the smooth sea will never give the good sailor

Minggu, 03 Mei 2015

Ibnu Ruysd dan Filsafatnya

A. PENDAHULUAN

Agama Islam merupakan agama universal, dan rahmatan lil alamin. Agama Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah erat kaitannya dengan pertumbuhan masyarakat luas. Dari persentuhan tersebut lahir berbagai disiplin ilmu keislaman seperti: teologi, filsafat, kedokteran, dan tasawuf.
Dalam bidang-bidang ilmu keislaman tersebut, lahirlah para pemikir dan pakarnya, yang pemikirannya masih relevan hingga sekarang, di antaranya adalah Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Bajjah, Al-Ghazali, dan Ibnu Thufail.
Dalam makalah ini akan dibahas seputar Ibnu Rusyd, baik dalam hal biografi mereka, karya, dan pandangan filsafatnya.

B. PEMBAHASAN

I. IBNU RUSYD

a. Biografi Singkat Ibnu Rusyd
Diantara para filosof Islam, Ibnu Rusyd adalah salah seorang yang paling dikenal dunia Barat dan Timur. Nama lengkapnya Abu Al-Walid Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Ahmad Ibnu Rusyd, lahir di Cordova, Andalus pada tahun 520 H/1126 M, sekitar 15 tahun setelah wafatnya Abu Hamid Al-Ghazali. Ia ditulis sebagai satu-satunya filusuf Islam yang tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang semuanya menjadi fuqaha’ dan hakim. Ayahnya dan kakeknya menjadi hakim-hakim agung di Andalusia. Ibnu Rusyd sendiri menjabat hakim di Sevilla dan Cordova pada saat terjadi hubungan politik yang penting antara Andalusia dengan Marakasy, pada masa Khalifah Al-Manshur. Hal itu mencerminkan kecerdasan otak dan ghirah kepada ilmu pengetahuan dalam keluarga ini sudah tumbuh sejak lama yang kemudian semakin sempurna pada diri Ibnu Rusyd. Karena itu, dengan modal dan kondisi ini ia dapat mewarisi sepenuhnya intelektualitas keluarganya dan menguasai berbagai disiplin ilmu yang ada pada masanya.[1]

Ibnu Rusyd mempelajari ilmu Fiqih dari ayahnya, sehingga dalam usianya yang masih muda, Ibnu Rusyd telah hafal kitab Al-Muwatha’ karangan Imam Malik. Di samping itu, ia belajar ilmu kedokteran kepada Abu Ja’far Harun dan Abu Marwan Ibnu Jarbun Al-Balansi, sedangkan logika, filsafat, dan teologi ia peroleh dari Ibnu Thufail.[2]

Dalam pada itu pernah terjadi permusuhan antara Ibnu Rusyd dengan para ahli hukum. Ia dituduh sebagai penganut filsafat yang bertentangan dengan ajaran Islam sehingga ia dipenjara di kota Maroko dan meninggal di sana pada tahun 1198 M.[3]

Di dunia Barat ia disebut dengan Averrois, menurut Sirajuddin Zar, sebutan ini sebenarnya lebih pantas untuk kakeknya. Karena sebutan ini adalah akibat terjadinya metamorfose Yahudi-Spanyol-Latin. Kata Arab Ibnu oleh orang Yahudi diucapkan seperti kata Ibrani Aben, sedangkan dalam standar Latin Rusyd menjadi Rochd. Dengan demikian, nama Ibnu Rusyd menjadi Aben Rochd, maka melalui asimilasi huruf-huruf konsonan dan penambahan sisipan, akhirnya menjadi Averrois. Dari Averrois ini muncul sebuah kelompok pengikut Ibnu Rusyd dalam bidang filsafat yang menamakan diri Averroisme. Dalam bidang ini, Ibnu Rusyd memang membuktikan diri sangat ahli dan terhormat, penjelasan-penjelasannya tentang filsafat dan komentarnya terhadap filsafat Aristoteles dinilai yang paling tepat dan tidak ada tandingannya. Sebab itu ada yang menamakannya sebagai guru kedua, setelah setelah guru pertama Sang Filusuf atau Aristoteles.[4]

b. Pemikiran Filsafat Ibnu Rusyd
Filsafat Ibnu Rusyd sangat dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles. Hal itu wajar, karena ia banyak menghabiskan waktunya meneliti dan membuat komentar-komentar terhadap karya-karya Aristoteles dalam berbagai bidang, sehingga ia digelar Syarih (komentator).[5]

Ibnu Rusyd juga berbicara tentang hubungan antara filsafat dan agama. Baginya tugas filsafat tidak lain dari berpikir tentang wujud untuk mengetahui pencipta semua yang ada dan berpikir itu sebagaimana dinyatakan di dalam ayat-ayat Al-Qur’an sangat dianjurkan.[6]

Ibnu Rusyd juga membahas masalah-masalah yang pernah dipikirkan oleh filusuf-filusuf sebelumnya. Ia tidak menerima begitu saja pikiran-pikiran mereka. Ia mengkritik Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ibnu Bajjah, dan lainnya.

1). Metafisika
Dalam masalah ketuhanan, Ibnu Rusyd berpendapat bahwa Allah adalah Penggerak Pertama. Wujud Allah ialah Esa-Nya. Wujud dan ke-Esa-an tidak berbeda dari zat-Nya. Konsep Ibnu Rusyd tentang ketuhanan jelas sekali merupakan pengaruh Aristoteles, Plotinus, Al-Farabi, dan Ibnu Sina, di samping keyakinan agama Islam yang dipeluknya. Mensifati Tuhan dengan “Esa” merupakan ajaran Islam, tetapi menamakan Tuhan sebagai Penggerak Pertama, tidak pernah dijumpai dalam pemahaman Islam sebelumnya, hanya dijumpai dalam filsafat Aristoteles, Plotinus, Al-Farabi, dan Ibnu Sina.[7]

Menurut Ibnu Rusyd, Islam mengajak kita untuk memperhatikan alam ini dengan akal pikiran, seperti yang terdapat dalam surat al-Hasyr ayat 2 yang menunjukkan atas wajib menggunakan qiyas syar’i dan qiyas ‘aqli.

فَاعْتَبِرُوْا يآولِى الأَبْصَار. الحشر: 2 

Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan.

Ibnu Rusyd juga menerangkan dalil-dalil yang meyakinkan:[8]
1. Dalil Inayah al-Ilahiyah, bahwa alam ini seluruhnya sangat sesuai dengan kehidupan manusia. Persesuaian ini tidak mungkin terjadi secara kebetulan, tetapi menunjukkan adanya pencipta yang sangat bijaksana.
2. Dalil Ikhtira’, yang berarti bahwa segala yang ada di alam ini adalah diciptakan. Segala yang diciptakan harus ada yang menciptakan.
3. Dalil Harokah. Alam semesta ini bergerak dengan suatu gerakan yang tetap. Gerakan tersebut menunjukkan adanya penggerak pertama yang tidak bergerak dan bukan benda, yaitu Tuhan.
Dalil pertama dan kedua disepakati oleh semua pihak sesuai dengan syariat. Adapun dalil ketiga merupakan dalil yang pertama kali dicetuskan oleh Aristoteles yang kemudian dipergunakan oleh Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd sendiri.[9]

2). Kritik Terhadap Al-Ghazali
Ibnu Rusyd hidup dan melontarkan pemikirannya beberapa puluh tahun setelah al-Ghazali wafat. Ia mengkritik pemikiran Al-Ghazali dalam buku Tahafut al-Falasifah tentang permasalahan yang dapat menyebabkan kekafiran. Permasalahan tersebut adalah: Pendapat fulisuf tentang qadimnya alam; Pengetahuan Tuhan; dan tentang kebangkitan jasmani. Ibnu Rusyd menjelaskan kritik dan tanggapannya tersebut dalam buku Tahafut al-Tahafut.

a. Pendapat Filusuf Tentang Qodimnya Alam.
Pendapat para filusuf bahwa alam kekal dalam arti tidak bermula, tidak dapat diterima oleh kalangan teologi Islam, sebab menurut teologi Islam, Tuhan adalah pencipta. Yang dimaksud pencipta adalah mengadakan sesuatu dari tiada. Kalau alam dikatakan tidak bermula, berarti alam bukanlah diciptakan, dengan demikian Tuhan bukanlah pencipta. Pendapat seperti ini membawa kekufuran. Demikian gugatan Al-Ghazali dalam kitabnya Tahaful al-Falasifah.[10]

Ibnu Rusyd berpendapat bahwa penciptaan sesuatu dari tiada tidak mungkin terjadi. Dari yang tidak ada, atau kekosongan tidak mungkin berubah menjadi ada. Yang terjadi ialah “ada” yang berubah menjadi “ada” dalam bentuk lain. Tidak ada ayat yang mengatakan bahwa Tuhan pada mulanya berwujud sendiri, yaitu tidak ada wujud selain dari diri-Nya, dan kemudian barulah dijadikan alam. Untuk memperkuat argumentasinya, Ibnu Rusyd mengutip ayat Al-Qur’an yang berbunyi:

وَهُوَ الَّذِيْ خَلَقَ السَّموَاتِ وَ الأَرْضَ فِيْ سِتَّةِ أَيَّامٍ وَ كَانَ عَرْشُهُ عَلَي الْمَاءِ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً .هود:7

Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah ‘Arsy-Nya di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya.

Ayat ini menurut Ibnu Rusyd mengandung arti bahwa sebelum adanya wujud langit-langit dan bumi, telah ada wujud yang lain, yaitu wujud air yang di atasnya terdapat tahta kekuasaan Tuhan, dan adanya masa sebelum masa diciptakannya langit dan bumi. Tegasnya, sebelum langit dan bumi diciptakan telah ada air, tahta, dan masa.[11]

Kemudian Ibnu Rusyd mengutip lagi ayat yang berbunyi:

أَوَلَمْ يَرَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا أَنَّ السَّموَاتِ وَ الأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَا هُمَا وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كَلَّ شَيْئٍ حَيِّ أَفَلاَ يَؤْمِنُوْنَ .الأنبياء:30

Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman.

Dari ayat-ayat di atas dapat di tarik kesimpulan bahwa sebelum bumi dan langit dijadikan, telah ada benda lain. Dalam sebagian ayat benda itu diberi nama air, dan uap. Selanjutnya dapat pula ditarik kesimpulan bahwa bumi dan langit dijadikan dari sesuatu yang ada, bukan dijadikan dari tiada.[12]

Ibnu Rusyd berpendapat bahwa benar ada penciptaan, dan alam ini memerlukan tenaga penggerak, namun penciptaan itu diwujudkan terus-menerus. Dengan kata lain alam ini kekal. Semua bagian alam berubah dalam bentuk baru, menggantikan bentuk lama. Pencipta aktif yang terus-menerus mencipta inilah menurut Ibnu Rusyd yang patut disebut pencipta, dibanding dengan pencipta yang penciptaannya sekali dilakukan dan selesai.[13]

Lebih jauh mengenai keabadian alam, Ibnu Rusyd membedakan dua macam keabadian, keabadian dengan sebab dan keabadian tanpa sebab. Penggerak atau perantara itulah yang menjadi sebab abadinya alam, seperti abadinya penggerak itu sendiri. Hanya Tuhan yang abadi tanpa sebab, sedangkan alam menjadi abadi tetapi dengan adanya sebab atau perantara.[14]

b. Pendapat Filusuf Tentang Pengetahuan Tuhan
Permasalahan selanjutnya yang digugat oleh Al-Ghazali adalah masalah Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam.
Kalau Al-Ghazali mengatakan, menurut para filusuf, Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam, maka Ibnu Rusyd menjawab, Al-Ghazali dalam hal ini salah paham, sebab para filusuf tidak ada yang pernah mengatakan demikian, yang ada ialah pendapat mereka bahwa pengetahuan tentang perincian yang terjadi di alam tidak sama dengan pengetahuan manusia tentang perincian itu.[15]

Menurut Ibnu Rusyd, para filsuf tidak mempersoalkan apakah Tuhan mengetahui hal-hal yang bersifat juz’i yang terdapat di alam semesta ini atau tidak mengetahuinya. Persoalannya adalah bagaimana Tuhan mengetahui yang juz’i tersebut. Cara Tuhan mengetahui yang juz’iyat berbeda dengan cara manusia mengetahuinya. Pengetahuan manusia kepada juz’iyat merupakan efek dari objek yang telah diketahui, yang tercipta bersamaan dengan terciptanya objek tersebut serta berubah bersama perubahannya. Sedangkan pengetahuan Tuhan merupakan kebalikannya, pengetahuan-Nya merupakan sebab bagi obyek yang diketahui-Nya. Artinya, pengetahuan Tuhan bersifat qadim, yakni semenjak azali Tuhan mengetahui yang juz’i tersebut, bahkan sejak sebelum yang juz’i berwujud seperti wujud saat ini.[16]

Tuhan juga mengetahui apa-apa yang terjadi dan sesuatu yang telah terjadi. Pengetahuan Tuhan tidak dibatasi oleh waktu yang telah lampau, sekarang, dan akan dating. Meskipun demikian, pengetahuan Tuhan tidak dapat diberi sifat kulliyah dan juziyyah, sebab kedua sifat itu merupakan kategori-kategori manusia, bukan merupakan kategori Ilahi. Sebenarnya bentuk pengetahuan Tuhan tidak dapat diketahui kecuali oleh Tuhan sendiri.[17]

c. Pendapat Filusuf Tentang Kebangkitan Jasmani
Masalah ketiga yang digugat oleh Al-Ghazali dan dianggapnya dapat membawa kepada kekafiran ialah pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani di akhirat oleh para filusuf.
Menurut Ibnu Rusyd, filusuf mengakui tentang adanya kebangkitan di akhirat, tetapi mereka berbeda interpretasi mengenai bentuknya. Ada yang mengatakan bahwa yang akan dibangkitkan hanya rohani saja, dan ada yang mengatakan jasmani dan rohani. Namun yang pasti, kehidupan di akhirat tidak sama dengan kehidupan di dunia ini. Jadi, para filusuf tidak berpendapat seperti yang dituduhkan Al-Ghazali bahwa filusuf hanya berpaham bahwa kebangkitan hanya bersifat rohani.[18]

Meskipun Ibnu Rusyd cenderung berpendapat bahwa kebangkitan di akhirat nanti dalam wujud ruhani saja, ia tidak menafikan kemungkinan kebangkitan jasmani bersama-sama ruhani. Kalaupun kebangkitan ukhrawi tersebut dalam bentuk fisik, dimana ruh-ruh akan menyatu kembali dengan jasad sebagaimana keadaannya semula di dunia, tetapi jasad tersebut bukanlah jasad yang ada di dunia itu sendiri, sebab jasad yang ada di dunia telah hancur dan lenyap disebabkan kematian, sedangkan yang telah hancur mustahil dapat kembali seperti semula.[19]

Menurut para filusuf, unsur-unsur fisik manusia yang telah mati akan diproses oleh alam. Proses panjang alam tersebut tidak menutup kemungkinan merubah unsur pertama menjadi bagian dari fisik manusia yang lain. Dengan demikian, jika kebangkitan ukhrawi manusia yang dibangkitkan dalam bentuk fisiknya yang semula, maka terdapat kemungkinan manusia yang dibangkitkan memiliki bentuk fisik yang tidak sempurna.[20]

Sungguhpun demikian, Ibnu Rusyd berpendapat bahwa bagi orang awam, soal pembangkitan itu perlu digambarkan dalam bentuk jasmani, dan tidak hanya dalam bentuk ruhani, karena pembangkitan jasmani lebih mendorong bagi kaum awam untuk melakukan perbuatan baik dan meninggalkan perbuatan jahat.[21]

3). Averroisme
Ketika pembuangan Ibnu Rusyd ke Lucena, ia disambut oleh murid-muridnya, seperti Maimunides dan Josef Benjehovan yang beragama Yahudi. Dengan demikian, kegiatan menulis dan mengajar Ibnu Rusyd tetap berlangsung. Karena itu, tidak mengherankan pada waktu pembakaran buku-buku Ibnu Rusyd yang musnah adalah dalam bahasa aslinya (Arab), dalam waktu singkat, di beberapa tempat di Eropa muncul karya-karya Ibnu Rusyd dalam bahasa Latin dan Hebrew (Yahudi).[22]

Penerimaan pemikiran Ibnu Rusyd di Eropa terbagi kepada dua kelompok, yaitu kelompok yang menentang pemikiran-pemikiran Ibnu Rusyd, dalam hal ini golongan gereja; dan kelompok yang mendukung pemikiran Ibnu Rusyd yang dipelopori oleh para ilmuan.[23]

Suasana pertentang ini menjurus pada semakin maraknya perbincangan filsafat Ibnu Rusyd pada abad XIII, sehingga lahir kelompok yang menamakan diri mereka dengan al-Rasyidiyin al-Latiniyin.[24]

Larangan Gereja tidak mempan menghalangi kaum intelektual untuk terus mengembangkan paham filsafat, terutama paham Ibnu Rusyd di Eropa. Dari sini muncullah sekelompok intelektual yang bersemangat menjadikan Ibnu Rusyd sebagai guru pertama (al-mua’allim al-awwal). Mereka ini dipimpin Hermanus Allemanus (pada masa 1240-1260 M) yang mendirikan aliran Averroisme. Walaupun Averroisme dilarang oleh gereja, tetapi pengikut-pengikutnya tetap setia dan tidak habis-habisnya.[25]

c. Karya Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd banyak menulis di bidang fiqih, kedokteran, ilmu falak, filsafat, dan lain-lain. Karyanya yang paling berpengaruh di Barat adalah ‘Averroism’ yang berisi komentarnya atas karya-karya Aristoteles, bukan saja dalam bidang filsafat, namun juga dalam bidang ilmu jiwa, fisika, logika, dan akhlak. Manuskrip-manuskrip Arabnya sudah tidak ada, namun masih terdapat terjemahan-terjemanannya dalam bahasa Latin dan Ibrani. Karya-karyanya yang lain adalah:[26]
1). Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid fi al-Fiqh.
2). Kitad al-Kulliyat fi al-Thib.
3). Tahafut al-Tahafut, yang merupakan sanggahan terhadap kitab Al-Ghazali.
4). Al-Kasyf’an Manahij al-Adillah fi ‘Aqaid al-Millah.
5). Fashl al-Maqal fima bain al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-Ittishal, merupakan kajian teologi yang mencoba mempertemukan agama dengan filsafat.
6). Dhamimah li Masalah al-Qadim.
7). Talkhis Kitab An-Nafs, bidang Psikologi.
8). Al-Jamhuriyyah Wa Al-Ahkam dalam bidang politik yang menguraikan gagasan pemikiran secara demokratik yang tidak memisahkan antara agama da politik.
9). Jawami' Saisati Aflaton.

0 comments:

Posting Komentar

Popular Posts

Categories

Visitors

Diberdayakan oleh Blogger.