the smooth sea will never give the good sailor

Sabtu, 18 April 2015

Tafsir Isyari

PENDAHULUAN

Mengkaji tafsir ayat al-Qur’an, rasanya tidak akan pernah lekang oleh zaman sebab setiap orang yang beriman selalu membutuhkan pencerahan-pencerahan al-Qur’an dan rasanya tidaklah salah bahwa al-Qur’an adalah mukjizat abadi dan terbesar dari mukjizat-mukjizat yang lain. Salah satu mukjizat itu adalah kekuatan petunjuk spiritualnya (hudan).

Apabila orang menelusuri perkembangan tafsir al-Qur’an dari masa ke masa, niscaya ia akan menemukan salah satu corak diantara beraneka ragamnya tafsir al-Qur’an yang dikenal dengan tafsir Isyari. Tafsir ini dikenal pula dengan tafsir Faidli. Kegiatan penafsiran al-Qur’an tersebut dikenal dikalangan cendikiawan sebagai salah satu kegiatan dalam menguraikan makna ayat-ayat al-Qur’an yang tersirat, yang tidak Nampak dari susunan kata-katanya yang tersurat. Makna itu diperoleh dengan memperhatikan isyarat yang tersembunyi, yang hanya tampak bagi orang-orang yang memiliki kemahiran tertentu dan memahami perpautan maknanya yang tersurat dan yang tersirat.

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Tafsir Isyari
Kata al-‘isyarah merupakan bentuk sinonim (muradif) dari kata ad-dalil yang berarti tanda, petunjuk, isyarat, sinyal, perintah, panggilan, nasehat, dan saran.[1] Tafsir Isyari menurut istilah adalah mentakwilkan al-Qur’an dengan makna yang bukan makna lahiriyahnya karena adanya isyarat samar yang diketahui oleh para penempuh jalan spiritual dan tasawuf dan mampu memadukan antara makna-makna itu dengan makna lahiriyah yang juga dikehendaki oleh ayat yang bersangkutan.[2]

Dalam diskursus ilmu tasawuf memang dikenal tingkatan syari’ah, tarikah, haqiqah. Syari’ah yang dimaksud adalah aturan-aturan lahir yang ditentukan misalnya seperti hukum halal, haram, sunah, makruh dan sebagainya. Termasuk pula amaliah seperti shalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya. Sedangkan tarikah jalan lurus yang ditempuh oleh seorang salik untuk mendapatkan keridha’an-Nya dalam rangka mengerjakan syari’at, seperti sikap ikhlas, muqarabah, muhasabah tajarrud, ‘isyq, hub dan sebagainya. Sedangkan haqiqah yaitu kebenaran sejati dan mutlak yang merupakan puncak perjalanan spiritual seseorang.
Ketiga dataran tersebut harus dilihat dengan paradigma structural sekaligus fungsional, dimana satu dengan lainnya tidak boleh dipisah-pisahkan. Sebagaimana disebut dalam kitab Bidayah al-Azkiya’, bahwa hubungan ketiga dataran (syari’ah, tarikah, dan haqiqah) digambarkan sebagai berikut:

فشريعة كسفينة و طريقة كالبحر ثم حقيقة در غلي

“Syari’at itu ibarat perahu, sedangkan tarikat bagaikan laut dan hakikat itu inti mutiaranya yang mahal .”
Dalam syarh kitab tersebut dijelaskan bahwa meskipun seseorang telah mencapai tingkatan hakikat, ia tetap terkena taklif (tugas) syari’at untuk menjalankan ibadah yang diwajibkan oleh al-Qur’an dan hadits.[3]

B.     Sejarah Munculnya Tafsir Isyari
Perkembangan sufisme yang kian marak di dunia Islam, ditandai oleh praktik-praktik asketisme dan askapisme yang dilakukan oleh generasi awal Islam, hal ini dimulai sejak munculnya konflik politis sepeninggal Nabi Muhammad SAW, praktik seperti ini terus berkembang pada masa berikutnya.
Seiring berkembangnya aliran sufi, mereka pun menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan paham sufi yang mereka anut. Pada umumnya kaum sufi memahami ayat-ayat al-Qur’an bukan sekedar dari lahir yang tersurat saja, namun mereka memahami secara batin atau secara tersurat.
Para sufi pada umumnya berpedoman pada hadits Rasulullah SAW:

لكل أية ظهر و بطن و لكل حرف حد ولكل حد مطلع
      
      “Setiap ayat itu mempunyai makna dhahir dan batin, dan setiap huruf itu mempunyai batasan dan setiap batasan ada tempat melihatnya.”

Hadits di atas adalah merupakan dalil yang digunakan oleh para sufi untuk menjastifikasi tafsir mereka yang eksentrik, menurut mereka dibalik makna zahir dalam redaksi teks al-Qur’an tersimpan makna batin, mereka menganggap penting makna batin ini, mereka mengklaim bahwa penafsiran seperti itu bukanlah unsure asing (ghaib) melainkan sesuatu yang indera dengan al-Qur’an.[4]

Tafsir jenis ini telah dikenal sejak awal turunnya al-Qur’an kepada Rasulullah SAW sehingga dasar yang dipakai dalam penafsiran ini umumnya juga mengacu pada penafsiran al-Qur’an melalui hirarki sumber-sumber Islam tradisional yang disandarkan kepada Nabi, para sahabat dan kalangan tabi’in.

Disamping itu, selain penafsiran yang disandarkan melalui jalan periwayatan secara tradisional, ada sebuah doktrin yang cukup kuat dipegangi kalangan sufi, yaitu bahwa para wali merupakan pewaris kenabian. Mereka mengaku memiliki tugas yang serupa, meski berbeda secara substansial. Jika para rasul mengemban tugas untuk menyampaikan risalah ilahiyah kepada umat manusia dalam bentuk ajaran-ajaran agama, maka para sufi memikul tugas guna menyebarkan risalah akhlaqiyah, ajaran-ajaran moral yang mengacu kepada keluhuran budi pekerti.

Klaim sebagai pengemban risalah akhlaqiyah memberi peluang bagi kemungkinan bahwa para sufi mampu menerima pengetahuan Tuhan berkat kebersihan hati mereka ketika mencapai tahapan makrifat dalam tahap-tahap muraqabah kepada Allah SWT. Walhasil, dalam penafsiran sufi mufassirnya tidak menyajikan penjelasan ayat-ayat al-Qur’an melalui jalan I’tibari dengan menelaah makna harfiyah ayat secara zahir. Tetapi lebih pada menyuarakan signifikansi moral yang tersirat melalui penafsiran secara simbolik atau dikenal dengan penafsiran isyari.

Ketika ilmu-ilmu agama dan sains mengalami kemajuan pesat serta kebudayaan Islam menyebar keseluruh pelosok dunia dan mengalami kebangkitan dalam segala seginya, maka berkembanglah ilmu tasawuf.[5]

C.    Jenis Tafsir bi al-‘Isyari
Berdasarkan isi dan substansinya tafsir bi al-‘isyari dapat dibedakan menjadi dua macam: tafsir bi al-‘isyari al-maqbul dan tafsir bi al-‘isyari al-mardud. Dikatakan sebagai tafsir bi al-‘isyari al-maqbul atau al-masyru’ bila memiliki lima syarat yaitu:

1.      Tidak menafikan makna lahir dan makna-makna yang terkandung dalam redaksi ayat al-Qur’an.
2.      Mufassirnya tidak mengklaim bahwa satu-satunya penafsiran yang benar tanpa mempertimbangkan makna tersurat.
3.      Tidak menggunakan takwil yang jauh menyimpang dan penakwilnya lemah.
4.      Tidak bertentangan dengan dalil syari’at dan argumentasi aqli.
5.      Serta adanya pendukung dalil-dalil syari’at yang memperkuat penafsirannya.

Sebaliknya, dikatakan tafsir al-‘isyari al-mardud  bila gaya penafsirannya menyalahi salah satu dari syarat-syarat penerimaan tafsir al-‘isyari di atas.[6]

Ada beberapa contoh kitab tafsir yang menggunakan penafsiran bi al-‘isyari, antara lain; Garaib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan karya an-Naisaburi (w. 728 H/1328 M); ‘Ara’is al-Bayan fi Haqaiq al-Qur’an susunan Muhammad asy-Syairazi; dan Tafsir wa Isyarat al-Qur’an karya Muhyi al-Din Ibnu ‘Arabi (w. 560-638 H/1165-1240 M).[7]

D.    Keistimewaan Tafsir Isyari
Kehidupan ini sangat ditentukan oleh apa yang tidak tampak, yaitu perasaan, emosi, iman, sesuatu yang sangat tidak tersentuh oleh inderawi, dan sesuatu yang tidak bisa dilacak oleh alat-alat fisik. Yang sangat halus dan lembut dan justru memiliki efek yang sangat dahsyat. Adalah sangat mustahil al-Qur’an tidak menghargai pengetahuan-pengetahuan batin yang diperoleh oleh seseorang yang selama hidupnya beribadah dengan ikhlas kepada Allah SWT. Pengetahuan yang bersifat batin, ilhami, intuitif, contemplatif memiliki tingkatan-tingkatan antara yang satu dengan yang lainnya.

Jika al-Qur’an hanya sekedar himpunan kata-kata yang kering dan tidak mengandung makna-makna batin maka tidak mungkin melahirkan inspirasi-inspirasi spiritual. Sayyid Qutub misalnya sekalipun dikenal sebagai pembela kelompok literalis pernah mengatakan bahwa kebahagiaan spiritual dan ilham sesuatu yang sangat menentukan bagi kehidupan setiap manusia.

Tafsri isyari memberikan makna yang dalam atau hakikat dari setiap symbol. Dalam ayat terakhir surat al-Fatihah, misalnya kita ingatkan bahwa kata maghdubi ‘alaihim yang biasanya untuk menunjukkan kelompok Yahudi dan Nasrani ternyata juga bisa memaparkan wajah orang-orang muslim. Ibnu ‘Arabi dalam tafsirnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata maghdubi ‘alaihim adalah mereka yang terhijab materi, hijab inderawi (hijab jasmani) dan hijab dzawq hissi sehingga tidak bisa merasakan karunia kalbu, karunia akal. Dan itu mirip dengan orang-orang Yahudi sebab justifikasi mereka tentang hal-hal yang eksoteris. Dengan demikian, jika orang-orang muslim juga terbelenggu oleh materi, jasmani dan sensual (hissi) sehingga sulit mendapatkan karunia-karunia spiritual, mereka juga adalah bukti konkrit dari frase ayat maghdubi ‘alaihim.
Dengan bantuan tafsir-tafsir esoteric, bisa diakses makna-makna yang lebih mendalam, komprehensif yang sering hilang dalam tulisan-tulisan teologis dan jurispudensi atau sectarian, apalagi politis fundamentalis. Tafsir isyari juga adalah bentuk apresiasi atas amal atau akhlaq sebab makna-makna itu ditemukan oleh orang-orang suci dan ingin membersihkan dirinya. Dengan kata lain, lewat tafsir isyari kita menemukan epistemologi tidak terbatas dari pengalaman keragamanan yang sangat tidak terbatas. Dan untuk menyerap yang tidak terbatas tentu memerlukan tafsiran-tafsiran yang tidak membatasi potensi manusia dalam dimensi tertentu.[8]

E.     Pandangan Ahli Tafsir Tentang Tafsir bi al-‘Isyari 
Tentang penggunaan tafsir isyari terjadi perbedaan pendapat yang sangat tajam diantara para ahli tafsir sebagian membolehkan bahkan menganggapnya sebagai bagian dari tanda-tanda kesempurnaan iman dan kesucian seseorang sedangkan sebagian lainnya memandang bahwa tafsi isyari merupakan aliran tafsir yang salah dan sesat menyesatkan serta menyimpang jauh dari agama Allah swt. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (691-751 H/1921-1350 M) mengatakan bahwa penafsiran al-Qur’an yang dilakukan seorang mufassir pada hakikatnya bersandar pada tiga hal:

1.      Tafsir yang berorientasi pada lafal yang umum dilakukan ulama khalaf.
2.      Tafsir yang mengacu pada makna ayat seperti yang dilakukan oleh ulama salaf.
3.      Tafsir yang cenderung pada makna isyarah (tersirat) seperti yang umum dilakukan oleh kalangan mutasawwifah.

Tafsir yang disebut terakhir yakni tafsir at-tasawwufi menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah bisa menjadi pegangan selama memenuhi empat syarat tidak bertentangan dengan makna (lahir) ayat makna yang dimaksud ada dan termuat dalam teks ayat yang ditafsirkan ada pemberitahuan isyarah atau indicator dalam lafal a-Qur’an (untuk menggunakan pengertian yang bersifat implicit) serta antara penafsiran dan makna ayat terdapat jalinan hubungan yang mengikat (istimbath al-talazumi).[9]

F.     Contoh Aplikasi                 
1.      Ketika al-Ghazali menafsirkan potongan ayat surat thaha ayat 12.
فَاخْلَعْ نَعْلَيْكَ
Artinya:“ Maka tanggalkanlah kedua sandalmu;"
Menurut al-Ghazali makna bathin dari ayat ini adalah “Tinggalkan (wahai Musa) kedua alammu, baik dunia maupun akhirat. Yakni, janganlah engkau memikirkan keuntungan duniawi dan janganlah pula mencari pahala ukhrawi, dan carilah wajah Allah semata.[10]

2.      Ibnu ‘Arabi dalam menafsirkan firman Allah swt.
يا أيها الناس اتقوا ربكم الذي خلقكم من نفس واحدة
Artinya: “ Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri.”
      Ia mengatakan maksud “bertakwalah kepada Tuhanmu”ialah jadikanlah bagian yang tampak dari dirimu sebagai penjagaan bagi Tuhanmu dan jadikanlah pula apa yang tidak tampak dari kamu, yaitu Tuhanmu sebagai penjagaan bagi dirimu. Ini mengingat persoalan itu hanya (terdiri atas) celaan dan pujian. Karena itu, jadikanlah kamu sebagai penjagaan dalam celaan dan jadikanlah ia sebagai penjagamu dalam pujian, niscaya kamu menjadi orang paling beradab diseluruh alam.[11]

3.      Al-Tasturi menafsirkan firman Allah swt.   
ظَهَرَ الفَسَادُ فِي البَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ
Artinya: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusia.”
Beliau berkata:” Allah swt mengumpamakan anggota tubuh ini bagaikan daratan dan mengumpamakan hati ini bagai lautan. Lautan itu lebih memberikan mampaat dan lebih membahayakan. Inilah ungkapan ayat secara batin, tidaklah kamu memerhatikan bahwa hati itu dinamakan dengan al-qalb, karena artinya adalah sesuatu yang berbolak-balik dan sesuatu yang terombang-ambing setelah tenggelam.”[12]

KESIMPULAN

Tafsir isyari adalah salah satu jenis tafsir yang dalam memberikan penjelasan ayat-ayat al-Qur’an kental dengan takwi, aspek-aspek esoteric dan isyarat-isyarat yang terkandung dalam teks ayat-ayat al-Qur’an. Terlepas dari kontroversi yang terjadi dalam mengomentari jenis tafsir ini, yang jelas tafsri isyari  adalah merupakan bentuk kontribusi dari ulama dalam memperkaya pembendaharaan litelatur tafsir yang sekaligus juga memperluas pemahaman tentang makna al-Qur’an. Ala kulli hal tafsir isyari telah memberi warna yang khas dalam diskursus tafsir dai masa ke masa.

Sebagaimana aliran tafsir lainnya yang berpaling untuk dikembangkan, tafsir isyari pun berkemungkinan bagi upaya pengembangannya untuk masa kini dan masa mendatang. Tentu saj, perhatikan terhadap rambu-rambu penafsiran supaya termasuk tafsir isyari al-maqbul bukan tafsir isyari al-mardud. Berbeda dengan tafsir bi al-ma’sur dan tafsir bi ar-ra’yi yang kebenaran (termasuk pengembangannya) relative mudah untuk diukur penerapan criteria kebenaran tafsir isyari sangatlah sulit. Ini terjadi karena sumbernya lebih mengandalkan hati atau intuisi yang juga sangat sulit untuk dibedakan dari kemungkinan terkontaminasi dengan hawa nafsu yang keliru. 

BIBLIOGRAFI

Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, Bandung: Takafur, 2011.
Yunus Hasan Abidu, Tafsir Al-Qur’an, Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.
Hamim Ilyas, Studi Kitab Tafsir, Yogyakarta: Teras, 2004.
Manna khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an, Terjemah Mudzakir AS, Bogor: Pustaka Lentera Antar Nusa, 2007.

[1] Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Takafur, 2011), Hal: 88.
[2] Yunus Hasan Abidu, Tafsir Al-Qur’an, Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007) Hal: 9.
[3] Hamim Ilyas, Studi Kitab Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2004), Hal.168.
[4] http://jock.blogspot.com
[5] Arif-fikri.blogspot.com/2011.
[6] Ahmad Izzan, Metodologi, (Bandung: Tafakur, 2011), Hal. 89.
[7] Ahmad Izzan, Metodologi, (Bandung: Tafakur, 2011), Hal. 90.
[8] http://ikmalonline.com/index.php?option=com_content&view=article&id=203:tafsir-isyari-menguak-aspek-yang-terabaikan&catid=59.
[9] Ahmad Izzan, Metodologi, (Bandung: Tafakur, 2011), hal: 90.
[10] http://jock.blogspot.com
[11] Manna khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an, Terjemah Mudzakir AS, (Bogor: Pustaka Lentera Antar Nusa, 2007), hal. 494.
[12] Mani’ Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsir, Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), Hal. 57-58.

0 comments:

Posting Komentar

Popular Posts

Categories

Visitors

Diberdayakan oleh Blogger.