the smooth sea will never give the good sailor

Minggu, 19 April 2015

Sejarah dan Tujuan Orientalis

Pengertian orientalisme berasal dari kata Orient yang membawa maksud Timur, Ketimuran dan bisa dikatakan bumi belahan timur. Kata isme dapat diartikan dengan sistem kepercayaan, pahaman dan searti dengannya. Dari pengertian kata di atas dapat disimpulkan pengertian orientalisme ini adalah bagaimana Barat mengkaji, meneliti, melihat tentang ketimuran. Di dalam dunia ketimuran berbagai perkara yang ada namun bisa dikatakan bahwa orientalisme ini mengkaji Timur dari berbagai sudut. Orang barat yang mengkaji ketimuran ini dikenal sebagai orientalisme dan lawan dari orientalisme ini adalah occidentalisme. Occidentalisme pula mengkaji dan melihat tentang kebaratan (barat).

Sejarah Orientalis tidak diketahui secara pasti kapan mulai munculnya orientalis, tetapi bisa diperkirakan bahwa orientalis muncul pada saat umat muslim mencapai puncak kegemilangan prestasi peradabannya khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan. Banyak orang-orang barat yang belajar pada ulama dan cendekiawan muslim pada saat itu terutama di wilayah Kepulauan Laut Putih (Andalusia) dan Sicilia daerah Eropa yang menjadi wilayah kekuasaan umat muslim. Dan banyak diantara mereka adalah pendeta-pendeta agama Nashrani dan Yahudi. Mereka adalah:
1.    Pendeta Gerbert, dia terpilih sebagai pemimpin gereja roma pada tahun 999 M. selepas belajar di berbagai perguruan tinggi di Andalusia (Spanyol)
2.    Pendeta Petrus (1092-1156)
3.    Pendeta Gerrardi Krimon (1114-1187 M.)

Setelah kembali kenegaranya, meraka mengajarkan kepada masyarakat Eropa dan menyebarkan kebudayaan Arab serta menterjemahkan buku-buku karya ulama-ulama muslim.
Mereka merasa bahwa Islam adalah pembelot dari agama mereka dan juga suatu ancaman bagi agama masehi sendiri. Maka dari itu mereka berusaha untuk mempelajari islam guna untuk menghancurkan dan melemahkannya. Mereka berusaha dengan gigih untuk mengetahui tentang seluk-beluk islam lebih mendalam dengan tujuan untuk menghancurkan islam dari dalam. Dengan demikian kita bisa menyimpulkan bahwa sejarah orientalisme pada fase awal adalah sejarah tentang pergulatan dan pertarungan agama dan ideologi antara bangsa barat yang diwakili oleh agama Nashrani dan Yahudi dengan bangsa timur yang diwakili oleh para penganut agama Islam. Menurut R.W. Southern “Islam merupakan problema masa depan dunia Barat Nasrani secara keseluruhan di Eropa”.

Disamping hal diatas pecahnya Perang Salib (The Crusades) antara umat Islam dan umat Nashrani secara khusus menjadi sebab pemicu bagi orang-orang Eropa untuk melakukan kajian terhadap dunia Islam. Perang salib adalah suatu tragedi dhsyat yang tak pernah dilupakan oleh siapapun. Perang antara dua kekuatan besar yakni islam dan kristen dengan delapan gelombang penyerbuan terhadap umat islam selama hampir dua abad (1096-1270 M), dan berahir dengan kekalahan dan kehancuran kekuatan Dunia Barat (Kristen) sehinnga menyebabkan kemarahan besar dan dendam yang membara bagi bangsa-bangsa barat untuk menghancurkan Islam.

Gerakan orientalis tumbuh secara pesat pasca Perang Salib. Orientalis adalah satu bentuk invasi intelektual yang bermuara dari sebab-sebab keagamaan. Dunia barat yang terdiri dari ahlul kitab (Nasrani dan Yahudi), setelah reformasi keagamaan membutuhkan pandangan ulang terhadap ajaran dan kitab-kitab keagamaan mereka. Untuk itu mereka mulai mengadakan studi tentang bahasa Arab dan Islam. Mereka memanfaatkan apa saja dari karya-karya muslim. Dari kajian tentang islam,

Orientalisme kemudian berkembang menjadi kajian-kajian tentang kondisi ekonomi, politik dan lain-lain, dengan tetap pada prinsip utama dan sebagai prolog kristenisasi dengan tujuan-tujuannya.
Kegiatan penyelidikan tantang dunia timur oleh para orientalis telah berlangsung selama berabad-abad secara sporadis. Tetapi baru menunjukkan intensitasnya yang luar biasa sejak abad XIX M. Penyelidikan bermula secara terpisah mengenai masing-masing agama itu. Max Muller (1823-1900 M.) pada akhirnya menjelang abad XIX M. Menyalin seluruh kitab yang dipandang suci oleh masing-masing agama timur kedalam bahasa Inggris, terdiri dari 51 jilid tebal, berjudul The Sacred Books Of The East (Kitab-Kitab Suci Dari Dunia Timur) yang biasanya disingkat dengan SBE. Berkat cara Max Muller membahas masing-masing agama itu mengikuti bunyi dan isi masing-masing kitab suci hingga mendekati objektivitas, dan hal itu sangat berbeda dengan cara para orientalis pada masa sebelumnya maupun pada masanya sendiri. Karena itu ia dipandang sebagai pembangun sebuah disiplin ilmu yang baru, yang dikenal dengan comparative religions (perbandingan agama-agama).

Pada tahun 1873 digelar muktamar orientalis pertama di Paris. Muktamar serupa terus diselenggarakan sebagai wadah pertemuan para oreintalis dan wadah pengkajiania tiur atau isu-isu terhangat mengenai dunia timurbaik dari sisi perkembangan keagamaan maupun peradaban dunia timur.

Sebagian kalangan Muslim, akhir-akhir ini ada yang berpendapat, bahwa kaum Muslim tidak perlu bersikap apriori terhadap hal-hal yang asing. Islam tidak perlu takut diinfiltrasi oleh pemikiran Barat modern, Kristen, atau Yahudi. Sebab, menurut mereka, sejak awal mula kelahirannya, Islam memang sudah diinfiltrasi oleh Kristen-Yahudi. Buktinya, dalam al-Quran ada cerita tentang Maryam, Bani Israel, dan sebagainya. Jadi, wajar saja, jika Islam kemudian juga terus menyerap unsur-unsur asing dalam dirinya, seperti penerapan hermeneutika untuk tafsir al-Quran.

Untuk memahami duduk masalahnya, ada baiknya kita tinjau, latar belakang sejarah perkembangan 'teori pengaruh' ini di kalangan orientalis dan misionaris Kristen. Menurut orientalis terkenal dalam studi al-Quran, Andrew Rippin, adalah Abraham Geiger (seorang rabbi Yahudi di Jerman), orang pertama yang menggunakan pendekatan ilmiah terhadap Islam. Yang dimaksud dengan ilmiah adalah 'Teori Pengaruh Asing' kepada Islam.

Geiger menulis sebuah buku "What did Muhammad Borrow from Judaism?" Theodor Noldeke, seorang Pendeta di Jerman dan juga dedengkot orientalis dalam studi historisitas al-Quran, memuji usaha Geiger.

Murid Noldeke, bernama Friedrich Schwally, mengkritik pendapat gurunya. Menurut Schwally, yang lebih berpengaruh terhadap Islam adalah Kristen, dan bukan Yahudi. CC Torrey, seorang profesor di Universitas Yale, Amerika Serikat, mempertahankan pendapat Geiger. Torrey membahas secara panjang lebar mengenai pengaruh Yahudi dalam Islam dalam karyanya "The Jewish Foundation of Islam". Menyibukkan diri untuk menjawab pertanyaan, mana yang lebih banyak pengaruhnya kepada Islam, Yahudi atau Kristen, Prof MacDonald mengkritik karya Torrey dan mengajukan pertanyaan, "Is Islam a Jewish or a Christian heresy?" Apakah Islam itu penyimpangan dari Yahudi, atau dari Kristen?

Namun, kemudian, 'Teori Pengaruh' ini dikembangkan lebih jauh lagi. Bahwa, kata para orientalis dan misionaris, Islam bukan hanya dipengaruhi oleh Yahudi dan Kristen, tetapi juga oleh unsur-unsur budaya. Seorang misionaris Inggris untuk Isfahan, W. St. Clair-Tisdall menegaskan bahwa Islam itu bukan bersumber dari 'langit', tapi bersumber dari ragam agama dan budaya. Menurut Tisdall, konsep Islam tentang Tuhan, haji, cium hajar aswad, menghormati kabah, semuanya diambil dari budaya jahiliah. Shalat lima waktu dari tradisi Sabian. Kisah Nabi Ibrahim, Sulaiman, Ratu Balqis, Harut Marut, Habil Qabil dari Yahudi. Ashabul Kahfi dan Maryam dari Kristen. Tidak ketinggalan dari Hindu dan Zoroastria, yaitu Isra Mi'raj dan jembatan (shirath) di hari kiamat.

Para orientalis dan misionaris itu terus memproduksi untuk menyebarkan 'Teori Pengaruh' tersebut, bahkan kemudian, ada sebagian kalangan Muslim yang 'memungut' teori tersebut dan disebarluaskan kepada kaum Muslim. Sayangnya, kadangkala, ia tidak menyebutkan sumbernya. S Fraenkel menulis buku De Vocabulis in Antiquis Arabum Carminibus et in Corano Peregrinis (Mengenai kosa kata asing di dalam puisi Arab kuno dan di dalam al-Quran). Fraenkel juga menulis Die Aramaischen Fremworter im Arabischen (pengaruh Aramaik kepada bahasa Arab). Hartwig Hirschfeld menegaskan bahwa kosa kata asing (Fremdworter) di dalam al-Quran menunjukkan Islam itu tidak orisinal.

Hirshfeld mengatakan: ''Salah satu persoalan utama yang kita hadapi kemudian adalah ... bagaimana memastikan sebuah ide atau ekspresi itu muncul dari kekayaan spiritual Muhammad atau dipinjam dari sumber lain, bagaimana dia mempelajari hal itu, dan seberapa jauh hal itu diubah untuk disesuaikan dengan tujuan kenabiannya.'' Arthur Jeffery mengamini pendapat yang umum di kalangan para orientalis itu. Memang, al-Quran terpengaruh berbagai bahasa asing seperti Ethiopia, Aramaik, Ibrani, Syriak, Yunani Kuno, Persia, dan bahasa lainnya. Jeffery menyebutkan adanya 275 kosa kata asing di dalam al-Quran (Foreign Vocabulary of the Quran). Melanjutkan "Teori Pengaruh", Christoph Luxenberg (nama samaran), menyatakan bahwa bahasa al-Quran sebenarnya berasal dari bahasa Syriac (Syro-Aramaik).

Dengan bahasa puitis Arnold mengatakan: "Islam lahir di gurun pasir, ibunya Sabean Arab, ayahnya Yahudi, dan perawat yang mengasuhnya adalah Kristen Timur."

Senada dan seirama dengan Arnold, Samuel Zwemer (pernah berkunjung ke Indonesia tahun 1922 sebagai seorang misionaris level internasional, pendiri dan penggagas jurnal misionaris The Moslem World serta perancang terkemuka berbagai konferensi misionaris internasional) menyimpulkan bahwa Islam bukanlah sebuah kreativitas, namun sebuah cangkokan (concoction); tidak ada yang mulia mengenainya kecuali Muhammad yang genius mencampurkan unsur-unsur lama di dalam obat mujarab baru untuk penyakit manusia dan memaksanya dengan menggunakan pedang.

Ia menulis buku "Islam: A Challenge to Faith" (terbit pertama tahun 1907). 'Teori Pengaruh' terus diperluas ke bidang-bidang yang ada di dalam studi Islam seperti filsafat, usul fikih, kalam, sufi, syariah, tafsir, dan sebagainya. Semua itu, kata mereka, juga terpengaruh dengan Yahudi-Kristen. John Wansbrough, misalnya, berpendapat historisitas tafsir serupa dengan dengan apa yang terjadi di agama Yahudi. Ia selanjutnya menggunakan istilah haggadic, halakhic, dan masoretic exegesis. Filsafat al-Kindi, Ibn Sina, Ibn Rusyd, Ikhwanus Safa, diambil dari tradisi Neo-Platonik dan Aristote.

Bahkan sekalipun al-Kindi dan al-Ghazali mengkritik teori penciptaan alam, maka kritik al-Kindi dan al-Ghazali itu pun, kata mereka, diambil dari Philoponus. Teori usul fikih diambil dari logika Aristoteles. Kalam Asy'ari apalagi Mu'tazilah berasal dari filsafat Yunani. Sufi berasal dari Neo-Platonik. Nihil novum sub sole! (Nothing is new under the sun). Mereka juga mengklaim, bahwa infiltrasi terhadap Islam, dari versi Yahudi dan Kristen, sudah ada sejak Islam muncul. Makanya, Muhammad itu bukan ummi. Ia membuat ajaran Islam dari apa yang ia baca dan dengar. Untuk menyebarluaskan pola pikir semacam itu, maka para orientalis dan misionaris itu juga membuat jurnal, ensiklopedia, bahkan universitas-universitas.

Khususnya studi tentang Islam dalam versi dan cara pandang mereka. Berdirilah, misalnya, Fakultas School of Oriental Studies, di American University, Kairo, pada tahun 1921. Fakultas ini dirancang dan digagas di United Kingdom pada 1910 oleh Zwemer dan kawan-kawan. Kairo dipilih karena pusat literatur dan peradaban Arab ada di situ. Datanglah Snouck Hurgronje ke Makkah dan bergaul dengan para syekh di sana. Terbitlah berbagai jurnal level internasional yang sibuk mengkaji Islam. Berdirilah berbagai pusat studi Islam di Eropa dan Amerika. Dikirimlah calon para pemikir Muslim dengan berbagai santunan, beasiswa untuk belajar tentang Islam. Kita tidak perlu apriori terhadap semua yang datang dari luar Islam.

Al-Quran telah memberikan contoh, bagaimana menyebutkan hal-hal yang sama dengan yang ada dalam tradisi Kristen, Yahudi, bahkan jaihiliyah Arab, tetapi al-Quran memberikan konsep baru dan sekaligus mengkritik keras berbagai konsep Yahudi-Kristen. Jika Yahudi-Kristen menggambarkan dalam Bibel mereka, bahwa Daud dan Luth adalah pezina kelas berat, maka al-Quran menyebutkan, bahwa mereka adalah nabi-nabi Allah yang saleh. Para ulama kita sudah maklum akan hal ini. Bahkan, para ulama Islam, pun selama berabad-abad telah melakukan usaha-usaha kritis dalam mengkaji dan mengadopsi unsur-unsur asing, tanpa membongkar hal-hal yang asasi dalam Islam.

Tetapi, pola kajian orientalis-misionaris biasanya mencoba mengaburkan banyak hal. Pendekatan historis-kritis yang sudah sangat mapan dalam tradisi kajian Bibel dikacaukan dengan konsep asbab an-nuzul dalam kajian al-Quran. Dalam kajian sejarah, konsep 'teokrasi' Kristen dikacaukan dengan konsep 'khilafah' Islam. Bahkan, kajian 'Textual Criticism' terhadap Bibel juga kemudian diaplikasikan terhadap al-Quran. Ujung-ujungnya, adalah membongkar konsep al-Quran sebagai kalam Allah. Seolah-olah, semua itu, menggambarkan apa yang disabdakan Rasululah SAW, jika 'Yahudi-Nasrani' masuk ke lobang biawak, maka Muslim pun ikut juga. Jika mereka merusak agama mereka sendiri, ada saja kalangan Muslim yang ikut-ikutan. Berderet karya-karya sarjana Bibel yang mengkaji secara kritis tentang otentisitas teks-teks Bibel.

Banyak karya bisa dirujuk, seperti karya Prof Bruce M Metzger, The Text of the New Testament: Its Transmission, Corruption, and Restoration. Juga karyanya, A Textual Commentary on the Greek New Testament, dan juga The Canon of the New Testament: Its Origin, Development and Significance. Begitu juga karya Robert R Wilson Sociological Approaches to the Old Testament, dan Edgard Krentz The Historical-Critical Method. Pendekatan-pendekatan tersebut telah digunakan oleh Theodor Noldeke, F Schwally, Gotthelf Bergstrasser, Otto Pretzl, Edward Sell, Arthur Jeffery, John Wansbrough, dan lain-lain. Sell, misalnya, mengelaborasi gagasannya tentang studi kritis historisitas al-Quran di dalam karyanya Historical Development of the Quran yang diterbitkan pada tahun 1909 di Madras, India.

Sell menyeruh kalangan misionaris keristen ketika mengkaji Islam,supaya fokus kepada historitas al-Quran. Menurut Sell, kajian kritis-historis al-Quran bisa dilakukan dengan menggunakan metodologi analisa bibel (Biblical criticism). Merealisasikan idenya, Sell sendiri sudah menggunakan metodologi higher criticism. Sebelum Sell, Noldeke, ikut lomba penulisan esay tentang kritis-historis al-Quran, yang diadakan di Paris dan ia menang. Saat itu, ia masih berumur 20 tahun. Karyanya Geschichte des Qorans (Sejarah al-Quran) dipublikasikan tahun 1860. Karya ini selanjutnya dilengkapi oleh F Schwally, Bergstrasser, dan Pretzl. Mereka menyelesaikan buku kritis-historis al-Quran selama kurang lebih 68 tahun.

Jeffery ikut juga mengaplikasikan pendekatan-pendekatan tersebut. Hasilnya, Jeffery ingin menggagas al-Quran edisi kritis (a critical edition of the Koran).

Latar belakang sejarah dan pemikiran ini perlu dipahami, agar dipahami, bahwa usaha untuk 'meruntuhkan' bangunan Islam tidaklah pernah berhenti. Dari bentuk yang sangat kasar, seperti yang dilakukan Salman Rushdi, sampai yang sangat halus, melalui infiltrasi pemikiran berbaju Islam. Tentu akan berbeda dampaknya, jika propagandis 'Teori-Pengaruh' itu adalah Geiger yang Yahudi dengan 'Abdul' 'yang nongkrong di organisasi Islam. Meskipun sumbernya dia-dia juga.

0 comments:

Posting Komentar

Popular Posts

Categories

Visitors

Diberdayakan oleh Blogger.