabat.

Di antara para sahabat yang menyebutkan keadaan perawi-perawi hadits ialah Ibnu Abbas (68 H), Ubadah ibnu Shamit (34 H), dan Anas ibnu Malik (93 H). Di antara tabi’in ialah Asy Syabi(103 H), Ibnu Sirin (110H), Said Ibnu AI-Musaiyab (94 H). Dalam masa mereka itu, masih sedikit orang yang dipandang cacat. Mulai abad kedua Hijrah baru ditemukan banyak orang-orang yang lemah. Kelemahan itu adakalanya karena meng-irsal-kan hadits, adakalanya karena me- rafa-kan hadits yang sebenarnya mauquf dan adakalanya karena beberapa kesalahan yang tidak disengaja, seperti Abu Harun AI-Abdari (143 H).

Kitab bidang ilmu ini yang terkenal diantaranya “Al Jarhu wat Ta’dil” karya Abdur Rahman Bin Abi Hatim Ar Razy.

    3.          IImu Illail Hadis

Ilmu yang menerangkan sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata, yang dapat mencacatkan hadis. Yakni menyambung yang munqati, merafakan yang mauqu memasukkan satu hadits ke dalam hadits yang lain dan yang serupa itu semuanya ini, bila diketahui, dapat merusakkan kesahihan hadist.

Ilmu ini merupakan semulia-mulia ilmu yang berpautan dengan hadis, dan sehalus-halusnya. Tak dapat diketahui penyakit-penyakit hadits melainkan oleh ulama yang mempunyai pengetahuan yang sempurna tentang martabat-martabat perawi dan mempunyai malakah yang kuat terhadap sanad dan matan-matan hadits.

Menurut Syaikh Manna’ Al-Qaththan bahwa cara mengetahui ‘illah hadits adalah dengan mengumpulkan beberapa jalan hadits dan mencermati perbedaan perawinya dan kedhabithan mereka, yang dilakukan oleh orang orang yang ahli dalam ilmu ini. Dengan cara ini akan dapat diketahui apakah hadits itu mu’tal (ada ‘illatnya) atau tidak. Jika menurut dugaan penelitinya ada ‘illat pada hadits tersebut maka dihukuminya sebagai hadits tidak shahih .

Di antara para ulama yang menulis ilmu ini, ialah Ibnul Madini (23 H), Ibnu Abi Hatim (327 H), kitab beliau sangat baik dan dinamai Kitab Illial Hadist. Selain itu, ulama yang menulis kitab ini adalah AI-lmam Muslim (261 H), Ad-Daruqutni (357 H) dan Muhammad ibnu Abdillah AI-Hakim.

    4.          Ilmu nasih wal mansuh

ilmu yang menerangkan hadis-hadis yang sudah dimansuhkan dan yang menasihkannya.Apabila didapati suatu hadits yang maqbul, tidak ada yang memberikan perlawanan maka hadits tersebut dinamai Muhkam. Namun jika dilawan oleh hadits yang sederajatnya, tetapi dikumpulkan dengan mudah maka hadits itu dinamai Mukhatakiful Hadits. Jika tak mungkin dikumpul dan diketahui mana yang terkemudian, maka yang terkemudian itu, dinamai Nasih dan yang terdahulu dinamai Mansuh.

Banyak para ahli yang menyusun kitab-kitab nasih dan mam’uh ini, diantaranya Ahmad ibnu Ishaq Ad-Dillary (318 H), Muhammad ibnu Bahar AI-Asbahani (322 H), Alunad ibnu Muhaminad An-Nah-has (338 H) Dan sesudah itu terdapat beberapa ulama lagi yang menyusunnya, yaitu Muhammad ibnu Musa Al-Hazimi (584 H) menyusun kitabnya, yang dinamai Al-lktibar. Kitab AI-Iktibar itu telah diringkaskan oleh Ibnu Abdil Haq (744 H)

    5.          Ilmu Asbabi Wuruddil Hadist

Ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi yang menurunkan sabdanya dan masa-masanya Nabi menurunkan itu. Menurut Prof Dr. Zuhri ilmu Asbabi Wurudil Hadits adalah ilmu yang menyingkap sebab-sebab timbulnya hadits. Terkadang, ada hadits yang apabila tidak diketahui sebab turunnya, akan menimbulkan dampak yang tidak baik ketika hendak diamalkan.

Penting diketahui, karena ilmu itu menolong kita dalam memahami hadits, sebagaimana ilmu Ashabin Nuzul menolong kita dalam memahami Al-Quran. Disamping itu, ilmu ini mempunyai fungsi lain untuk memahami ajaran islam secara komprehensif. Asbabul Wurud dapat juga membantu kita mengetahui mana yang datang terlebih dahulu di antara dua hadits yang “Pertentangan”. Karenanya tidak mustahil kalau ada beberapa ulama yang tertarik untuk menulis tema semacam ini.Misalnya, Abu Hafs Al- Akbari (380-456H), Ibrahim Ibn Muhammad Ibn Kamaluddin, yang lebih dikenal dengan Ibn hamzah Al-Husainy Al-Dimasyqy (1054-1120H) denagn karyanya Al-Bayan Wa Al Ta’rif Fi Asbab Wurud Al- hadits Al-Syarif.

Ulama yang mula-mula menyusun kitab ini dan kitabnya ada dalam masyarakat iaIah Abu Hafas ibnu Umar Muhammad ibnu Raja Al-Ukbari, dari murid Ahmad (309 H), Dan kemudian dituliskan pula oleh Ibrahim ibnu Muhammad, yang terkenal dengan nama Ibnu Hamzah Al Husaini (1120 H), dalam kitabnya AI-Bayan Wat Tarif yang telah dicetak pada tahun 1329 H.

    6.          Ilmu Talfiqil Hadist

Ilmu yang membahas tentang cara mengumpulkan hadits-hadits yang isinya berlawanan.Cara mengumpulkannya adakalanya dengan menakhsiskan yang ‘amm, atau menaqyidkan yang mutlak, atau dengan memandang banyaknya yang terjadi. Ilmu ini dinamai juga dengan ilmu Mukhtaliful Hadis. Di antara para ulama besar yang telah berusaha menyusun, ilmu ini ialah Al-Imamusy Syafii (204 H), Ibnu Qurtaibah (276 H), At-Tahawi (321 H) dan ibnu Jauzi (597 H). Kitabnya bernama At-Tahqiq, kitab ini sudah disyarahkan oleh Al-Ustaz Ahmad Muhammad Syakir dan baik sekali nilainya.

    7.          Ilmu Fannil Mubhammat

ilmu untuk mengetahui nama orang-orang yang tidak disebut dalam matan, atau di dalam sanad. Di antara yang menyusun kitab ini, Al-Khatib Al Baghdady. Kitab Al Khatib itu diringkas dan dibersihkan oleh An-Nawawy dalam kitab Al-Isyarat Ila Bayani Asmail Mubhamat.

Perawi-perawi yang tidak tersebut namanya dalam shahih bukhari diterangkan dengan selengkapnya oleh Ibnu Hajar Al-Asqallanni dalam Hidayatus Sari Muqaddamah Fathul Bari.

    8.          Ilmu Ghoriebil Hadits

Yang dimaksudkan dalam ilmu haddits ini adalah bertujuan menjelaskan suatu hadits yang dalam matannya terdapat lafadz yang pelik, dan yang sudah dipahami karena jarang dipakai, sehingga ilmu ini akan membantu dalam memahami hadits tersebut. Kitab yang terkenal dalam ilmu ini diantaranya “Al-Faiqu fi Gharibi’l Hadits” karya Imam Zamakhsyary

    9.          Ilmu Tashif wat Tahrif

Yaitu ilmu yang menerangkan tentang hadits-hadits yang sudah diubah titiknya (dinamai mushohaf), dan bentuknya (dinamai muharraf).

    10.      Ilmu Tawarikhir Ruwah

Ilmu tentang hal-ihwal para rawi, tanggal lahir, tanggal wafat, guru-gurunya, tanggap kapan mendengar dari gurunya, orang yang berguru kepadanya, kota kampung halamannya, perantauannya, keadaan masa tuanya dan semua yang berkaitan dengan per haditsan. Kitab Tawarikhir Ruwah yang terkenal “At-Tarikhu’l-Kabir” karya Imam Bukhary dan “Tarikh Baghdad” karya Imam Al Khatib Baghdady.

    11.      Ilmu Thabaqotur Ruwah

Ilmu yang pembahasannya diarahkan kepada kelompok orang-orang (rawi) yang berserikat dalam suatu alat pengikat yang sama.

Kitab bidang  ilmu ini yang terkenal diantaranya “Thabaqatur Ruwah” karya Al Hafidz Abu ‘Amr Khalifah Bin Khayyath Asy Syaibany.

    12.       Ilmu Tawarikhu’l Mutun

Ilmu yang menitik beratkan kapan dan dimana atau di waktu apa hadits itu diucapkan atau peebuatan itu dilakukan Rasulullah saw. Kitab yang terkenal dalam ilmu ini diantaranya “Mahasinu’l Ishthilah” karya Imam Sirajuddin Abu Hafsh ‘Amar Bin Salar Al-Bulqiny.

    13.       Ilmu Mukhtaliful Hadits

Ilmu yang membahas hadits hadits yang menurut lahirnya saling bertentangan, untuk dikompromikan, sebagaimana halnya membahas hadits hadits yang sukar dipahami atau diambil isinya, untuk menghilangkan kesukarannya dan menjelaskan hakikat-hakikatnya.

Kitab yang terkenal dalam bidang ini diantaranya “Musykilu’l Hadits wa Bayanuhu” karya Abu Bakr Muhammad Bin Al Hasan (Ibnu Furak) Al Anshary Al Asbihany.

Jumat, 12 Desember 2014

Tafsir firman Allah Swt: "Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuanyang berzina, atau perempuan yang musyrik."

Ulama tafsir berbeda pendapat terkait firman Allah Ta'ala, ""Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin." (QS. An-Nur: 3)  Tentang apakah laki-laki yang baik-baik diharamkan menikahi wanita pezina sebelum taubatnya atau wanita yang baik-baik diharamkan laki-laki pezina sebelum taubatnya. Dalam masalah ini terdapat dua pendapat;

Pendapat Pertama: Ayat tersebut menunjukkan keharaman. Ini merupakan pendapat Ahmad bin Hambal rahimahullah, sebagaimana kami dapatkan dalam Al-Mughni, Ibnu Qudamah, 7/108.  Syaikhul Islam, Ibnu Taimiah dan muridnya Ibnu Qoyim menguatkan pendapat ini dengan dalil-dalil yang banyak. Lihat Majmu Fatawa, 15/315, 32/113, Ighatsatul-Lahafan, 1/65. Telah disebutkan di situs kami ini dipilihnya pendapat ini dalam jawaban soal no. 85335, 96460, 104492. Begitu pula halnya ucapan Imam Syafi'I rahimahulah. Hanya saja Imam Syafi'i berkata bahwa hukum tersebut mansukh (terhapus), lalu beliau membolehkan pernikahan dengan laki-laki pezina dan wanita pezina.

Beliau rahimahullah berkata, "Ahli tafsir berbeda pendapat dalam masalah dengan perbedaan yang mencolok. Yang lebih dekat menurut kami adalah apa yang dinyatakan oleh Ibnu Musayyab bahwa hukum ini telah terhapus. Dihapus oleh ayat, "Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian di antara kamu," maka wanita tersebut termasuk orang-orang yang sendirian di kalangan kaum muslimin. Ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Ibnu Musayyab insya Allah. Dalilnya terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah.

Al-Umm, 5/158

Pendapat Kedua; Pada dasarnya ayat tersebut tidak menunjukkan keharaman. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Al-Hafiz Ibnu Katsir rahimahullah berkata, "Ini merupakan khabar (informasi) dari Allah Ta'ala bahwa seorang laki-laki pezina tidak berjimak kecuali dengan wanita pezina atau wanita musyrik. Maksudnya adalah tidak ada yang menyambut keinginannya untuk berzina kecuali wanita pezina yang suka maksiat atau wanita musyrik yang tidak memandang keharaman zina.

Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma, "Yang dimaksud bukanlah nikah, tapi jimak. Maka maknanya adalah, tidaklah laki-laki pezina berzina kecuali dengan wanita pezina." Sanadnya shahih, juga diriwayatkan darinya dari jalur yang lain. Begitu juga telah meriwayatkan hal serupa Mujahid, Ikrimah, Said bin Zubair, Urwah bin Zubai, Adh-Dhahhak, Makhul, Muqatil bin Jiyan serta yang lainnya.

Tafsir Al-Quranul Adzim, 6/9

Ketika mendiskusikan kedua pendapat ini, Al-Amin Asy-Syinqity dalam Kitabny Adhwa'ul Bayan, 5/417-428, menjelaskan dan munguraikannnya panjang lebar. Kami akan ketengahkan perkataannya di sini dengan sedikit diringkas, "Termasuk macam-macam penjelasan yang terkandung dalam Kitab yang diberkahi ini, pendapat sebagian ulama dalam satu ayat, dan pada ayat yang sama terdapat petunjuk yang menunjukkan tidak benarnya pendapat tersebut. Di antaranya adalah ayat yang mulia ini. Penjelasannya adalah, pada ulama berbeda pendapat dengan apa yang dimaksud dengan pernikahan dalam ayat ini. Sekelompok ulama berpendapat bahwa yang dimaksud 'nikah' dalam ayat ini adalah bersetubuh dalam arti berzina. Sementara sekelompok ulama lainnya berpendapat bahwa yang dimaksud dengan nikah dalam ayat ini adalah 'akad pernikahan'.  Maka mereka berpendapat tidak boleh bagi orang baik-baik menikahi wanita pezina, begitu juga sebaliknya. Pendapat ini, bahwa yang dimaksud nikah dalam ayat ini adalah 'menikah' bukan bersetubuh, pada ayat yang sama terdapat petunjuk yang menunjukkan ketidabenarannya. Yaitu petunjuk disebutkannya laki-laki musyrik dan wanita musyrik dalam ayat ini. Karena orang laki-laki muslim tidak boleh menikah dengan wanita musyrik. Berdasarkan firman Allah Ta'ala,

وَلاَ تَنْكِحُواْ الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ  (سورة البقرة: 221)

"Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman." (QS. Al-Baqarah: 221)

Juga firman Allah Ta'ala,

لاَ هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلاَ هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ (سورة الممتحنة: 10)

"Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka." (QS. Al-Mumtahanah: 10)

 Juga firman Allah Ta'ala,

وَلاَ تُمْسِكُواْ بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ

"Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir." (QS. Al-Mumtahanah: 10)

Demikian pula, wanita muslimah pezina, tidak dihalalkan menikah dengan laki-laki musyrik, berdasarkan firman Allah Ta'ala,

وَلاَ تُنكِحُواْ الْمُشِرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُواْ

"Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman." (QS. Al-Baqarah: 221)

Menikah dengan wanita musyrik dan laki-laki musyrik tidak halal sama sekali. Maka hal tersebut menjadi petunjuk bahwa yang dimaksud 'nikah' (dalam ayat tersebut) adalah bersetubuh yang berarti berzina, bukan akad nikah. Karena jika diartikan akad nikah menjadi tidak sesuai dengan disebutkannya laki-laki musyrik dan wanita musyrik.

 Sisi kedua adalah pendapat mereka bahwa yang dimaksud dengan 'nikah' dalam ayat tersebut adalah 'perkawinan'. Hanya saja, ayat ini, ' Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina' telah dimansukh (dihapus) dengan firman Allah Ta'ala, "Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian di antara kamu." (QS. An-Nur: 32). Yang berpendapat bahwa ayat tersebut telah dihapus adalah Sa'id bin Musayyab dan Asy-Syafi'i.

Al-Qurthubi dalam tafsirnya berkata tentang ayat ini, "Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan para shahabatnya bahwa yang dimaksud 'nikah' dalam ayat ini adalah bersetubuh. Dan Ibnu Abbas radhiallahu anhuma termasuk shahabat yang paling mengetahui tafsir Al-Quranul Azim serta tidak diragukan lagi ilmunya tentang bahasa Arab. Maka pendapatnya yang mengatakan bahwa yang dimaksud 'nikah' dalam ayat ini adalah bersetubuh, bukan akad, menunjukkan bahwa hal tersebut berlaku dalam gaya bahasa yang fasih. Maka dugaan bahwa penafsiran ini (mengartikan 'nikah' dalam ayat tersebut sebagai 'setubuh') tidak sah dari sudut pandang bahasa Arab, terbantahkan oleh pendapat Ibnu Abbas.

Sekelompok ulama lain ada yang berpendapat, tidak boleh menikahkan seorang laki-laki pezina dengan wanita baik-baik, tapi tidak sebaliknya (boleh menikahkan laki-laki baik-baik dengan wanita pezina). Ini adalah pendapat dalam mazhab Ahmad. Diriwayatkan pula pendapat tersebut dari Al-Hasan dan Qatadah. Mereka yang berpendapat seperti ini berdalil dengan beberapa ayat dan hadits.

Di antara ayat yang mereka jadikan dalil adalah ayat yang sedang kita bahas ini, yaitu firman Allah Ta'ala,

الزَّانِى لاَ يَنكِحُ إِلاَّ زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لاَ يَنكِحُهَا إِلاَّ زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرّمَ ذالِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ

"Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin."

Mereka berkata, "Yang dimaksud 'nikah' dalam ayat ini adalah perkawinan. Allah telah menjelaskan tentang pengharamannya dalam firman-Nya, " dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin."  Mereka berkata, 'Isyarat dengan kata 'yang demikian itu' kembali kepada perkawinan laki-laki pezina dengan selain wanita pezina dan wanita musyrik. Berarti secara tekstual Al-Quran telah menyatakan diharamkannya menikahkan laki-laki pezina dengan wanita baik-baik, begitu juga sebalinya.

Di antara ayat yang mereka jadikan dalil adalah firman Allah Ta'ala,

وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلاَ مُتَّخِذِى أَخْدَانٍ (سورة المائدة: 5)

(Dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. (QS. Al-Maidah: 5)

Mereka berkata, firman Allah Ta'ala, " dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina" maksudnya adalah menjaga dirinya dengan tidak melakukan zina. Maka, pemahaman kebalikan dari ayat ini adalah tidak dibolehkan menikahkan seorang laki-laki pezina dengan wanita mukmin yang menjaga kehormatannya, tidak juga dengan wanita yang baik-baik dari kalangan Ahli Kitab.

Firman Allah Ta'ala,

فَانكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَءاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَات غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلاَ مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ (سورة النساء: 25)

"Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; (QS. An-Nisa: 25)

Yang dimaksud dengan 'wanita yang memelihara diri bukan pezina' adalah wanita yang menjaga kehormatannya, bukan wanita pezina. Maka pemahaman kebalikan dari ayat ini adalah bahwa seandainya mereka wanita pezina yang tidak memelihara dirinya, niscaya tidak boleh menikah dengannya.

Termasuk dalil dari pendapat ini adalah bahwa semua hadits yang diriwayatkan tentang turunnya ayat,

الزَّانِى لاَ يَنكِحُ إِلاَّ زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً

Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik."

Semuanya berbicara tentang akad nikah, tidak satupun yang berbicara tentang bersetubuh. Sedangkan yang telah ditetapkan dalam Ushul fiqh, bahwa gambaran yang terdapat dalam sebab turunnya ayat harus menjadi bagian dari hukum dalam ayat tersebut. Begitu pula terdapat dalam sunnah yang mendukung benarnya pendapat mereka dalam ayat tersebut,yaitu bahwa yang dimaksud 'nikah' dalam ayat tersebut adalah 'perkawinan' dan bahwa seorang laki-laki pezina tidak boleh menikah kecuali dengan wanita pezina semacamnya.

Abu Hurairah radhiallahu anhu meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, beliau berkata,

 الزاني المجلود لا ينكح إلا مثله

"Seorang pezina laki-laki yang telah di(hukum) cambuk, tidak boleh menikah kecuali dengan (wanita pezina) semisalnya."

Ibnu Hajar berkata dalam Kitab Bulughul Maram dalam hadits Abu Hurairah ini; Riwayat Ahmad dan Abu Daud, para perawinya tsiqoh.

Adapun hadits yang diriwayatkan tentang sebab turunnya ayat ini. Di antaranya adalah apa yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amr bin Ash, bahwa seorang laki-laki muslim minta izin kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tentang seorang wanita yang dikenal dengan nama Ummu Mahzul, dia dikenal sebagai pezina. Wanita tersebut minta dia menikahinya dengan syarat dia (sang wanita) yang memberi nafkah kepadanya. Maka ketika dia minta izin kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, atau menyebutkan permasalahannya, Nabi membaca ayat,  "Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik."

Di antaranya juga hadits Amr bin Syu'aib dari bapaknya, dari kakeknya, bahwa Martsab bin Abu Martsad Al-Ghanawi membawa tawanan di Mekah. Dahulu di Mekah terdapat pelacur yang dipanggil 'Inaq' yang dahulunya merupakan kekasihnya. Dia berkata, "Maka aku datang kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, lalu aku berkata, 'Wahai Rasulullah, apakah aku boleh menikah dengan Inaq?' Beliau diam tidak menjawabku, lalu turun ayat,

 وَالزَّانِيَةُ لاَ يَنكِحُهَا إِلاَّ زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ

"Wanita pezina tidak dinikahi kecuali oleh laki-laki pezina atau laki-laki musyrik.

Maka kemudian beliau memanggilku, lalu membacanya di hadapanku. Lalu beliau berkata, "Jangan nikahi dia." Riwayat Abu Daud, Nasa'I dan Tirmizi. Dia berkata, 'Hadits ini hasan gharib, tidak kami ketahui kecuali jalur periwayat ini."

Mereka berkata, "Hadits-hadits ini dan semacamnya menunjukkan bahwa yang dimaksud 'nikah' pada ayat   الزَّانِى لاَ يَنكِحُ إِلاَّ زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً   adalah perkawinan, bukan bersetubuh. Dan sebab turunnya ayat seudah semestinya termasuk bagian dari hukum dalam ayat tersebut, sebagaimana telah ditetapkan dalam ilmu Ushul Fiqh.

Ibnu Qoyim berkata dalam Kitab Zadul Ma'ad, redaksinya sebagai berikut, "Adapun menikahi wanita pezina, telah Allah tegaskan keharamannya dalam surat An-Nur. Dia menjelaskan bahwa yang menikahinya, kalau tidak dia seorang laki-laki pezina atau laki-laki musyrik. Maka, dia boleh jadi berpegang teguh dengan hukum Allah Ta'ala dan meyakini kewajibannya atau tidak. Apabila dia tidak melaksanakannya dan tidak meyakininya, maka dia musyrik. Apabila dia melaksanakannya dan meyakini kewajibannya, namun dia menyalahinya, maka dia pezina. Kemudian Allah menjelaskan keharamannya, " dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin."

Pendapat bahwa ayat tersebut dihapus oleh ayat, 'Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian di antara kamu." (QS. An-Nur: 32), tak diragukan lagi sebagai pendapat yang paling lemah. Lebih lemah dari itu, pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud 'nikah' adalah zina. Karena, dengan demikian, makna ayatnya adalah 'Pezina laki-laki tidak berzina kecuali dengan wanita pezina dan musyrik. Pezina wanita tidak bezina kecuali laki-laki pezina dan musyrik. Kalamullah harus dipelihara dari pendapat seperti itu. Begitu pula memahami ayat tersebut sebagai wanita pelacur dari kalangan musyrik, adalah pendapat yang sangat jauh maknanya dari segi bahasa dan susunan kalimatnya. Bagaimana tidak, karena Allah Ta'ala membolehkan menikahi orang-orang merdeka dan budak semata-mata dengan syarat terjaga kehormatan.

Dia berfirman, "Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya," (QS. An-Nisa: 25)

Allah membolehkan menikahinya karena kondisi tersebut, bukan karena yang lainnya. Petunjuk ini bukan berdasarkan pemahaman, tapi asal dari bersetubuh adalah haram, maka membolehkannya hanya terbatas pada apa yang telah dijelaskan dalam syariat. Selain ini hukum tetap kembali kepada asalnya, yaitu haram." Demikin kesimpulan dari pernyataan Ibnu Qoyim.

Dalil-dalil yang telah kami sebutkan adalah argumen orang-orang yang berpendapat dilarangnya menikahkan laki-laki pezina dengan wanita yang baik-baik, begitu juga sebaliknya. Jika anda telah mengetahui pendapat-pendapat para ulama dan dalil-dalil mereka tentang pernikahan perempuan dan laki-laki pezina, maka berikutnya kita akan mendiskusikan dalil-dalil mereka.

Adapun ucapan Ibnu Qoyim, bahwa pemahaman 'nikah' sebagai 'bersetubuh' hendaknya Kitabullah dipelihara dari pemahaman semacam itu, terbantahkan oleh pendapat Ibnu Abbas, padahal dia adalah orang yang memahami bahasa Arab dan makna Al-Quran, yang berdasarkan riwayat shahih darinya bahwa 'nikah' yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah bersetubuh. Seandainya makna seperti ini Kitabullah harus dipelihara darinya, niscaya Ibnu Abbas telah lebih dahulu menjaganya. Namun dia tidak mengatakan demikian dan tidak akan tersembunyi baginya jika memang Al-Quran hendaknya dipelihara dari pemahaman secaman itu.

Ibnu Al-Arabi berkata terkait penafsiran Ibnu Abbas bahwa yang dimaksud nikah tersebut adalah zina, 'Ini adalah makna yang benar'. Demikian Al-Qurthubi mengutip darinya.

Adapun perkataan Said bin Musayyab dan Asy-Syafii, bahwa ayat

الزَّانِى لاَ يَنكِحُ إِلاَّ زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً

   telah dimansukh (dihapus) oleh ayat

 ( وَأَنْكِحُواْ الايَامَى مِنْكُمْ ).

 Kemungkinan tersebut cukup jauh. Karena ketetapan yang terdapat dalam kaidah mazhab Syafi'i, Malik dan Ahmad adalah bahwa dalil yang bersifat khusus tidak dapat dihapus oleh dalil yang bersifat umum, dan bahwa dalil yang khusus secara mutlak masuk dalam perkara yang umum. Apakah diturunkannya lebih dahulu atau belakangan. Sebagaimana diketahui bahwa ayat

( وَأَنْكِحُواْ الأيَامَى مِنْكُمْ )

lebih bersifat umum secara mutlak ketimbang ayat

( الزَّانِى لاَ يَنكِحُ إِلاَّ زَانِيَةً )

  maka pendapat yang mengatakan bahwa ayat tersebut dihapus, terlarang dengan sendirinya berdasarkan prinsip yang telah ditetapkan dalam mazhab imam yang tiga tersebut. Akan tetapi hal tersebut dibolehakn berdasarkan kaidah yang terdapat dalam mazhab Hanafi rahimahullah. Sebagaimana telah kami jelaskan dalam surat Al-An'am.

Sudah dijawab tentang pendapat Said bin Musayyab dan Syafii tentang penghapusan ayat tersebut bahwa keduanya memahaminya dari tanda yang terdapat dalam ayat, yaitu bahwa orang merdeka yang belum menikah tidak dibatasi dengan kesalehan. Pembatasan kesalehan tersebut hanya menjadi batas bagi hamba laki-laki maupun perempuan. Karena itu Allah berkata setelah ayat tersebut

( وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمائِكُمْ )

Dia berkata, batasannya adalah 'Allah memaafkan dan mengampuninya.'

Ayat yang mulia ini merupakan ayat yang paling sulit pemahamannya. Karena jika memahami nikah sebagai perkawinan, tidak sesuai dengan kata 'wanita musyrik' dan 'laki-laki musyrik'. Sedangkan jika 'nikah' dipahami sebagai 'bersetubuh' tidak sesuai dengan hadits-hadits yang berkaitan dengan ayat tersebut. Maka dengan demikian, menjadi jelaslah bahwa yang dimaksud dengan 'nikah'dalam ayat tersebut adalah perkawinan.

Saya tidak mengetahui solusi yang jelas tentang pemahaman ayat ini kecuali sedikit mengabaikan beberapa hal. Yaitu bahwa pendapat yang paling shahih menurut kalangan ahli ushul, sebagaimana diterangkan oleh Abul Abbas Ibnu Taimiah dalam tesisnya dalam ilmu Al-Quran dan dia katakan sebagai pendapat ulama mazhab yang empat, bahwa dibolehkan memaknai kalimat yang memiliki makna berbeda dengan dua makna atau beberapa makna. Maka jika dikatakan,

'عدا اللصوص البارحة على عين زيد'

(Para pencuri itu malam tadi telah melakukan kejatan terhadap 'mata' zaid) maka dapat kita katakan bahwa yang dimaksud adalah bahwa mereka telah melukai mata penglihatannya, merusak mata airnya yang mengalir dan mencuri 'mata' yang terdapat dalam emas dan peraknya.

Jika hal tersebut telah anda terapkan, maka ketahuilah bahwa kata 'nikah' memiliki kandungan makna yang sama antara bersetubuh dan perkawinan. Berbeda dengan yang mengaku bahwa hakekat maknanya adalah salah satunya saja, sedang makna lainnya bersifat majaz (kiasan), sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya.

Jika dibolehkan satu kata mengandung dua makna yang berbeda, maka kata 'nikah' dalam ayat ini dapat bermakna perkawinan dan bersetubuh sekaligus. Sedangkan disebutkannya wanita musyrik dan laki-laki musyrik dalam penafsiran kata 'nikah' dengan bersetubuh saja, bukan akad perkawinan. Ini yang disebut sebagai tindakan sedikit mengabaikan prinsip tadi, sebagaimana telah kami nyatakan. Ilmu hanya di sisi Allah Ta'ala. Mayoritas ulama berpendapat dibolehkannya menikah dengan wanita pezina, sedangkan yang melarangnya lebih sedikit. Dalil-dalil semua pihak telah saya jelaskan.

Ketahuilah bahwa mereka yang berpendapat dibolehkannya orang laki-laki baik-baik menikah dengan wanita pezina, tidak berarti sang suami pezina tersebut yang dikenal orang baik, sebagai dayyuts, karena dia menikahinya semata-mata untuk melindunginya dan menjaganya serta mencegahnya dari perbuatan nista, yaitu dengan memantaunya selalu, dan jika dia keluar, pintu rumah ditutup, diringi kecemburuan yang sangat serta menghindar dari dari hal yang dapat menimbulkan prasangka. Jika terjadi sesuatu diluar pengetahuannya sementara dia telah sungguh-sungguh memeliharanya, maka tidak ada dosa padanya, dan dia tidak disebut dayyuts, sebagaimana diketahui.

Lebih baiknya menurut kami dalam masalah ini adalah bahwa seorang muslim seyogyanya tidak menikah kecuali dengan wanita yang baik-baik dan menjaga kehormatannya, berdasarkan ayat-ayat dan hadits yang telah kami sebutkan. Hal ini dikuatkan dengan hadits

فاظفر بذات الدين تربت بداك

"Pilihlah wanita yang memiliki agama yang baik, niscaya kamu beruntung." Wallahua'lam. Demikian penjelasan dari Syekh Amin Asy-Syinqithy, rahimahullah.

Popular Posts

Categories

Visitors

Diberdayakan oleh Blogger.